Mbah Moen dalam Tradisionalisme Politik, Otoritas dan Asketisme

Sebagai bagian dari umat Islam, kita tinggal memakmurkannya saja dan mempererat solidaritas keumatan dengan melepaskan ikatan-ikatan primordial kekelompokkan yang fanatik.

Selasa, 20 Agustus 2019 | 21:45 WIB
0
419
Mbah Moen dalam Tradisionalisme Politik, Otoritas dan Asketisme
Maimoen Zubair (Foto: Dok. pribadi)

Mendengar nama KH Maimun Zubair (Mbah Moen) telah berpulang pada hari ini di Mekah, seolah menyisakan banyak cerita yang bukan saja soal kepribadian beliau yang mengagumkan atau genealogi intelektualitasnya yang diakui para ulama tanah air, lebih dari itu, saya teringat petuah terakhirnya ketika sowan ke Ndalem beliau di Pesantren Mathla'ul Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Timur. 

"Saniki, wong Islam iku tambah akeh, buktine mesjid iku ben taun nambah terus", begitu ketika beliau membuka cerita di hadapan puluhan santri yang silaturahmi pasca Idul Fitri 1440 H. 

Pesan yang selalu disampaikan kepada para tamunya adalah soal kebangsaan, kerukunan, sebagai suatu tradisi paling purba dalam sejarah masyarakat Nusantara.

Ketika saya berkunjung ke rumahnya beberapa hari setelah Idul Fitri 2019 lalu, beberapa kelompok orang secara bergelombang datang silih berganti seolah kedatangan mereka ini tak pernah ada habisnya. 

Mereka tidak saja datang dari sekitaran Rembang atau pulau Jawa saja, hampir dari seluruh sudut paling terpencil (min kulli fajjin 'amiq) dari Nusantara, seperti Jambi, Lampung, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya selalu saja datang baik secara kelompok atau perorangan. 

Karena membludaknya jumlah tamu, pihak pesantren kemudian mengatur jadwal sowan ke Mbah Moen, ada yang setelah waktu Subuh dan Dzuhur dan ada yang setelah Isya, sekitar pukul 9 malam. 

Namun demikian, seluruh tamu akan dijamu secara baik oleh pihak pengurus pesantren dan Mbah Moen tetap bersemangat menemui mereka dan menuturkan petuah-petuah berharganya.

Dalam umur beliau yang hampir satu abad, raut muka yang sumringah dan terlihat masih gagah, menjadi pesona tersendiri bagi siapapun yang melihatnya. 

Pribadinya yang kharismatis karena selain sebagai ulama sepuh dan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam ormas Islam terbesar di Indonesia, juga sebagai tokoh panutan masyarakat dengan sebutan "Mbah Yai", menambah pesona mistisnya semakin meningkat. 

Dan yang sangat mengagumkan tentu saja kepribadiannya yang sederhana, apa adanya, jujur, bersahaja, merupakan bagian integral dari seorang ulama asketik, mengikuti genealogi tradisi ulama-ulama luhur sebelumnya. 

Saya justru semakin memahami, bahwa di sinilah letak ketinggian predikat keulamaan seseorang: jujur, sederhana, tegas, dan asketis.

Tidak hanya dalam dikenal luas dalam bidang keilmuan agama Islam, Mbah Moen sekaligus dianggap sebagai tokoh politik. 

Kesetiaannya berada dalam fusi "Partai Islam" yang sejak zaman Orde Baru dikukuhkan melalui PPP, tak pernah sedikitpun dirinya melirik parpol lain yang menjamur pasca reformasi, sekalipun "kultur politik" mengarahkannya mudah berubah haluan pandangan politik.

 "Islam iku dudu ono ning partai, Islam dudu ning PKB, dudu ning PPP, tapi Islam iku wujud dari 88 persen masyarakat Indonesia," demikian ketika beliau mengungkapkan alasan-alasannya kenapa dirinya tetap berada dalam komunitas "partai islam".

Ketika saya bertemu dengan beliau bersama dengan para peziarah lainnya, pesannya kuat, singkat, namun sangat bermanfaat: "ojo lali salat, sebab, salat iku tiange agomo!"

Beberapa kali beliau menceritakan sejarah silsilah masyarakat Indonesia yang disebutnya sebagai keturunan manusia yang paling unggul karena bangsa Indonesia sesungguhnya adalah keturunan Nabi Ibrahim yang darinya menurunkan bangsa Aria. 

Terbukti, bahwa dalam serangkaian sejarah nusantara ada tokoh-tokoh pembaharu yang bernama "Aria", sebut saja salah satunya nama "Arya Penangsang" tokoh legendaris dalam kerajaan Demak yang paling kesohor, karena disebut dalam Serat Kanda.

Mbah Moen selalu meyakinkan para pendengarnya agar tetap bangga menjadi Indonesia dengan cara merawat berbagai tradisi yang telah sekian lama tegak dan dipelihara oleh para ulama sebelumnya.  

Negara yang saat ini berdiri merupakan warisan leluhur dan para ulama nusantara, sehingga tak boleh ada satu kekuatan politik manapun yang boleh merubah, mengganti, atau bahkan menjadikan negeri ini menjadi "negara Islam". 

Beliau beranggapan bahwa Indonesia sudah menjadi "dar al-Islam", di mana seluruh orang muslim bebas menjalankan ritual agamanya, bahkan dari tahun ke tahun jumlah rumah ibadah---terutama masjid---jelas bertambah dan bukannya berkurang. 

Sebagai bagian dari umat Islam, kita tinggal memakmurkannya saja dan mempererat solidaritas keumatan dengan melepaskan ikatan-ikatan primordial kekelompokkan yang fanatik.

Saya dan tentu saja banyak di antara kita yang kehilangan sosok bersahaja ini, bahkan saya seolah baru saja bertemu kemarin dengan beliau dan pada hari ini beliau dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dan tak mungkin kembali lagi untuk selama-lamanya. 

Namun dengan sangat yakin, mereka yang senantiasa mengunjungi Mbah Moen merupakan murid-murid beliau yang akan tetap menyalakan api semangat tradisionalisme intelektual---dengan cara menyampaikan kembali pitutur dan keilmuan beliau kepada pihak lain---melalui transmisi intelektual sebagaimana suatu kelangsungan hidup dalam sebuah tradisi pesantren. 

Kita tentu saja sulit mencarikan pengganti setaraf beliau yang tidak saja luas keilmuannya namun juga luhur budi pekertinya. 

Mencari realitas pribadi yang terintegrasi antara tradisi intelektual dan keluhuran akhlak tentu saja tidak mudah di era saat ini, sekalipun kita tentu saja selalu berharap, Allah memberikan gantinya yang lebih baik.

Selamat jalan Mbah Moen, jasa-jasamu sulit dilupakan dan kepribadianmu yang baik tetap akan menjadi contoh bagi teladan dalam setiap bingkai kehidupan. 

Para santrimu tentu saja generasi-generasi masa depan yang tetap teguh memegang amanat keilmuan dan yang terpenting kepribadian yang luwes dan sederhana, mampu berdiri tegap diantara semua golongan, kelompok, agama, dan bahkan bangsa. 

Sekalipun saya hanya bertemu sekali, namun seolah telah banyak belajar hidup dari beliau bertahun-tahun, sebab apa yang beliau tuturkan serasa melekat dalam sanubari dan tetap mengingatnya dalam seluruh kebaikan selama saya hidup.

Tidak ada seorangpun yang tahu, di mana dirinya wafat, dan Mbah Moen "dipilihkan" Allah Mekah, sebagai tujuan akhir dari seluruh perjalanan hidupnya. 

Mekkah adalah kota suci, tempat paling baik yang dimulyakan sekaligus dirindukan oleh seluruh umat muslim dunia, tempat di mana para ulama nusantara sebelumnya juga menghadap-Nya di sana.  

***

Keterangan: Artikel sudah ditayangkan sebelumnya di Kompasiana.com.