Toko Roti Itu

Yang mestinya tumbuh dari kasus toko roti itu bukan hanya soal kebijakan perusahaan yang diskriminatif atau halal-haram saja, tapi kepantasan dalam menghargai nilai uang yang kita miliki.

Selasa, 26 November 2019 | 05:57 WIB
0
331
Toko Roti Itu
Ilustrasi roti (Foto: dream.co.id)

Tentang roti yang sedang ramai, saya gak akan mention soal halal haram atau kebijakan manajemennya yang diskriminatif. Menurut saya, membeli roti dengan brand internasional (franchise) yang dijual di premium commercial spot hanya untuk memenuhi tuntutan gaya hidup (gaya-gayaan) saja, bukan karena lapar pengen makan roti. Harganya pasti sangat memicu inflasi. Multipier effect-nya pun sangat kecil, karena labour cost dalam struktur biaya di perusahaan-perusahaan Indonesia cuma 10% sampai 12%.

Teringat dua pengalaman beberapa tahun lalu. Pertama, ketika dijamu makan malam oleh Singapore Tourism Board di National Museum Singapore. Makan bergaya Perancis sambil diskusi (soal pariwisata) kayak di film-film, diiringi biola yang dimainkan violis bule. Entah apa nama serentet makanan yang disajikan seupil demi seupil selama 2,5 jam (20.00 - 22.30).

Sebelum pulang penasaran, cari tahu berapa harga makan per orang waktu itu, S$185. Halah, gak nikmat. Sampe hotel, temen dari TVRI ngajak keluar. "Mau apa?" Dia jawab, nyari Nasi Padang." Okay, let's go. Makan pake tangan, kaki sebelah naik, beneran kenyang. Abis itu, ngopi, udud, puuusss ... nikmat mana lagi yang kan kau dustakan?

Kedua, diajak oleh seorang konglomerat (sekarang sudah almarhum) makan siang jamu mitranya, di hotel bintang lima diamond. Sepotong roti harganya Rp110 ribu - Rp240 ribu, gak Indonesiawi banget. Seolah di Indonesia tak ada penduduk miskin. Benar-benar heartless.

Lain waktu, konglomerat itu ngajak jalan ke kampungnya (Pandeglang). Di perjalanan mampir di warung makan deket sungai kecil, bangunannya pun dari kayu, sudah kusam. Di situ makan sama ikan asin, sambel, pete, sayur asem. Saya lihat dia makan sangat lahap, sampe berkeringat. Tentu diakhiri ngopi, udud. Dia bilang, "Ini baru makan." Makan puas berempat gak sampe Rp100 rebu.

Jadi, (menurut saya) kesadaran yang mestinya tumbuh dari kasus toko roti itu bukan hanya soal kebijakan perusahaan yang diskriminatif atau halal-haram saja, tapi kepantasan dalam menghargai nilai uang (sebagai konversi dari produktivitas) yang kita miliki, dan empati terhadap sesama yang berkekurangan. Masih bisa mendapatkan roti dengan rasa dan kualitas yang sangat baik, dengan harga yang wajar.

Paham, ya?

***