Ia membagi demokrasi menjadi dua, sebagaimana dikutip Adam Schwarz, A Nation in Waiting (1994), yakni demokrasi pinjaman dan demokrasi terbatas.
Arief Budiman (Soe Hok Djin) wafat Kamis 23 April 2020 jam 12.20, dalam usia 79 tahun (lahir di Jakarta, 3 Januari 1941).
Pertemuan saya dengan kakak Soe Hok Gie, ketika saya kelas 2 SMP. Pertemuan lewat membaca buku berjudul ‘Chairil Anwar Sebuah Pertemuan’ (Pustaka Jaya, 1976).
Sebuah telaah klasik tentang Chairil Anwar, yang terasa sangat intimitasnya. Beberapa tahun kemudian, saya sadar, buku itu ternyata skripsi S1 Arief Budiman, sebagai mahasiswa Psikologi UI. Kuliah mulai 1960 dan lulus tahun 1968. Prestasi banget. Karena waktunya banyak dipakai untuk aktivitas sospolbud, juga banyak turun ke jalan.
Pertemuan kedua dengan Arief Budiman, ketika saya tinggal di daerah Minomartani (Sleman, Yogyakarta), karena kemudian ada tetangga baru samping rumah, Adrian, anak lelaki Arief Budiman, yang dikontrakkan rumah di Yogya waktu kuliah. Arief Budiman, kadang bersama Mbak Leila (isteri), kadang sendiri, nyambangi anaknya.
Di situ jika pas beruntung, bisa mengobrol dengan Sang Legenda. Dia ketawa ngakak ketika saya cerita bahwa buku ‘Chairil Anwar Sebuah Pertemuan’ saya dapat dari mencuri di toko buku Titalina Agency, jalan Magelang, route pulang sekolah dari SMP6 Jetis ke kampung Kricak.
Bagi saya, CASP skripsi paling the best. Apalagi dibanding skripsi-skripsi mahasiswa sekarang pun. Di bidang psikologi maupun sastra, skripsi Arief Budiman adalah juara. Analisisnya sekelas disertasi. Dan apalagi ia bergelut di dua dunia. Terlibat dalam forum-forum kebudayaan, antara lain mendirikam majalah sastra Horison, Arif Budiman juga bagian penting pergerakan politik 1965 hingga Orde Baru berjaya.
Gerakannya dalam ‘golput’, menunjukkan sikap politiknya yang tanpa kompromi. Tak beda dengan adiknya, Gie. Golput, sebagai gerakan politik saat itu, sangat inspiratif dan relevan, meski bisa salah kaprah dalam konteks masyarakat madani dengan banyak alternative. Tentu kendalanya, lebih pada terbangunnya kesadaran dan keberanian civil society, ketika kelas menengah tetap tak bisa menjadi jembatan. Dulu hingga kini.
Tahun 1980, Arief Budiman memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, AS. Dia seorang sosiolog yang pernah mengajar di UKSW, Salatiga, Indonesia, hingga kemudian sebagai profesor dalam studi Bahasa Indonesia di University of Melbourne, Australia.
Dia adalah kritikus vokal politik Indonesia. Seorang yang keras, kritis pada pemerintahan. Tetapi tak segan memuji tokoh-tokoh yang memiliki sikap dan pandangan yang ia anggap baik untuk Indonesia, walau bertentangan pendapat dengannya. Konflik baginya sebagai komunikasi mengadu gagasan. ukan untuk berebut paling pintar. Karena itu, salah satu prinsipnya ‘melawan tanpa kebencian’, yang menjadi judul buku biografinya.
Ia membagi demokrasi menjadi dua, sebagaimana dikutip Adam Schwarz, A Nation in Waiting (1994), yakni demokrasi pinjaman dan demokrasi terbatas, yang ketika konflik di dalam elit sudah berakhir, ruang demokrasi itu mungkin akan hilang juga.
Namun mau bagaimana, karena kenyataannya ada lelucon yang tak lucu dalam kepolitikan nasional serta mutu demokrasi kita. Ketika itu, pada Pemilu 2019, 20 tahun setelah Soeharto longsor. Usai kertas suara tercoblos pada Pileg April 2019, menjelang debat capres konon bahan debat yang rencananya diberikan terlebih dulu (kepada peserta debat) menuai pro-kontra di masyarakat.
Buntutnya, entah bagaimana, nama Ketua KPU-RI Arief Budiman, dinilai tidak adil. Ketua KPU Arief Budiman jadi sasaran serangan. Tudingan secara pribadi terhadap dirinya pun tampak mulai bermunculan di media sosial.
Berdasar pesan di grup WhatsApp, Arif dikatakan adik kandung dari aktivis Indonesia, Soe Hok Gie. Pesan itu juga menuliskan, bahwa Arief Budiman memiliki nama lahir Soe Hok Djin. Politik rasis mulai dimunculkan.
Untuk kasus ini, Goenawan Mohamad, salah satu sohib Arief Budiman (Djin), turun tangan mengklarifikasi. GM menegaskan, Soe Hok Djin bukan Ketua KPU-RI yang dimaksud, meski punya nama sama. Saking benci, bodoh, dan rasisnya. Wassalom, kata Asmuni.
Ketahuan ‘kan, tingkat demokrasi kita? Namun, terimakasih, Pak Arief, atas segala jasa aktivisme dan pergerakanmu. Engkau bukan hanya tanpa kompromi untuk yang prinsip melainkan juga tanpa pamrih dan topeng. Selamat jalan Sang Legenda!
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews