Roy Suryo: Basiyo dalam Versi Paling Jeleknya

Sebagai orang "sosial-media" ia tak belajar apa-apa dari segala kontroversi dan konsekuensinya.

Senin, 27 Juni 2022 | 09:27 WIB
0
215
Roy Suryo: Basiyo dalam Versi Paling Jeleknya
Roy Suryo (Foto: akurat.co)

Jika saya harus membuat urutan tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Yogyakarta modern. Saya akan menempatkan Basiyo sebagai figur nomer tiga terpenting. Tak juga terlalu penting, siapa pun nomer 1 dan nomer 2-nya. Silahkan diisi menurut seleranya masingmasing. Jika pengen ngisi Ngarsa dalem HB IX dan presiden nyaris seumur hidup Suharto yang sepanjang hidupnya selalu berival.
Itu juga boleh. Bebas pokona mah...

Bagi saya Basiyo adalah "wakil rakyat sejati". Ia budayawan, seniman, sebagian menyebutnya maestro yang sangat original. Ia secara profesi atau harfiah, hanya dipahami sebagai pelawak, dagelan, atau kalau hari ini (agar naik kelas) disebut komedian. Walau saya yakin, sebutan ini akan menjadi lucu, kalau dihubungkan dengan misalnya saja "komidi putar" yang menjadi ikon terpenting wahana hiburan di "pasar malam".

Sebagai ilustrasi, kenapa istilah "komedi" menjadi tampak paling terhormat, berbobot dan global. Mundur sejenak pada puisi naratif yang panjang hasil karya Dante Alighieri. Yang ditulis antara tahun 1308-1320. Puisi ini secara luas dianggap sebagai karya unggulan dalam sastra Italia, dan dipandang sebagai salah satu karya terbesar sastra dunia. Point terpenting karya ini menggambarkan alegori perjalanan kefanaan menuju keabadian.

Dimana kehidupan manusia menjadi tiga bagian: Inferno (neraka), Purgatorio (dunia), dan Paradiso (surga). Tidak melulu menyangkut hari esok, tapi bahkan sudah terjadi di hari ini...

Puisi ini walau tampak serius, mengisyaratkan kekonyolan manusia dalam "mem-framing hidupnya", yang menjudge hidup di dunia sekedar mampir untuk kemudian "direbus" di neraka atau kemudian dihadiahi surga. Secara tidak langsung, Dante ingin mengejek betapa lucu, absurd, dan fananya kehidupan dunia. Hanya mereka yang memiliki watak "pendagel, pelawak, pelucu" yang mampu membuat jernih cara pandang ke-serba dilematis-an tersebut...

Intinya, saya cuma mau bilang "komedian" didaku sebagai profesi "tertinggi" yang paling dekat dengan keilahian. Suatu judge yang berlebihan, tapi dalam diri Basiyo saya kok makin ke sini, makin merasakannya demikian. Ada benarnya, tak salah-salah amat...

Bagi saya tak ada kaset lawakan, yang masih bikin rindu. Tak pernah bosan diputar, walau ceritanya tak pernah "bertema besar". Ia hanya bergeser dari satu kronik kehidupan, kekonyolan, ketololan, kengeyelan, kendablegan, dan serba kecupetan (cupet itu terbatas-red). Ia adalah figur penting yang membentuk watak original orang Jogja yang gampang nriman (menerima nasib), suka weweh (berbagi), mudah mentertawakan dirinya sendiri.

Guyonannya selalu satir dan garing, yang mampu menjangkau semua umur, di sepanjang masa. Kultur yang pada intinya sebagaimana dikuatkan oleh Dante bahwa urip mung mampir ngombe. Yang dalam beberapa konteks diplesetkan sebagai urip mung mampir guyon....

Dalam konteks inilah, barangkali Roy Suryo mencoba mengembalikan dirinya sebagai orang Jogja. Karena pada dasarnya, ia sudah dianggap "bukan Jogja" lagi. Ambisinya yang berlebihan, kecriwisannya di media massa, kegilaannya akan sosial media. Saya sendiri tidak tahu, apa "ilmu terpenting"-nya, semua serba tanggung. Ia lulusan Komunikasi UGM, tapi bidang yang digelutinya mula-mula adalah fotografi. Hal yang memungkinkannya kemudian jadi dosen di Fakultas Media Rekam ISI.

Realitasnya ia seorang otodidak yang tekun, yang pandai membaca trend. Ia lalu sibuk beredar di media massa, dan kecanduan. Ia memiliki pergaulan yang luas. Konon saat jadi menteri, ia dianggap "media darling" karena kemudahannya diakses oleh para wartawan. Hapenya selalu aktif, dan ia mudah diajak tanya jawab banyak persoalan. Di masa pendeknya sebagai Menpora, ia dianggap sebagai pemecah kebuntuan kontroversi dualisme kepengurusan PSSI. Ia sebagaimana watak asli orang Jogja sebagai "tukang glembuk", ia berhasil memediasi semua pihak.

Ia kemudian tampak menikmati jabatannya, hingga akhirnya partai yang didukungnya jadi paria. Pesakitan, gelandangan, dan yang serba tertuduh....

Roy Suryo seolah "divine comedy" itu sendiri. Itu konyol dalam banyak persoalan. Ia adalah cakra manggilingan, roda berputar kehidupan dunia ini. Menjadikan dunia adalah metaverse surga dan neraka. Setelah Orde Los Stang di bawah SBY jatuh. Ia adalah sedikit orang yang masih ceriwis, tak malu mengolok-olok balik musuh politiknya, dan hingga beberapa saat masih mencoba terus membela junjungannya. Sebagai manusia paling bebal dalam sejarah politik Indonesia modern ini.

