Aneh memang dengan beragam praduga dan tuduhan miring terhadapnya. Tapi bagi para aktivis, ia seorang yang menginspirasi. Dia tak peduli dengan beragam asumsi terhadap dirinya.
Beberapa bulan lalu, kami bicara santai sambil makan siang. Menikmati mie Aceh dan kopi Gayo di cafe Tji Liwoeng Coffe di kawasan Condet, Balekembang, Jakarta Timur. Cafe milik aktivis senior Agus Edy Santoso alias Agus Lenon (59 tahun).
Julukan Agus Lenon, karena semasa menjadi aktivis mahasiswa di Yogyakarta, ia kerap menggunakan kacamata dengan bingkai bulat. Mirip seperti yang biasa digunakan John Lenon. Agus memang menyukai lagu-lagu The Beatles, dengan vokalis John Lenon. Itulah kenapa dia lebih populer dengan sebutan Agus Lenon.
Belakangan dia tampil dengan kepala plontos dan tubuh yang kurus. Padahal sebelumnya ia berambut cukup gondrong dan badannya gempal. Rupanya ia memang bermasalah dengan jantungnya. Bahkan untuk pemasangan ring di tubuhnya pun belum bisa dilakukan, karena belum memungkinkan.
Belakangan pula, sebagai aktivis, ia dianggap lebih dekat dengan kelompok Islam kanan. Sebelumnya ia justru dianggap aktivis kiri, dekat dengan kelompok sosialis dan komunis. Dengan kelompok liberal pun, ia dekat sekali.
Ada pula yang menuduhnya cenderung Syiah. Dengan kalangan moderat, Agus juga sangat dekat. Banyak praduga terhadap dirinya. Bahkan dia juga dituduh sebagai bagian dari intelijen, orang BIN.
Aneh memang dengan beragam praduga dan tuduhan miring terhadapnya. Tapi bagi para aktivis, ia seorang yang menginspirasi. Dia tak peduli dengan beragam asumsi terhadap dirinya.
Yang jelas.... Ia tidak percaya siapa pun rezim yang berkuasa. Dengan garang, ia akan menguliti sang presiden. Apalagi orang-orang di sekitar istana. "Mereka para penghisap darah rakyat!" tegas Agus.
Kembali ke pembicaraan di cafe Tji Liwoeng. Di situ, Mas Agus mengungkapkan betapa banyak aktivis yang kere. Belum punya rumah dan hidup dalam belenggu kesulitan ekonomi. Utang di mana-mana dan untuk makan kekuarganya pun sulit. Modal hidup mengandalkan idealisme semata.
Dampaknya, banyak aktivis juga kesulitan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Nah, masalah ini yang menjadi fokus pembicaraan kami. Diskusi berhenti sejenak, kami menuju masjid dekat cafe tersebut. Menunaikan sholat dzuhur berjamaah.
Dalam diskusi lanjutan, ia menceritakan punya akses ke Baznas DKI Jakarta. Di situ ia melihat peluang anak-anak aktivis yang terlantar sekolahnya, mungkin bisa dibantu. Agus belakangan aktif di Laznas Muhammadiyah.
Agus Lenon, ia aktivis lintas generasi, lintas ideologi, dan lintas profesi. Kami kerap jumpa di beberapa rumah sakit untuk menjenguk aktivis yang sakit dan tidak punya uang. Padahal kami juga sama-sama tidak punya uang. Juga jumpa di pemakaman beberapa aktivis.
Pertanyaan yang senantiasa diajukan adalah, "Kamu sudah punya cukup uang untuk bantu teman-teman? Atau masih kere juga?" Kami tahu jawaban pertanyaan itu, karena hanya tawa jawabannya.
Tiga hari lalu, rupanya Agus Lenon naik gojek menuju Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Slipi, Jakarta Barat. Ia mengeluh dengan kondisi tubuhnya. Ia terkendala di BPJS, karena ada tunggakan. Seorang teman membantu menyelesaikan administrasi tersebut. Agus akhirnya bisa dirawat.
Baru tadi malam saya dapat kabar tersebut saat buka WA grup aktivis Prodem. Paginya saya kembali lihat hp, ternyata Agus Lenon telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Rencanamu mencarikan rumah dengan DP 0 persen untuk aktivis yang belum punya rumah, belum bisa direalisasi. Begitu juga rencana membantu sekolah anak-anak para aktivis. Niatmu yang luar biasa mulia telah tertulis sebagai bekal akhiratmu.
Allahuma firlahu warhamhu wa afihi wa' fuanhu. Bagi saya, orang seperti almarhum aktivis Amir Husein Daulay, dan Agus Lenon menjadi inspirasi bagi para juniornya. Selamat jalan senior, Agus Edy Santoso alias Agus Lenon. Semoga husnul khotimah.
Duka cita mengiringi kepergianmu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews