SALT STARVATION| Bukan Divide et Impera, Taktik Kompeni Hindia Belanda Menguasai Dayak

Bagi masyarakat Dayak, Pertemuan Tumbang Anoi membawa manfaat besar. Walaupun tidak segera setelah selesai pertemuan perang antarsuku tidak terjadi lagi, tetapi frekuensinya sudah menurun.

Sabtu, 3 Juli 2021 | 07:44 WIB
0
245
SALT STARVATION|  Bukan Divide et Impera, Taktik Kompeni Hindia Belanda Menguasai Dayak

Pola penaklukan Dayak, sebagai suku bangsa, punya sejarah sendiri. Taktik kompeni Hindia Belanda bukan dengan Divide et Impera, seperti di Tanah Jawa dan wilayah lain yang suku bangsanya punya pola kerajaan dan rakyatnya padu.

Di Tanah Dayak, yang setiap klan menguasai wilayah dan "kerajaan kecil-kecil", bukan itu taktik kompeni menguasai Dayak. Melainkan dengan strategi sendiri, yakni: Salt starvation. Satukan mereka, yang saling punya wilayah dan saling kayau itu, baru dikuasai. Usaha itu terjadi pada 1894 di Tumbang Anoi, wilayah yang kini berada di Kabupan Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Tanah Dayak tidak 350 tahun dijajah Kompeni Hindia Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie --VOC) dan Belanda sebagai sebuah Negara. Oleh VOC hanya dikuasai sebagian kecil saja wilayahnya dan bukan seluruhnya. Itu pun, selama sirka 40 tahun. Dan dikuasai oleh Belanda hanya selama 32 tahun saja.

Kompeni Hindia Belanda merasa tidak nyaman waktu mulai masuk pulau Borneo, karena berada dalam keadaan yang sangat rawan, terutama di pedalaman. Sering terjadi pengayauan antar-suku Dayak. Dengan Peraturan Pemerintah tanggal 15 September 1893 no. 12, residen-residen afdeeling Selatan, Timur dan Barat, diberi kuasa, melalui kontrolir Tanah Dayak dan kontrolir Melawi, untuk melakukan kontrol atas suku-suku Dayak.

Karena itu, saya termasuk ke dalam bilangan ilmuwan sosial yang sepakat bahwa Dayak adalah suku bangsa yang berdaulat merdeka. Istilah tuai rumah, kepala suku, kepala adat, dan tanah ulayat bukti sejarah yang tidak dapat dibantah atas kedaulatan dimaksud. Yang secara sistematis dijajah kompeni Hindia Belanda dan Jepang tidak selama suku bangsa lain. Pola dan stuktur belasting (pajak dan cara pemungutannya) dan penguasaannya menjelaskan hal itu, yang kemudian akan diterangkan.

Dalam publikasi-publikasi hasil penelitian saya, yang disimpan di perpustakaan terutama di Jerman dan Amerika, saya senantiasa membuat antitesis. Dan hampir selalu mengajukan insight lain, yang berbeda; tentu saja dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.

Karena itu, dilabeli dengan "etnolog" karena penelitian dan publikasi penelitian mengenai topik keDAYAKan  dan ikut serta dalam The Joshua Project di Amerika yang senantiasa menarasikan "kemerdekaan" di Tanah Dayak yang tidak selama di Jawa. Bukankah di buku-buku sejarah, dalam pelajaran, dicatat: Nusantara/ Indonesia dijajah Belanda selama 3,5 abad.

Saya mafhum pertama kalinya, dan tercelik fakta sejarah, bahwa Nusantara/ Indonesia bukan dijajah Belanda 3,5 abad dari Mochtar Lubis. Jurnalis, penulis, sejarawan serta Penerbit terpandang dari Padang bertubuh tinggi besar itu. Tahun 1990-an, saya kerap berjumpa dan berdiskusi dengannya. Terutama soal buku dan sejarah. Ia mempunyai Penerbit, yakni Obor.

Dalam orasi ilmiahnya di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, 30 Januari 1978, Lubis menyatakan: ".... Maka hanya mitos palsulah yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar, bangsa Indonesia dijajah Belanda hanya 32 tahun, yaitu dari tahun 1910 sampai Belanda menyerah kepada tentara Jepang, tahun 1942."

Ceramah Mochtar Lubis yang menggemparkan itu, yang menyebut ciri-ciri yang menjadi watak dan sifat bangsa Indonesia, kemudian dibukukan (Yayasan Idayu, 1979-1980).

Pola penaklukan Dayak, sebagai suku bangsa, punya sejarah sendiri. Taktik kompeni Hindia Belanda bukan dengan Divide et Impera (Pecah belah, kemudian memerintah), seperti di Tanah Jawa dan wilayah lain yang suku bangsanya punya struktur kerajaan dan rakyatnya padu.

Untuk suatu kaum yang solid, taktik pecah belah kemudian dikuasai ini, tepat. Akan tetapi, tidak cocok diterapkan di Tanah Dayak. Di sini, suku bangsa dominannya saling kayau. Mereka punya wilayah/ klan sendiri-sendiri. Waktu itu (sebelum 1757), lazimnya indigenous pepople menyebut diri identik dengan nama sungai.

Sedemikian rupa, sehingga di Tanah Dayak, yang setiap klan menguasai wilayah dan "kerajaan kecil-kecil", bukan itu taktik kompeni menguasai Dayak. Melainkan dengan strategi sendiri, yakni: Salt starvation. Satukan mereka, yang saling punya wilayah dan saling kayau itu, baru dikuasai.

Usaha awal untuk menguasai Dayak itu terjadi pada 1894 di Tumbang Anoi (Kab. Gunung Mas kini), namun yang terjadi di luar dugaan. Kompenilah yang membiayai perhelatan selama kurang lebih 3 bulan berlangsung itu (Dalam catatan kaki, akan dinarasikan dengan lengkap gagasan awal perhelatan itu, dan bagaimana kompeni Hindia Belanda memasok logistik dari Banjarmasin ke Tumbang Anoi.

Juga bagaimana, dan dengan kode apa, para kepala suku datang ke lokus acara). Namun, alih-alih Dayak dapat ditundukkan kompeni Hindia Belanda. Bahkan boleh dikatakan, itulah momentum persatuan dan kebangkitan Dayak! Mereka malah solid, hingga hari ini. Dengan Dewan Adat Dayak (DAD) dan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) di aras nasional dan antar-puak di berbagai belahan dunia.

Mari kita bongkar fakta, yang menjadi landasan argumentumnya.

Saya mafhum pertama kalinya, dan tercelik fakta sejarah, bahwa Nusantara/ Indonesia bukan dijajah Belanda 3,5 abad dari Mochtar Lubis. Jurnalis, penulis, sejarawan serta Penerbit terpandang dari Padang bertubuh tinggi besar itu. Tahun 1990-an, saya kerap berjumpa dan berdiskusi dengannya. Terutama soal buku dan sejarah. Ia mempunyai Penerbit, yakni Obor.

Dr. Anton Nieuwenhuis itu dokter, ahli botani, selain seorang peneliti dan penjelajah. Ia menulis (1894) ketika mengamati perkampungan orang Kayan di tanah Sintang dan Mendalam, bahwa orang Kayan itu independen, tak terjamah kekuasaan sultan dan kompeni. Tak ada dalam cerita, orang Kayan membayar apa yang disebut “belasting”, yakni upeti kepada pemungut, apalagi penjahan kolonial Belanda.

Tahun 1984, dari sumber tepercaya yang saya baca, pertama kali saya menyadari "koreksi" atas sejarah yang pernah saya pelajari dari guru di bangku sekolah. Bukan salah gurunya. Melainkan pada si penulis dan juga institusi serta orang-orang di balik penulisan sejarah yang tidak jujur.

Pada tulisan pertama, kita telah mafhum bahwa sejarah adalah sebagian besar soal penafsiran dan keberpihakan. Sebelum ditemukannya nova (jamak dari novum) yang membantah, atau menyanggahnya, maka selama itu pula ia dianggap sebagai kebenaran.

Sama halnya dengan narasi The History of Dayak ini. Kelak, di kemudian hari, manakala ada penulis dan sejarawan yang bisa membuktikan dan menulis lain --asalkan disertai argumen dan bukti-bukti sejarah yang valid dan dapat dipertanggung-jawabkan, maka ia tekoreksi. Bisa seluruhnya, bisa hanya bagian tertentu saja. Terutama menyangkut 3-wajib sejarah, sebagaimana yang telah dibahas, yakni: Tokoh, setting (waktu dan tempat), serta peristiwanya.

Sedemikian rupa, sehingga Bagian 8 dari serangkaian tulisan mengenai Sejarah Dayak ini berproses dalam sebuah dialektika, lingkaran hermeneutika. Sebab memang demikianlah sejarah menemukan kondratnya.

***

Pemerintah kolonial Belanda masuk dan menduduki kepulauan Borneo boleh dikatakan paling akhir dibandingkan pulau-pulau lain di Nusantara, seperti Jawa dan Sumatra (Davidson, 2003: 2). Akan tetapi, intervensi dan pengaruh Belanda khusus di Borneo Barat tidak dapat berjalan dengan bebas sebab di Sarawak sudah bercokol kekuasaan petualang Inggris, Sir James Brooke yang juga dikenal dengan “Si Rajah Putih”.

