Marjati Sangen, Kita Kehilangan Perempuan Dayak Profesor

Tidak ada dikotomi etnisitas dan nasionalisme kebangsaan. Konsep "bhineka tunggal ika" tercermin di sana.

Minggu, 1 Agustus 2021 | 10:51 WIB
0
251
Marjati Sangen, Kita Kehilangan Perempuan Dayak Profesor
Marjati Sangen. Kami kehilangan seorng profesor.

Berita mengejutkan itu saya terima subuh, hari Minggu 01 Agustus 2021. Begitu buka mata, bangun dari tidur. Seperti biasa, saya memeriksa sejumlah WA yang masuk. Terbaca berita dukacita. Dikabarkan sang profesor perempuan itu, tutup usia.

Saya tak asal menerima warta begitu saja. Saya lakukan silang-berita. Kepada lebih dari dua sahabat, yang saya kenal dan anggap akurat. Semua memberi kabar yang sama. Bahkan mem-forward warta yang ditulis oleh anaknya, Dr. Meiske Claudia. Bahwa sang profesor memang telah berpulang pada pukul 01.13 di RS Suaka Insan.

Kaget sudah tentu. Kehilangan pasti. Betapa tidak. Marjati Sangen, menurut catatan saya, satu dari 4 perempuan profesor Dayak.

Saya mengenangnya sebagai perempuan ugahari, meski amat sangat pintar di vaknya. Waktu peluncuran buku saya, di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, 29 Juni 2014, ia sengaja datang dari jauh menghadiri. Ia juga dicatat sebagai salah satu pendiri Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN) di Palangka Raya, 19 Januari 2019.

Saya memasukkan beliau sebagai salah satu tokoh dalam buku 101 Tokoh Dayak, jilid 1 (2014). Pada halaman 68-69, tertulis demikian:

Wanita Dayak yang profesor, sejauh ini, agaknya baru segelintir. Jemari sebelah tangan masih terlalu banyak dibanding bilangannya. Baru ada 4 profesor Dayak.

Satu dari yang langka itu adalah Marijati Sangen. Kini ia menjabat sebagai Asisten Direktur Bidang Administrasi dan Keuangan, Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin.

Ia juga anggota senat Unlam. Menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Unlam, putri pasangan Titus Tadju Sangen dan Ilon ini lulus pada 1975. Tidak puas hanya sampai di situ, ia kemudian melanjutkan S-2 pada Program Magister Manajemen Universitas Airlangga, Surabaya dan lulus pada 1996. Ia kemudian mengambil Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang dengan peminatan Manajemen angkatan 2001.

Disertasinya berjudul “Pengaruh Orientasi Kewirausahaan, Orientasi Pasar dan Budaya Etnis Cina, Bugis, Jawa dan Banjar terhadap Kinerja Usaha Kecil” yang dipertahankannya dalam sidang terbuka di gedung Pascasarjana Universitas Brawijaya mengantar wanita itu meraih gelar tertinggi di dunia akademik, “Doktor”. Setelah cukup angka cum-nya, dia dikukuhkan menjadi profesor.

Ia menikah dengan Edward Riduan dan dikaruniai tiga orang anak. Marijati agaknya menikmati dunia akademik. Perempuan dari puak Dayak Ngaju ini menceburkan diri dan larut pada pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.

Sebuah panggilan mulia yang oleh para tokoh Dayak di awal masa perjuangan dan kebangkitan bangsa disebut-sebut sebagai tolok ukur kemajuan suku bangsa Dayak, yakni apabila puak ini sudah berjaya di bidang “onderwijs”.

Pandemi Covid 19, menurut sahabat saya yang kena, amat sangat “pintar”. Kadang, seperti memberi harapan palsu (PHP).

 “Seakan-akan telah hilang. Namun, kadang muncul. Badan ini remuk redam rasanya,” begitu Dominikus Baen, menulis kepada saya. Mengisahkan pengalamannya terpapar. Dan berusaha untuk pulih kembali.

Poin saya adalah: Kita merasa kehilangan banyak. Kita sungguh berdoa dan berharap, pandemi mencapai titik baliknya. Makin surut. Dan teratasi.

Sebulan ini, kita (Dayak terutama) kehilangan putra putri terbaik. Dua profesor. Prof. Hamid Darmadi meninggalkan kita, Juli, bulan yang baru saja berlalu.

Kita memikirkan bahwa tidak mudah meraih jenjang jabatan akademik (JJA) tertinggi, guru-besar. Siapa kira-kira, S-3 tentunya, dosen kita yang akan mengganti mereka?

Tentu, itu pekerjaan rumah (PR) setiap dari kita. Terutama Dewan Adat Dayak (DAD), Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN), Forum Intelektual Dayak Nasional (FIDN), perguruan tinggi bernuansa kedayakan, serta siapa saja yang terpanggil untuk memikirkan kelangsungan dan masa depan Dayak.

Dalam hal sumber daya manusia (SDM), Dayak memberi sumbangan pada peningkatan kualitas bangsa. Tidak ada dikotomi etnisitas dan nasionalisme kebangsaan. Konsep "bhineka tunggal ika" tercermin di sana.

Baiklah, “All politics is local?” seperti dipopulerkan O'Neill. Dalam konteks ini, dapat dirumuskan, "Dari Dayak untuk bangsa".

Maka baiklah sejenak kita menundukkan kepala. Memberi tabik pada sang profesor. Mengingat sumbangsih. Dan segala kebaikan. Yang telah diperbuatnya.

***