Wujudkan Pemilu Damai Tanpa Ujaran Kebencian

Rasa tidak percaya masyarakat kepada pemerintahan dikhawatiran akan berpengaruh pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi aktif pada proses politik ke depannya.

Kamis, 28 Juli 2022 | 21:45 WIB
0
95
Wujudkan Pemilu Damai Tanpa Ujaran Kebencian
Prokes ramadhan

Mewujudkan Pemilihan Umum (Pemilu) yang damai tanpa adanya ujaran kebencian adalah keinginan setiap masyarakat. Karena Pemilu adalah pesta demokrasi terbesar bagi Rakyat Indonesia, yang seharusnya kita rayakan dengan suka cita.

Dengan Pemilu, Rakyat Indonesia bisa memilih calon pemimpin yang menurutnya pantas untuk membawa perubahan dengan kebijakan-kebijakan yang akan dilahirkannya.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 1 Ayat 1 angka 1, Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilu merupakan perwujudan dari demokrasi, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Pemilu memiliki enam asas penting di dalam pelaksanaannya, sesuai dengan Pasal 2 UU Pemilu. Keenam asas tersebut yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau biasa kita kenal dengan sebutan luber jurdil. Keenam asas ini memastikan bahwa setiap pemilih mendapatkan keadilan dalam memilih pemimpinnya, dimana semua masyarakat yang sudah layak menjadi pemilih bisa bebas memilih secara langsung, dengan kerahasiaan dan kejujuran dari hati nuraninya, serta mendapat perlakuan yang sama baik secara hak dan kewajiban.

Pakar Ilmu Politik Universitas Indonesia, mendiang Profesor Arbi Sanit sebelumnya pernah mengungkapkan bahwa pada dasarnya Pemilu memiliki empat fungsi yakni membentuk legitimasi penguasa dan pemerintah, membentuk perwakilan politik rakyat, sirkulasi elite penguasa, dan pendidikan politik. Dengan adanya fungsi-fungsi tersebut, dirinya menjelaskan bahwa Pemilu bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib, melaksanakan kedaulatan rakyat, serta melaksanakan hak-hak asasi manusia.

Indonesia melaksanakan Pemilihan Presiden (Pilpres) langsung sejak tahun 2004, dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) keluar sebagai pemenangnya. Terhitung sudah empat kali dengan selang waktu lima tahun Indonesia melaksanakan Pilpres, dengan disertai pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) untuk memilih anggota legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih para Pemimpin Daerah.

Tahun 2022 yang merupakan dua tahun menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, seolah menjadi pembuka dalam perjalanan para kandidat pemimpin untuk benar-benar berkompetisi menjadi pemimpin pilihan rakyat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku lembaga negara yang menyelenggarakan Pemilu di Indonesia resmi membuka tahapan Pemilu 2024 sejak 14 Juni 2022. Hal ini disampaikan oleh Ketua KPU Hayim Asy’ari di Kantor KPU di Jakarta.

Rangkaian tahapan Pemilu pada tahun ini dimulai dari perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilu, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih Pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta Pemilu, hingga penetapan peserta Pemilu. Keseluruhan tahapan tersebut akan berlanjut hingga 2024 sampai Pemilu benar-benar terlaksana.

Menjelang 2024, para kandidat akan mempersiapkan dirinya dengan baik untuk dapat diterima citranya oleh masyarakat. Masa kampanye yang sesungguhnya belum dimulai dapat diawali dengan pengenalan dirinya secara tidak langsung kepada masyarakat. Mengenalkan diri dengan citra yang baik tanpa menjatuhkan pihak lain seharusnya menjadi dasar perilaku dari calon atau bakal calon (balon) peserta Pemilu.

Strategi pengenalan sosok dari balon kandidat peserta kepada masyarakat sebaiknya dilakukan dengan menghargai perbedaan dengan menghindari politisasi Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Hal ini dikarenakan Indonesia adalah bangsa yang besar dengan anugerah keanekaragaman dari Tuhan yang mesti kita syukuri dan pelihara.

Politisasi atas dasar perbedaan SARA berbentuk ujaran kebencian akan membuat Bangsa Indonesia menjadi terpecah. Masyarakat akan semakin terpolarisasi, dimana masyarakat akan menjadi terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan atas sebuah isu, kebijakan, atau ideologi. Bila hal negatif tersebut terus berlanjut, maka akan muncul rasa saling tidak percaya di antara keluarga, teman, rekan, atau lingkungan masyarakat, dan akan berujung terjadinya perpecahan bahkan kerusuhan.

Ujaran kebencian dengan terus-menerus menebar kabar bohong seyogyanya akan melahirkan permusuhan atas dasar kecurigaan yang tidak beralasan. Ujaran kebencian pada akhirnya akan menghasilkan masyarakat yang tidak percaya kepada pihak pemenang Pemilu juga akan senantiasa curiga dan merasa hasil kebijakan dari pemerintah terpilih merupakan kebijakan yang tidak tepat dan tidak pro kepada rakyat.

Rasa tidak percaya masyarakat kepada pemerintahan dikhawatiran akan berpengaruh pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi aktif pada proses politik ke depannya. Rendahnya partisipasi politik seperti rendahnya penggunaan hak pilih, dan keterlibatan warga dalam kampanye maupun pengambilan kebijakan publik, akan berpengaruh pada rendahnya mutu demokrasi di Indonesia kelak.

Mewujudkan Pemilu yang damai tanpa ujaran kebencian seharusnya terus kita galakkan. Selama periode dua tahun menjelang pesta demokrasi terbesar di Indonesia ini apa lagi di masa kita masih berada di fase Pandemi Covid-19, seharusnya kita saling bekerjasama membangun Indonesia yang lebih baik. Sifat optimis bahwa Indonesia akan lebih baik lagi ke depan harus kita jaga sebagai Rakyat Indonesia. Karena masa depan Indonesia kelak ada di tangan kita bersama, Rakyat Indonesia.

Bening Arumsari, Penulis adalah Kontributor untuk Pertiwi Institute