Dengan demikian, sebenarnya, suku bangsa Dayak yang tinggal di kepulauan Nusantara “hanya” dijajah kolonial Belanda paling lama 50 tahun. “Yang dijajah Belanda selama 3,5 abad itu tanah Jawa. Borneo tidak selama itu,” ungkap Tus Oevaang Mering, salah seorang tetua dari suku Dayak Kayan.  

“Tak benar semua suku bangsa Nusantara dijajah kolonial 350 tahun," cetusnya dalam pertemuan internasional Kayan antar-bangsa di Malinau, 18 Oktober 2018. "Selama itu penjajahan di tanah Jawa, bukan Borneo. Buktinya, kantor kompeni Hindia Belanda di bumi Borneo baru berdiri 40 tahun sebelum Indonesia merdeka. Jadi, suku bangsa Dayak hanya dijajah selama 40 tahun saja," terangnya.

Ia pun menukilkan dari sumber primer. "Dr. Anton Nieuwenhuis itu dokter, ahli botani, selain seorang peneliti dan penjelajah. Ia menulis (1894) ketika mengamati perkampungan orang Kayan di tanah Sintang dan Mendalam, bahwa orang Kayan itu independen, tak terjamah kekuasaan sultan dan kompeni. Tak ada dalam cerita, orang Kayan membayar apa yang disebut belasting, yakni upeti kepada pemungut, apalagi penjahan kolonial Belanda."

Sementara itu, di negeri tetangga meski sama-sama di Pulau Borneo, setelah membantu Sultan Brunei menumpas para pemberontak Dayak Bidayuh melawan Sultan Brunei, Brooke kemudian segera menjalankan politik “rust en orde”. Ia mulai membangun dinasti Negeri Sarawak, menerapkan nepotisme, kekuasaan dibuatnya berpusat di satu tangan. Brooke 27 tahun lamanya menjadi raja negeri Sarawak (1841-1868). Ia digantikan keponakannya, Charles Brooke (1868-1917) sebagai raja kedua, dan raja ketiga adalah Charles Vyner Brooke (1917-1941).

Menarik mencermati bagaimana Brooke menjadi “Rajah Putih” di tengah-tengah etnis Dayak dan Melayu. Intinya, petualang Inggris itu menerapkan taktik rust en orde  (seakan-akan menjadi juru damai, kemudian memerintah).

Politik Sang Rajah di Sarawak diadopsi oleh kompeni Hindia Belanda. Belanda menyadari bahwa di kalangan etnis Dayak pada pengujung abad ke-18 terjadi saling kayau. Taktik rust en orde pun dijalankan. Pada 1894, pemerintah kolonial Belanda menginisiasi sebuah pertemuan besar di kalangan etnis Dayak di Kalimantan untuk menghapus praktik perbudakan, perang, dan ngayau. Pertemuan itu melahirkan kesepakatan yang dikenal dengan  “Perjanjian Tumbang Anoi” (PTA).

Apa pun causa finalis (sebab yang menjadi tujuannya), harus diakui bahwa Perjanjian Tumbang Anoi adalah cikal bakal pembentukan identitas etnis Dayak yang sebelumnya saling kayau satu sama lain. Itulah awal bagaimana etnis Dayak, sebagai indigenous people Borneo dipisahkan dari kalangan Muslim, sebagai non-Muslim. Dengan demikian, kesadaran-diri etnis Dayak (sensus Dayakus) dengan mudah dapat dibangkitkan dan dimobilisasi. Boleh dikatakan, PTA adalah cikal bakal dan awal pembentukan identitas etnis Dayak (Mahin, 2013).

Menyusul tumbuhnya kesadaran-diri etnis Dayak, kesadaran politik pun menjadi sesuatu yang mungkin. Seperti diketahui, di Kalimantan Barat khususnya, jauh-jauh hari sebelum pemerintah Hindia Belanda melebarkan pengaruhnya, sudah lebih awal para misionaris dari Eropa menjejakkan kaki di bumi Borneo. Di benak pemerintah kolonial, untuk mengangkat derajat etnis Dayak dan “menobatkan” mereka dari animis menjadi insan beragama dan mengenal “Tuhan Yang Benar” maka kerja sama dengan para misionaris menjadi penting. Diilhami oleh Politik Etis, 1901, pemerintah kolonial mulai aksi “membudayakan” etnis Dayak di Borneo.

Sebagaimana dicatat oleh para pionir misi dari Belanda, di Kalimantan Barat fokus misi adalah mengangkat etnis Dayak yang masih terbelakang ke derajad sama dengan etnis Melayu yang waktu itu dianggap sudah beradab (Hulten, 1990). Oleh karena itu, misi diarahkan di Hulu Kapuas di mana kaum Dayak mayoritas belum terjamah pengaruh Islam dan masih bebas dari cengkeraman sultan-sultan lokal yang menindas. Pada 1890, sebuah stasi kecil Misi dibuka di Semitau (Kapuas Hulu) yang segera diikuti pembukaan stasi lain dan pendirian sekolah Misi di Sejiram.