Setidaknya ia masih meninggalkan satu ciri baik orang Jogja. Kemudian ia menyerah, keluar dari partainya. Entah apa alasannya, tapi saya percaya ketika ia mengatakan "sudah merasa cukup". Begitulah orangkota ini selalu beralibi atau beragumentasi saat akan mengakhiri sebuah hubungan. Hubungan apa pun itu. Sayangnya ia tetap ceriwis, masih tetap norak, dan yang tak tersembuhkan pilihan sikapnya untuk "abadi membenci Jokowi" secara berlebihan.

Sebagai orang "sosial-media" ia tak belajar apa-apa dari segala kontroversi dan konsekuensinya. Di sebuah podcast, ia menjawab tuduhan kenapa ia dianggap "Pangeran Panci". Ia menolak dianggap membawa pulang banyak barang dari rumah dinasnya, ia "endo", ia denial, ia menyangkal bahwa justru pihak Kemenpora-lah yang mengirim barang-barang itu ke rumahnya. Ia menganggap bahwa "perkara" ini muncul karena rivalitas dan sentimen antarpejabat di kementrian tersebut.

Lucunya sebuah data menunjukkan bahwa temuan "barang hilang" tersebut berasal dari temuan BPK. Dan BPK-lah yang sebenarnya menuntut pengembalian barang-barang tersebut. Absurd!

Dan seolah tak ada kapoknya, ia kemudian mengunggah sebuah meme. Yang menurut saya "standar sekali Jokowi haters". Sebuah ilustrasi yang mengganti wajah manusia agung "Siddharta Gautama" dengan wajah Jokowi. Saya melihat tak ada yang lucu di sini. Sama sekali tak ada lucu-lucunya. Tak ada kaitan cerita yang membuat isu kenaikan tiket naik ke tubuh candi dengan keputusan Jokowi. Ia tak ada urusan apa pun, hal itu adalah urusan para pejabat yang memang berkompeten di dalamnya.

Kontroversi yang berakhir anti-klimaks. Dimana para stake-holder politiknya kemudian mengambil alih perkara hanya demi alasan populisme dan popularisme. Dua konteks yang bagi saya makin jadi trend sebagai kuda troya yang menyebalkan....

Bagi saya: Roy Suryo hanya ingin menjadi menjadi Jogja lagi. Ia ingin bisa mendagel cara Basiyo. Ia mungkin tiba-tiba sadar, hanya para komedian-lah yang bisa membaca isyarat-isyarat kehendak alam. Ia mengganggap enteng umat Buddha yang saya yakin, paling gampang mengerti dan memafakan. Sialnya tanpa sadar ia justru "mencederai" sikap welas asih ajaran Buddha. Ia lupa, tak semua orang Buddha akan bersikap sama. Dan ujungnya, ia dilaporkan ke polisi. Tak butuh sebuah komunitas, cukup satu orang saja.

Satir-komedik-nya, sebelum ia dilaporkan ke polisi. Ia telah melaporkan para penggunggah meme yang sama sebelum dirinya. Kali ini, ia gagal menemukan siapakah pembuat meme aslinya, siapa pengunggah pertamanya. Ia tak se-istimewa, yang selama ini ditabalkan padanya sebagai "ahli telematika". Ia mungkin ekspert, tapi keahliannya dan popularitasnya itu karena dukungan infrastruktur pihak lain yang saya pikir jauh lebih canggih. Dan lagi-lagi ia menungganginya sekedar memperoleh sorotan media.

Masyarakat selama ini mudah tertipu dan tak sadar, dengan "framing" yang dibikinkan media massa untuk dirinya. Ia adalah orang yang menerima karma buruknya, tercebur di jugangan yang dulu orang ia juga jebloskan ke dalamnya.Ia adalah satir seorang komedian-politik yang garing. Ia adalah versi terjelek dari Basiyo. Bukan pada gayanya, tapi pada seleranya.

Sepanjang hidup Basiyo adalah kemelaratan dan kecupetan yang mengiringi. Tapi seleranya sangat istimewa.

Roy Suryo adalah sebaliknya!

NB: Sejujurnya saya tidak yakin, apakah kasus ini akan berakhir dengan "dipenjarakan"-nya Roy Suryo. Bukan saja, karena sikap welas asih ajaran dan perilaku umat Buddha sejati. Di sini titik balik dan batu uji penegakan hukum yang serius. Apakah permintaan maaf bisa melunakkan delik hukum.

Persoalannya, Roy Suryo terlanjur jadi "publik enemy", tokoh berwatak antagonis yang tidak mau belajar. Terlalu banyak orang ingin ia masuk penjara.
Semoga kasus ini menyadarkannya. Eling den, eling...

Sebagai orang Jogja, saya termasuk yang biasa saja memandang kasus ini. Ini hanya cara alam membersihkan kota ini, dari segala sengkarut dengan status "keistimewaannya". Ia tidak seistemewa itu!

Setelah walikotanya yang super duper itu tercokok KPK. Eh kok ndilalah, salah satu "bad-icon media"-nya juga secara konyol tersandung kasus. Sangat sulit dimengerti dan harusnya tak terjadi. Tapi demikianlah cara alam bekerja. Kita tak pernah tahu...

Sebagaimana kita tak pernah tahu juga, seorang antagonis lain yang tertabal pada diri Gububernur DKI Jakarta itu. Seorang figur muda yang pernah jadi harapan tinggi kota ini. Tapi kemudian, ternyata watak aslinya yang rela menghalalkan segala cara.

Sekedar untuk menduduki kursi jabatan yang empuk itu. Mereka- mereka ini adalah contoh berapa "komedik"-nya kehidupan dunia sebagaimana Dante ingin selalu ingatkan.

Yang dikejar surga, yang diraih neraka. Padahal ini masih di dunia loh....