Dawam Rahardjo

Karena keyakinan, prinsip, dan pikiran-pikirannya yang kontroversial itu, Dawam harus menerima konsekuensi "dikucilkan" dari organisasi asalnya, Muhammadiyah.

Rabu, 26 Juni 2019 | 20:53 WIB
0
572
Dawam Rahardjo
Saya dan Dawam Rahardjo (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Dia dikenal sebagai pemikir ekonomi kritis, kaya penguasaan teori, kuat dalam analisis sosial, juga mendalami kajian agama dan filsafat. Dialah Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, yang wafat Rabu, 30 Mei 2018, dalam usia 76 tahun.

Dia memang seorang pemikir ekonomi. Tapi jangan lupa Dawam pada masa mudanya juga seorang penyair! Dia senang sastra, menulis puisi, juga menulis cerpen.

"Anjing yang Masuk Surga", judul buku kumpulan cerpen karya Dawam yang pernah dimuat di berbagai media (Jalasutra, 2007). Buku ini mendapat cukup perhatian dari para kritikus sastra.

Dia juga pecinta musik! Di masa tuanya, dia menyenangi musik klasik. Penyanyi favoritnya adalah Pavarotti, Broseri, dan terutama Jose Careras.

Dawam lahir dan dididik dalam keluarga santri Muhammadiyah. Ayahnya, M Zudhi Rahardjo, ahli tafsir Alquran. Dia sendiri mengawali pendidikannya di Madrasah Diniyyah Al-Islam dan di Pesantren Krapyak. Dawam lulus dari FE-UGM 1969.

Ada pengalamannya yang menarik. Saat SMA, Dawam terpilih ikut program pertukaran siswa AFS, dan dikirim sekolah ke Borach High School, Idaho, Amerika Serikat (1960-1961). 

Selama satu tahun di Idaho , Dawam tinggal di sebuah keluarga Kristen Amerika. Pengalaman ini tentu ikut membentuk sikapnya di kemudian hari yang menghargai kebebasan dan pluralisme.

Sebagai pemikir ekonomi politik, Dawam telah menulis puluhan buku, ratusan artikel analisis ekonomi pada berbagai jurnal ilmiah, dan begitu banyak makalah pada berbagai seminar di dalam dan di luar negeri.

Bagi pembaca Jurnal #Prisma (LP3ES) sejak awal 1970-an hingga 1990-an, pasti tak asing dengan tulisan-tulisan Mas Dawam. Semua tulisannya di Prisma kemudian dibukukan dalam sebuah buku tebal, "Ekonomi Politik Pembangunan" (2012).

Tulisan pertama Dawam dimuat di Prisma, No. 4, Juli 1973. Saat itu saya masih di SMA dan baru rencana akan melanjutkan studi ke Yogyakarta.

Saya beruntung kemudian bisa mengenal tokoh ini lebih dekat dan akrab, baik sebagai senior maupun sahabat, ketika saya bergabung sebagai editor Prisma (LP3ES) tahun 1979.

Di LP3ES jabatan Dawam diawali sebagai Kordinator bidang Penelitian, kemudian Direktur, menggantikan Ismed Hadad (sebelumnya Tawang Alun dan Nono Anwar Makarim). Direktur LP3ES adalah sekaligus sebagai Pemimpin Umum Prisma.

Tetapi Dawam bukan hanya pemikir ekonomi yang hebat, ruang lingkup minat intelektualnya sangat luas. Dia aktif terlibat diskusi dan banyak menulis soal-soal agama, filsafat dan politik di atas basis keyakinannya tentang humanisme, demokrasi, dan pluralisme.

Minatnya dalam kajian filsafat dan agama sudah muncul saat dia masih mahasiswa ekonomi UGM, ketika dia terlibat dalam kelompok diskusi terbatas (Limited Group) akhir 1960an-awal 1970an.

Dalam kelompok yang dibina intelektual Islam terkemuka, Prof Dr Mukti Ali (kelak Menteri Agama), terdapat nama-nama yang kemudian dikenal sebagai intelektual dan pemikir keagamaan terkemuka , antara lain Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. Nama yang terakhir, Wahib, terkenal lewat buku catatan harian "kontroversial "Pergolakan Pemikiran Islam" (LP3ES, 1984).

Dawam dan Wahib tidak selalu sejalan, bahkan sering berbeda pendapat, namun keduanya akrab dan saling mengaggumi. "....orang seperti Dawam terbentuk karena keluasan ilmunya", tulis Wahib dalam bukunya di atas. Sedangkan Dawam menilai Wahib orang yang halus namun berpendirian tegas dan terus terang.

Minat Dawam terhadap kajian agama dan filsafat semakin terlihat di usia tuanya. Selepas dari Prisma/LP3ES, Dawam membentuk Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan menerbitkan Jurnal Ulumul Quran.

Melalui LSAF dan Jurnal Ulumul Quran, Dawam semakin banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran kritis seputar soal-soal agama dan pluralisme dikaitkan dengan konteks keindonesiaan saat ini.

Pemikiran Dawam dalam tema-tema ini seringkali "menantang arus", dan menimbulkan polemik. Bahkan karena keyakinan, prinsip, dan pikiran-pikirannya yang kontroversial itu, Dawam harus menerima konsekuensi "dikucilkan" dari organisasi asalnya, Muhammadiyah, di mana dia pernah menjadi salah satu tokohnya.

Pemikiran-pemikiran kritisnya yang sering menimbulkan kontroversi, yang mencerminkan sikap dan prinsip-prinsip yang dianutnya mengenai kemanusiaan, akhirnya membuat Dawam menerima "Yap Thiam Hien Award 2013".

Selamat jalan Mas Dawam.....

***

Keterangan Foto: Saya duduk di samping Mas Dawam dalam suatu rapat LP3ES (1980an). Berdiri di belakang Dawam, AbdullahSyarwani (kemudian Duta Besar RI di Lebanon); di belakang saya, AswabMahasin, almarhum.