Yang mestinya tumbuh dari kasus toko roti itu bukan hanya soal kebijakan perusahaan yang diskriminatif atau halal-haram saja, tapi kepantasan dalam menghargai nilai uang yang kita miliki.
Tentang roti yang sedang ramai, saya gak akan mention soal halal haram atau kebijakan manajemennya yang diskriminatif. Menurut saya, membeli roti dengan brand internasional (franchise) yang dijual di premium commercial spot hanya untuk memenuhi tuntutan gaya hidup (gaya-gayaan) saja, bukan karena lapar pengen makan roti. Harganya pasti sangat memicu inflasi. Multipier effect-nya pun sangat kecil, karena labour cost dalam struktur biaya di perusahaan-perusahaan Indonesia cuma 10% sampai 12%.
Teringat dua pengalaman beberapa tahun lalu. Pertama, ketika dijamu makan malam oleh Singapore Tourism Board di National Museum Singapore. Makan bergaya Perancis sambil diskusi (soal pariwisata) kayak di film-film, diiringi biola yang dimainkan violis bule. Entah apa nama serentet makanan yang disajikan seupil demi seupil selama 2,5 jam (20.00 - 22.30).
Sebelum pulang penasaran, cari tahu berapa harga makan per orang waktu itu, S$185. Halah, gak nikmat. Sampe hotel, temen dari TVRI ngajak keluar. "Mau apa?" Dia jawab, nyari Nasi Padang." Okay, let's go. Makan pake tangan, kaki sebelah naik, beneran kenyang. Abis itu, ngopi, udud, puuusss ... nikmat mana lagi yang kan kau dustakan?
Kedua, diajak oleh seorang konglomerat (sekarang sudah almarhum) makan siang jamu mitranya, di hotel bintang lima diamond. Sepotong roti harganya Rp110 ribu - Rp240 ribu, gak Indonesiawi banget. Seolah di Indonesia tak ada penduduk miskin. Benar-benar heartless.
Lain waktu, konglomerat itu ngajak jalan ke kampungnya (Pandeglang). Di perjalanan mampir di warung makan deket sungai kecil, bangunannya pun dari kayu, sudah kusam. Di situ makan sama ikan asin, sambel, pete, sayur asem. Saya lihat dia makan sangat lahap, sampe berkeringat. Tentu diakhiri ngopi, udud. Dia bilang, "Ini baru makan." Makan puas berempat gak sampe Rp100 rebu.
Jadi, (menurut saya) kesadaran yang mestinya tumbuh dari kasus toko roti itu bukan hanya soal kebijakan perusahaan yang diskriminatif atau halal-haram saja, tapi kepantasan dalam menghargai nilai uang (sebagai konversi dari produktivitas) yang kita miliki, dan empati terhadap sesama yang berkekurangan. Masih bisa mendapatkan roti dengan rasa dan kualitas yang sangat baik, dengan harga yang wajar.
Paham, ya?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews