Perdebatan dan perselingkuhan kedua hak dan kedaulatan privasi dan publik ini telah menyibukkan para filsuf publik sejak abad ke-18.
Kekuasaan eksepsional berlaku bagi siapapun. Ia tak dibatasi oleh jenis kelamin apalagi ras dan agama. Meski kekuasaan ekseptional itu, seperti yang diulas filsuf politik asal Itali Giorgio Agamben dalam "Homo Sacer" (1998), selalu bukan tanpa resiko. Lazimnya kaidah hukum kekuasaan dan kedaulatan (sovereignity) di manapun.
Teori kekuasaan eksepsi itu merupakan praktek mirip "demokrasi terpimpin" Bung Karno atau "asas tunggal" Suharto. Kedaulatan sepenuhnya ada pada kepala suku, raja hingga perdana menteri dan presiden. Karena itu, dengan mengutip Kontorwovic, Agembemen percaya kekuasaan dan kedaulatan selalu merupakan "dua tubuh raja" (two kings body).
Meminjam istilah dalam antropologi religius, dua tubuh itu silih berganti antara jubah suci (sakral) dan jubah sangar (profan) untuk menunjukkan absolutisme kedaulatannya. Itulah alasan bagaimana keputusan hukum tertinggi apapun yang ditetapkan (in kracht) bisa dibatalkan oleh presiden dan sejenisnya.
Biopolitik dalam bentuk representasi kekuasaan eksepsi ini sering dirujuk dari sosiolog Peter L. Berger(1929-2017) sebagai "construction of reality" (tatanan realitas). Dari tatanan realitas ini, khusus "dua tubuh raja" -- Ruciman memakai istilah politik dua muka (political mask/hypocrisy) --malah sering membentuk kepelbagian bahkan kemajemukan penampilan (appearance) berstandar ganda (hypocrisy).
Sosiologi pentas politik umumnya ikut mengkonteskan pesolek luar (outward) dan pesolek dalam (inward). Memadukan yang "appear" (luar/bentuk) dan "appeal" (isi/daya) memang tak mudah. Kita sering terkecoh oleh hasil-hasil "pesolek luar."
Di tengah lasaknya kebudayaan populer yang mudah diakses industri medsos, publik dan khalayak dengan mudah disedot oleh konstruksi luar yang dibikin bagai pualam dan kencana.
Para ahli psikologi komunikasi dan manajemen menyebutnya: imagology (pencitraan). Tak ada yang keliru, jika orang mudah bersimpati pada mereka yang mampu dengan sigap dan silau menyuguhkan citra luaran sebagai produk komodifikasi dan kosmetologi. Pepatahnya: indah raga dari rupa.
Dua srikandi yang ada di panggung gemerlap kekuasaan dan dua Arjuna di pentas kencana pameran isi kepala (intelektualitas) sama-sama memiliki dua keutamaan (virtue) dan hak kedaulatan yang sering sulit selaras bahkan lebih senang dibenturkan: hak privasi dan hak publik. Jika hak publik menuntut hak privasi dari mereka yang telah menawarkan dirinya dijual ke publik, hak publik harus lebih diutamakan dari hak privasinya.
Perdebatan dan perselingkuhan kedua hak dan kedaulatan privasi dan publik ini telah menyibukkan para filsuf publik sejak abad ke-18. Di antaranya, Jeremy Bentham(1748-1832) hingga John Lock (1632-1704) yang menyimpulkan adanya filsafat publik yang dikenal dengan rumusan "utilitarianisme."
Ringkasnya, begitu banyaknya hak dan pilihanmu, hanya hak utilitarian (kegunaan) yang pantas untuk diutamakan. Apa gunanya memilih Felly atau Tetty jika kedua-duanya memiliki pesona luar-dalam paripurna dan sempurna?
Juga, apa mubasirnya tidak memilihkan dan menyulai pikiran Rocky atau Reiner? Lagi-lagi, para utilitarian klasik maupun milenial sedang gamang ketika "kontruksi realitas" sedang diradang dan dirundung era "post truth." Artinya, kehendak bebas ada dengan mudah dikendalikan bahkan disingkirkan secara semena-mena oleh dua kekuatan yang mahagaib: representasi dan identitas.
Pada keduanya, kehendak kita ditawan oleh permufakatan jahat yang bernama: hegemoni. Tampaknya, Gramsci sedang bangkit dari "kuburan dogmatis." Dan kita adalah pengunjung dari keluarga besar kerumunan publik yang ingin merayakan yang rasa duka kita atas pelaku dan perilaku "utilitarian" yang musfrah.Jika hendak menikmati "appear" dan "appeal" keempat pasang ini (2-R dan 2-P), dianjurkan sedu lah kopi pahit. Yang manis, kata Chairil Anwar, "tinggalkan kalau merayu!"
ReO Filsawan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews