Sesudah 75 Orang Itu Pergi

Apapun ideologi mereka, terlebih wilayah kerjanya yang rawan dan tidak mempersoalkan ideologi, kita seharusnya menaruh perhatian besar pada integritas dan kejujuran serta tadi dan pada keberanian mereka menangkap tikus kantor.

Rabu, 12 Mei 2021 | 11:40 WIB
0
901
Sesudah 75 Orang Itu Pergi
Gedung Merah Putih KPK (BorobudurNews)

DENGAN mengangkat topi dan menunduk dalam-dalam, saya melepas 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia yang telah dinonaktifkan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 tahun 2021 sebagai pahlawan.

Merekalah patriot di mata saya, yang tidak kurang hormatnya dengan tenaga kesehatan garda depan yang hingga saya menulis ini, masih berjibaku merawat pasien Covid-19.

Bilamana tenaga kesehatan garda depan itu melawan virus Covid-19 yang terus bermutasi, maka 75 pegawai KPK yang kini nonaktif tersebut telah melawan virus korupsi yang anehnya tidak pernah selesai menjangkiti petinggi negeri kita, generasi ke generasi.

Karenanya, terhadap mereka pula yang diklaim tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan yang disusun oleh lima instansi negara yang sebagian besar berasal dari TNI matra Angkatan Darat, saya tetap menaruh hormat setinggi-tingginya, persetan dengan apapun pandangan para penghamba kekuasaan yang menebar syakwasangka dan menanam akar pahit di masyarakat bahwa mereka yang tidak lulus terafiliasi kelompok teroris Islam garis keras. 

Catatan kecil ini saya buat, selain sebagai tanda belasungkawa atas tercabutnya cakar-cakar KPK untuk menggaruk koruptor, juga sebagai katarsis dari tanda tanya besar yang menggelayut di benak saya berhari-hari lamanya.

Saya tidak menyoal kelayakan prosedur Tes Wawasan Kebangsaan yang dinilai kacau dan janggal itu. Pula saya tidak menyoal apakah praktik "bersih-bersih" ini merupakan program terselubung ataukah program nyata yang dipanggungkan kekuasaan demi menegakkan kemurnian Panca Sila. 

Apa yang menjadi awan gelap dalam hati saya adalah, quo vadis KPK sesudah selama ini menjadi benteng terdepan kita menangkal virus korupsi?

Sesudah Revisi Undang-Undang KPK yang berpotensi melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi dilaksanakan, masih adakah harapan bagi Gedung Merah Putih untuk tetap menjaga nyala api kejujuran dalam hati Ibu Pertiwi?

Bagi saya, harapan selalu ada. Tetapi kalau boleh mengatakan bahwa hari-hari ke belakang sejak undang-undang KPK direvisi adalah titik nadir KPK, saya tidak akan menyangkalnya. 

Deng Xiaoping Mengingatkan

Tujuh puluh lima pegawai KPK yang dinonaktifkan dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan. Artinya, secara sumatif, 75 orang itu bukan Pancasilais. Indikasi dan bola panas yang diarahkan perihal keterkaitan 75 pegawai itu dengan organisasi berpaham garis keras tertentu sekarang telah merebak, digoreng penghamba kekuasaan sebagai bukti konkret memerangi terorisme di lembaga yang diklaim paling independen.

Pertanyaannya, mengapa KPK? Apakah lembaga lain, Aparatur Sipil Negara dan TNI, misalnya, sudah benar-benar kalis dari paham-paham anti-kebinekaan itu? Apakah kementerian-kementerian kita sudah benar suci dan tanggung jamin sudah Pancasilais karat tertinggi?

Mengapa kalau mau "bersih-bersih" justru dimulai dari lembaga yang paling berani berhadap-hadapan dengan petinggi negeri dan tidak pernah kehabisan stok rompi oranye buat petinggi yang lancung terhadap uang rakyat? 

Pertanyaan tidak sampai di situ. Kalau terbukti 75 orang itu semuanya berkaitan dengan paham yang berseberangan dari ideologi penguasa, mengapa hanya 75 yang ditendang dari sekian ribu yang diuji? Apakah selebihnya dinyatakan lulus dan karenanya berhak meneruskan masa baktinya?

Pula, mengapa 75 orang itu, kesemuanya adalah orang-orang dengan kadar keberanian di atas kebanyakan pegawai KPK, serta kebetulan pernah menangani dan membedah kasus-kasus penggarongan besar yang merugikan bangsa kita? 

Kalau keberanian 75 orang itu, yang pernah menyelidiki garong-garong berdasi yang merampas uang rakyat, masih juga dianggap bukan Pancasilais atau dianggap hendak meracuni bangsa kita, lebih baik Panca Sila kita gunting saja

Dan bilamana orang-orang yang bertaruh nyawa dan berani pula masih dianggap kurang patriotis dibanding sekompi loreng yang menjaga tangsi—dan patriotisme 75 orang itu diukur dengan patriotisme gaya militer, seperti terbukti dari instansi-instansi penguji—maka patriotisme itu lebih baik dibuang saja jauh-jauh, sebab membela tanah air bukanlah dengan satu jalan; jalan militer yang garis lurus.

Membela tanah air banyak jalannya. Menyelidik dan membongkar kelakuan garong-garong berdasi dengan penuh ketelitian pula sudah membela tanah air, bahkan lebih konkret risikonya. 

Perkara ideologi perorangan pun, kalau secara getol tetap menjadi dalih menonaktifkan 75 pegawai yang gagal tes bukan-bukan itu, saya rasa akan menjadi abstrak, karena ideologi—idea, ide, gagasan—pula adalah sesuatu yang abstrak.

Alasan perbedaan ideologi dan keinginan "bersih-bersih" dari oknum-oknum anti-Pancasila pula justru menjadi menggelikan karena mengingatkan saya dengan "Lompatan Jauh ke Depan" tahun 1958 yang melanda Tiongkok. 

Masa itu, pemerintah Tiongkok yang ingin mengakselerasi industrialisasi menyegerakan program pembangunan pabrik-pabrik. Maksud hati mereka hendak mendirikan sebuah negara autarkis sebagai langkah awal memutus ketergantungan. Dengan demikian, sistem ekonomi sosialis mendapat jalannya yang lempang.

Secara tergesa-gesa, program ini diluncurkan tanpa memperhatikan saksama basis masyarakat Tiongkok yang kala itu masih berprofesi petani. Penyegeraan industrialisasi yang tidak imbang lantas berbuntut pada malapetaka kehancuran dan ketidakberdayaan ekonomi dari bawah ke atas. 

Dari pengalaman pemilihan sistem ekonomi yang ganjil ini (ekonomi sosialis dicoba, lalu hasilnya bencana, tetapi dipertahankan saja, asal tetap sosialis) kemudian mendorong seorang pemuka Partai dan kemudian menjadi suksesor Mao Tse-tung, Deng Xiaoping, mengemukakan tamsil terkenalnya, "Apakah penting kucing itu berbulu hitam atau berbulu putih, kalau keduanya bisa menangkap tikus?"

Dari dasar pemikiran inilah, ekonomi Tiongkok yang sosialis (si "kucing hitam") perlahan terbuka menjadi sistem pasar bebas (si kucing "putih") hingga sekarang. Terbukti, si "kucing putih", lah, yang berhasil merajai pasar (menangkap "tikus"). 

Meminjam tamsil kucing hitam-kucing putih Deng Xiaoping itu, kita dapat berkaca sekarang. Apakah penting pegawai KPK itu dipertimbangkan ideologinya—sekali lagi, pertimbangan ideologi itu sesuatu yang abstrak—sehingga kita repot mengurusi "bulu hitam-bulu putih" yang melekat di tubuh pegawai-pegawai itu, sedangkan masalah "tikus di depan mata", koruptor kelas kakap yang kasusnya didep di laci dan terbengkalai—masalah yang benar-benar konkret—malah jadi terabaikan?

Dalam ungkapan lebih sederhana, peduli apa pegawai KPK itu Pancasila, kah, atau berafiliasi Taliban, Talirem, Talikasur, Talitambang, Talirafia—asalkan kerjanya baik dan integritasnya teruji, mengapa tidak dipertahankan saja?

Apapun ideologi mereka, terlebih wilayah kerjanya yang rawan dan tidak mempersoalkan ideologi, kita  seharusnya menaruh perhatian besar pada integritas dan kejujuran serta pada keberanian mereka menangkap tikus kantor, bukan pada "bulu hitam-bulu putih" di badan mereka.

Tetapi demikianlah, kita justru lebih percaya bahwa hitam-putih "bulu" lebih penting daripada kepandaian dan kemampuan tajam 75 pegawai itu menyelidik kasus-kasus penggarongan besar. Karenanya, tidak heran jika sampai tulisan ini diturunkan, bagaimana soal-jawaban Tes Wawasan Kebangsaan itu malah dirahasiakan, ditutupi, diklaim "rahasia negara".

Kalau begitu, boleh-boleh saja kita berspekulasi bahwa Tes Wawasan Kebangsaan itu memang tendensius cuma  membedakan "bulu hitam-bulu putih" saja dari pegawai-pegawai lembaga antirasuah, bukan mengukur seberapa jauh pegawai-pegawai itu mencintai tanah airnya dan karenanya berani menyelamatkan tanah airnya dari penggarongan-penggarongan yang keji dan biadab itu.  

Pengganti yang Tak Pasti

Seorang kawan saya, juga penulis, menulis di laman media sosialnya tentang praktik "bersih-bersih" ini. Ia adalah pendukung kebijakan penguasa dan tidak jarang membagikan atau menyalin tulisan-tulisan para penghamba kekuasaan di laman media sosialnya. Katanya, "Baguslah kalau 75 orang itu disingkirkan. Toh, ada ribuan anak bangsa yang bisa menggantikannya dan lebih Pancasilais dari mereka. Taliban harus disingkirkan, NKRI Harga Mati!" 

Katakanlah pendapat kawan saya ini benar. Ada ribuan anak bangsa yang bersedia menggantikan 75 pegawai yang dinonaktifkan itu. Asumsikan pula, "ribuan anak bangsa" itu ketika disuruh ikut serta dalam tes bukan-bukan macam Tes Wawasan Kebangsaan itu, kesemuanya lulus dengan nilai memuaskan. Hitung pula, "ribuan anak bangsa" itu ditanggung jamin Pancasilais sampai ke sumsum tulang. 

Tetapi apakah kadar Pancasilais bisa menjadi jaminan bahwa "ribuan anak bangsa" itu memiliki keberanian, kegigihan, integritas, dan kejujuran yang sama atau malah lebih tinggi dibandingkan mereka yang ditendang, dalam perkara membuka kembali kasus-kasus korupsi besar yang didep di laci bertahun-tahun? 

Saya rasa, tidak. Manusia boleh berganti. Ideologi boleh disaring sampai ketemu penganutnya yang paling murni dan konsekuen. Tetapi kalau keberanian dan integritas yang mereka bawa, biar bertitel abdi negara ASN sekalipun, sudah tidak ada dari sananya, apakah ia sanggup menggantikan mereka yang ditendang itu dan meneruskan kerja-kerja mereka yang terbengkalai, sebagai penyelidik?

Barangkali, bila ternyata hasil rekrutmen "ribuan anak bangsa" itu mengecewakan dan kasus penggarongan terus berlanjut, kita cuma bisa menyesal—sesal yang tiada berguna, bahkan bodoh. 

Saya tidak peduli gonggongan anjing-anjing penguasa yang meneriakkan penghentian masa bakti 75 pegawai KPK itu karena tersangkut Taliban, orang-orang radikal yang tidak pantas hidup melayani negara, dan sebagainya, dan sebagainya. Kita masih menantikan jawaban dan dalih apa lagi yang mau dipakai anjing-anjing penguasa itu, kalau ternyata kasus korupsi semakin merajalela dan penyidik-penyidik yang ditendang itu tidak mendapatkan gantinya yang sepadan atau malah digantikan "ribuan anak bangsa" yang tidak berani atau lebih buruk lagi, digantikan orang yang sudah tidak jujur dari sananya. 

Bagi saya, satu orang yang berani bersuara tentang kenyataan yang pahit jauh lebih mulia daripada seribu orang yang mendendangkan berita-berita indah tetapi hasil manipulasi atau menggonggong seperti anjing-anjing penguasa yang masih bergemuruh di ranah dunia maya kita....

***