Kalaupun ada Alipers Dunia atau Alipers Indonesia, itu wajar dalam situasi transisi, di mana masih ada ruang bagi followers. Meski followers juga tak apa, asal bukan pecundang, apalagi followers-nya pecundang.
Dalam bulan ini saya mendapat tugas negara, untuk mengamati Alip_Ba_Ta. Reaksi saya waktu itu spontan saja, "Hanya Alif Gustakhiyat yang bisa mengajak siapapun, tak peduli Islam, Buddha, Hindu, Katolik, Ptotestan, Khonghucu, Sinto, Kafir, Ghosbuster, semua tanpa sadar diajak mengeja alif ba ta,..."
Maksudnya? Para guru ngaji jaman sekarang, susah mengajak anak-anak, apalagi yang dewasa, untuk belajar alif ba ta (abjad huruf Arab). Apalagi tujuannya untuk membaca Alquran. Lha wong diajak belajar agamanya saja makin ogah-ogahan.
Yang ngomong bukan saya, tetapi Kanjeng Nabi Muhammad shalallahu' alaihi wassallam sudah menubuatkan; Bahwa umatnya akan banyak tetapi seperti buih air laut di pantai. Ada satu masa Islam mengalami kemerosotan akal, akhlaq, budaya, pengetahuan,...
Saya tidak tahu apakah itu juga berlaku di Indonesia, yang oleh Soeharto kemudian membentuk MUI. Majelis U Indonesia, entah U-nya ini apaan. Karena jika disebut 'ulama' kriterianya apa?
Kalau model atau jaman Soeharto dulu, yang direkrut adalah ulama-ulama yang tunduk pada kekuasaan. Kalau pun MUI pernah dipimpin Buya Hamka, justeru karena Buya Hamka ingin memperbaiki dari dalam. Sukses? Tidak. Tapi, gagal banget juga tidak sih.
Dengan subcriber lebih dari 5 juta, Alif Gustakhiyat yang memakai nama di youtube; Alip_Ba_Ta, mengguncang dunia. Apalagi dengan permainan gitarnya yang gila. Ia direaksi (direposting) di seluruh dunia. Bukan hanya para awam, melainkan mereka yang ahli, bahkan dari kalangan kampus.
Di antaranya masuk laboratorium musik, meneliti akord-akord Alip_Ba_Ta yang tak lajim. Bahwa Atta Halilintar, Baim Wong, Deddy Corbuzer dan sejenis itu, subscribernya lebih banyak, mereka di barisan eksploitator, bukan eksplorator. Eksploitator itu bisa terang bisa gelap, tetapi sama-sama penumpang momen. Alip_Ba_Ta beda. Ia masuk mazhab eksplorator, lebih mulia dari model-model Baim dan Deddy.
Dari akun youtube-nya, Alip_Ba_Ta melahirkan banyak akun (yang dibuat orang lain yang nebeng popularitas, ini masuk golongan eksploitator tadi), dan ikutan kecipratan rejeki. Berbagai bentuk reposting merajalela, dengan penonton bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan. Semua mendapatkan bagian. Semua kecipratan.
Ini memang jaman metaverse, satu sama lain diperhubungan oleh media. Boleh tidak saling bersentuhan fisik, tetapi tidak dalam hal yang meta, kasat mata tapi tidak kasat hati. Yang mereka sukai, mereka dukung, mereka amini, tanpa partai tanpa slogan.
Bagaimana mengintegrasikan itu semua, borderless, tanpa batas? Sementara agama dengan ideologi universalismenya justeru salah kaprah. Bukan agamanya, tetapi para penganutnya, pemimpin atau elitenya, yang menghancurkan agamanya sendiri.
Universalisme mereka yakini sebagai penyeragaman dunia, sehingga yang muncul justeru fragmentarisme, sektarianisme, dengan penerjemahan dangkal tentang keyakinan iman. Yang terjadi, semakin tinggi keyakinan iman justeru semakin rendah keyakinan akan substansi ajaran agamanya.
Di Indonesia ini juga lazim terjadi, intel ngaku intel. Orang-orang yang bekerja dalam senyap seperti KPK, masih ganjen kamera. Tetapi media juga, karena kemudu-kudu jualan, orang-orang yang sedang beperkara di pengadilan pun dikorek-korek. Mengadu jaksa dan lawyer tersangka. Bahkan ada media yang mencari perkara, agar didapatkan clickbait. Tetapi melihat obrolan Luhut Binsar Panjaitan dengan Deddy Corbuzier, isu soal bisnis PCR pun lenyap. Yang ngarep resuffle juga diem anteng. Apalagi ada anggota MUI ketangkep dengan tudingan terlibat aksi terorisme. Masuk itu barang.
Alif Gustakhiyat tidak memperdulikan semua eforia yang terjadi di sekitar. Hidupnya untuk bekerja, sebagai sopir forklift. Untuk menafkahi anak-isteri. Jika di rumah, ia bermain gitar sekehendak hati. Bahwa dari sana muncul keterampilan dan keajaibannya, jarang yang mau mengerti itu berangkat dari passion. Sesuatu yang bukan hanya akan melahirkan konsistensi tetapi juga persistensi, hingga presisi. Sebagaimana karakter media digital yang belum banyak dipahami orang Indonesia, dengan level nomor 2 dari bawah dalam sisi literasi.
Kita masih universe, sementara dunia sudah beralih ke metaverse. Istilah metaverse pun, kebanyakan baru diketahui kemarin sore, ketika Mark Zuckerbergh mengubah nama holdingnya, dari facebook ke metaverse. Padal, 6 tahun lalu generasi 4.0 sudah mau meloncat ke 4.1, Mark menyembunyikannya.
Metaverse Mark adalah metaverse abal-abal, karena hanya sebagai merk dagang, bukan sistem. Sistem yang diterapkannya tetap terpusat, sebagaimana youtube. Sementara metaverse adalah langsung ke pasar, tanpa produser. Kalau pun ada calo atau pialang, itu bagian dari kesepakatan komunitas yang cair.
Jadi, apa saran saya pada negara?
Jangan sok pintar, dan biarkan kelompok model Rocky Gerung menggerung. Karena mereka akan makin kelihatan menyedihkan, seandainya Indonesia menyiapkan anak-anak muda seperti Alif Gustakhiyat, dalam berbagai bidang. Toh kelak ketika metaverse akhirnya datang juga, maka bukan hanya perbankan yang akan hancur, parlemen pun akan musnah.
Kalaupun ada Alipers Dunia atau Alipers Indonesia, itu wajar dalam situasi transisi, di mana masih ada ruang bagi followers. Meski followers juga tak apa, asal bukan pecundang, apalagi followers-nya pecundang.
Maka Alip_Ba_Ta fokus pada dirinya. Mengasah pengetahuan dan keterampilan. Menajamkan pendengaran, dan berbagi dalam ketulusan. Bukan lamis apalagi thukmis, dengan pamrih sejatinya mengais rejeki dari kebodohan liyan. Tidak mengejar Dana Istimewa, yang nyatanya tidak istimewa. Apalagi berbagi honor saja dilama-lamain! |
Sunardian Wirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews