Arief Budiman, Sebuah Pertemuan

Ia membagi demokrasi menjadi dua, sebagaimana dikutip Adam Schwarz, A Nation in Waiting (1994), yakni demokrasi pinjaman dan demokrasi terbatas.

Minggu, 26 April 2020 | 09:08 WIB
0
281
Arief Budiman, Sebuah Pertemuan
Arief Budiman (Foto: Tribunnews.com)

Arief Budiman (Soe Hok Djin) wafat Kamis 23 April 2020 jam 12.20, dalam usia 79 tahun (lahir di Jakarta, 3 Januari 1941).

Pertemuan saya dengan kakak Soe Hok Gie, ketika saya kelas 2 SMP. Pertemuan lewat membaca buku berjudul ‘Chairil Anwar Sebuah Pertemuan’ (Pustaka Jaya, 1976).

Sebuah telaah klasik tentang Chairil Anwar, yang terasa sangat intimitasnya. Beberapa tahun kemudian, saya sadar, buku itu ternyata skripsi S1 Arief Budiman, sebagai mahasiswa Psikologi UI. Kuliah mulai 1960 dan lulus tahun 1968. Prestasi banget. Karena waktunya banyak dipakai untuk aktivitas sospolbud, juga banyak turun ke jalan.

Pertemuan kedua dengan Arief Budiman, ketika saya tinggal di daerah Minomartani (Sleman, Yogyakarta), karena kemudian ada tetangga baru samping rumah, Adrian, anak lelaki Arief Budiman, yang dikontrakkan rumah di Yogya waktu kuliah. Arief Budiman, kadang bersama Mbak Leila (isteri), kadang sendiri, nyambangi anaknya.

Di situ jika pas beruntung, bisa mengobrol dengan Sang Legenda. Dia ketawa ngakak ketika saya cerita bahwa buku ‘Chairil Anwar Sebuah Pertemuan’ saya dapat dari mencuri di toko buku Titalina Agency, jalan Magelang, route pulang sekolah dari SMP6 Jetis ke kampung Kricak.

Bagi saya, CASP skripsi paling the best. Apalagi dibanding skripsi-skripsi mahasiswa sekarang pun. Di bidang psikologi maupun sastra, skripsi Arief Budiman adalah juara. Analisisnya sekelas disertasi. Dan apalagi ia bergelut di dua dunia. Terlibat dalam forum-forum kebudayaan, antara lain mendirikam majalah sastra Horison, Arif Budiman juga bagian penting pergerakan politik 1965 hingga Orde Baru berjaya.

Gerakannya dalam ‘golput’, menunjukkan sikap politiknya yang tanpa kompromi. Tak beda dengan adiknya, Gie. Golput, sebagai gerakan politik saat itu, sangat inspiratif dan relevan, meski bisa salah kaprah dalam konteks masyarakat madani dengan banyak alternative. Tentu kendalanya, lebih pada terbangunnya kesadaran dan keberanian civil society, ketika kelas menengah tetap tak bisa menjadi jembatan. Dulu hingga kini.

Tahun 1980, Arief Budiman memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, AS. Dia seorang sosiolog yang pernah mengajar di UKSW, Salatiga, Indonesia, hingga kemudian sebagai profesor dalam studi Bahasa Indonesia di University of Melbourne, Australia.

Dia adalah kritikus vokal politik Indonesia. Seorang yang keras, kritis pada pemerintahan. Tetapi tak segan memuji tokoh-tokoh yang memiliki sikap dan pandangan yang ia anggap baik untuk Indonesia, walau bertentangan pendapat dengannya. Konflik baginya sebagai komunikasi mengadu gagasan. ukan untuk berebut paling pintar. Karena itu, salah satu prinsipnya ‘melawan tanpa kebencian’, yang menjadi judul buku biografinya.

Ia membagi demokrasi menjadi dua, sebagaimana dikutip Adam Schwarz, A Nation in Waiting (1994), yakni demokrasi pinjaman dan demokrasi terbatas, yang ketika konflik di dalam elit sudah berakhir, ruang demokrasi itu mungkin akan hilang juga.

Namun mau bagaimana, karena kenyataannya ada lelucon yang tak lucu dalam kepolitikan nasional serta mutu demokrasi kita. Ketika itu, pada Pemilu 2019, 20 tahun setelah Soeharto longsor. Usai kertas suara tercoblos pada Pileg April 2019, menjelang debat capres konon bahan debat yang rencananya diberikan terlebih dulu (kepada peserta debat) menuai pro-kontra di masyarakat.

Buntutnya, entah bagaimana, nama Ketua KPU-RI Arief Budiman, dinilai tidak adil. Ketua KPU Arief Budiman jadi sasaran serangan. Tudingan secara pribadi terhadap dirinya pun tampak mulai bermunculan di media sosial.

Berdasar pesan di grup WhatsApp, Arif dikatakan adik kandung dari aktivis Indonesia, Soe Hok Gie. Pesan itu juga menuliskan, bahwa Arief Budiman memiliki nama lahir Soe Hok Djin. Politik rasis mulai dimunculkan.

Untuk kasus ini, Goenawan Mohamad, salah satu sohib Arief Budiman (Djin), turun tangan mengklarifikasi. GM menegaskan, Soe Hok Djin bukan Ketua KPU-RI yang dimaksud, meski punya nama sama. Saking benci, bodoh, dan rasisnya. Wassalom, kata Asmuni.

Ketahuan ‘kan, tingkat demokrasi kita? Namun, terimakasih, Pak Arief, atas segala jasa aktivisme dan pergerakanmu. Engkau bukan hanya tanpa kompromi untuk yang prinsip melainkan juga tanpa pamrih dan topeng. Selamat jalan Sang Legenda!

@sunardianwirodono

***