Tentang Duren dan Agama Seturut Mahmud Syaltout

Moderasi beragama, menjadi sesuatu yang tidak mudah dipraktikkan, butuh ilmu, butuh kesadaran, butuh niat baik, dan seterusnya.

Rabu, 14 April 2021 | 16:02 WIB
0
224
Tentang Duren dan Agama Seturut  Mahmud Syaltout
Mahmud Syaltout (Foto: twitter.com)

Duren itu menurutku, mirip agama. Kalau yang suka, suka banget, fanatik banget, kalau yang gak suka, gak suka banget, anti banget, jangankan makan, mencium baunya saja mual-mual.

Namun demikian, yang paling fanatik dengan duren pun, tidak disarankan untuk makan dua puluh tujuh keranjang atau tujuh puluh dua buah duren sendirian!

Banyak orang yang salah paham tentang larangan makan duren, salah satunya dianggap sebagai biang kolestrol. Padahal kalau dilihat detil kandungan nutrisi duren, kita bisa tahu bahwa duren tidak mengandung kolestrol! Bahkan kalau dilihat lagi, secara detil, duren ini mengandung vitamin C lumayan besar, 46%, vitamin B6 22%, dan zat-zat lain yang baik sebagai imun booster dan kesehatan.

Ya, duren dengan segala kandungan nutrisinya, sering disalahpahami seperti agama. Namun, kenapa makan duren tidak disarankan banyak-banyak? Mabuk!

Ya, kita tahu dari cerita atau berita tentang kisah orang-orang yang bukan hanya mabuk, tapi juga black out (hilang kesadaran) dan bahkan mati karena terlalu banyak makan duren.

Ya, kita mengenal istilah "mabuk duren", ya sekali lagi, kita melihat hal yang sama dengan agama, yang untuk beberapa orang tertentu menyebabkan "mabuk agama".

Dengan fakta tersebut, sama halnya dengan makanan dan/atau minuman yang kalau dimakan dan/atau diminum terlalu banyak bisa memabukkan, harusnya duren, dikasih label: À consommer avec modération!

Mirip di label-label Wine, Champagne, Liqueur, dll di Prancis. Aku kurang tahu terjemahan yang paling pasnya apa dalam bahasa Indonesia. Modération dalam bahasa Prancis yang dialihbahasakan atau disederhanakan dalam bahasa Indonesia menjadi "moderasi".

Nah, moderasi sendiri jika dari pengertian awal dari bahasa Prancis, paling sederhana menurut yang aku pahami ya berarti dengan perhitungan, gak ngawur, gak kalap, berhati-hati.

Lalu bagaimana dengan agama?

Menurutku juga sama, setidaknya kalau merujuk Kitab Tahdzibul Akhlaq-nya Ibnu Miskawayh yang dulu banget pernah kupelajari, beragama yang utama, ya dengan moderasi.

Tentu saja, moderasi beragama, menjadi sesuatu yang tidak mudah dipraktikkan, butuh ilmu, butuh kesadaran, butuh niat baik, dan seterusnya, karena moderasi beragama itu bukan berarti beragama secara tengah-tengah, alias nanggung, alim gak, maksiyat iya, meskipun mungkin dikit.

Astaghfirullah...

***