Peran misi Katolik seperti ditegaskan Davidson sangat penting di dalam meletakkan pondasi bagi pembentukan identitas Dayak. “Importantly, missionary education was the medium through which western idealism --democracy, egalitarianism and self-empowerment-- were inculcated to PD’s founders. This expanding school network laid the structural basis for a provincial Dayak elite to coalesce (Davidson, 2003: 6).

Diawali “kesadaran baru”, yakni kesadaran akan identitas oleh angin Perjanjian Tumbang Anoi, etnis Dayak semakin terbentuk identitasnya dengan kehadiran Gereja. Lama kelamaan kesadaran itu berkembang menjadi self-perception (persepsi diri) sebagai satu etnis yang –pada waktu itu— terbelakang dan tertindas.

Persepsi diri ini kemudian “memaksa” seseorang untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok etnis tertentu. Dalam konteks Perjanjian Tumbang Anoi, setiap individu yang mendiami Borneo pada saat itu mengidentifikasi diri dengan kelompok etnis tertentu, sehingga “koinsidensia” dengan politik Hindia Belanda yang “rust en orde” maka mulai tumbuhlah kesadaran akan identitas di kalangan etnis Dayak.

Identitas etnis berbeda dari identitas pribadi seseorang sebagai individu, meskipun timbal balik keduanya dapat mempengaruhi satu sama lain. Menurut Phinney (1996), jika proses identifikasi itu berjalan, maka seorang individu cenderung mengklaim sebagai pewaris kelompok etnis tertentu. Terdapat empat komponen utama identitas etnis:

Pertama, kesadaran etnis (pemahaman seseorang dan kelompok lain).

Kedua, identifikasi diri etnis (label yang digunakan untuk kelompok sendiri).

Ketiga, sikap etnis (perasaan tentang diri sendiri dan kelompok lain).

Keempat, perilaku etnis (pola perilaku tertentu kelompok etnis).

Perjanjian Tumbang Anoi dan buah karya Misi telah membentuk keempat komponen utama identitas etnis Dayak yang sebelumnya sporadis, tercerai berai oleh berbagai sebab dan kepentingan. Dalam konteks itu, benarlah apa yang dikemukakan Phinney, “Ethnic identity is sometimes used to refer simply to ethnic group membership or label…. Ethnic identity has been conceptualized as an enduring, fundamental aspect of the self that includes a sense of membership in an ethnic group and the attitude and feelings associated with that membership” (Phinney, 1996: 922).

Haruslah diakui bahwa indentitas seseorang sangat kompleks. Identitas terdiri atas berbagai faset dari latar belakang sosial dan budaya yang meliputi aspek preferensi bahasa, orientasi seksual, usia, gender, agama, kelas sosial, generasi, dan sebagainya.

Kendati awal mula kesadaran akan identitas etnis Dayak diinisiasi Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya pemerintah kolonial Belanda di Kalimantan Barat "berseberangan" dengan misi Katolik karena berbeda aliran Gereja. Pada 1702, Paus Inosensius XII mendirikan Vikariat Apostolik Borneo, namun Vikariat tidak dapat berkembang karena Vikaris Apostolik (pemimpin Gereja setempat di tanah misi) dibunuh dalam sebuah konspirasi penguasa lokal. Baru pada 1807, ketika Negeri Belanda ditaklukkan Perancis, kebebasan beragama diakui di sana, misionaris Belanda ke Borneo lagi dan dipersatukan dengan Prefektur Apostolik Jakarta.

Pada 1884, pastor-pastor Mill Hill dari Borneo Inggris pernah menawarkan diri berkarya di wilayah Borneo Barat, tapi ditolak pemerintah Hindia Belanda yang khawatir diboncengi politik Rajah Putih yang sudah bercokol di Sarawak. Pada 1885 tiba di Singkawang pastor Jesuit, Staal, yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik Jakarta. Baru pada 1905, Ordo Kapusin Provinsi Belanda menerima tanggung jawab atas Prefektur Apostolik Borneo, misi tiba pada 30 November 1905 di Singkawang, membuka stasi di Sejiram pada 1906 dan 1908 di Laham.

Pada 1909, Pontianak menjadi pusat misi ditandai dengan ditetapkannya Pontianak sebagai kediaman Prefek Apostolik Mgr. Pacifikus Bos. Sejak itu, Pontianak menjadi pusat kegiatan misi di Kalbar. Di Kalbar, "pembudayaan" dan majunya etnis Dayak lebih karena peran Gereja. Gereja pula yang kemudian mendidik dan memfasilitasi Pertemuan Dayak in Action (DIA), pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, dan pusat-pusat kesehatan, juga susu dan makanan ketika pada masa sulit terutama di masa perang dan pendudukan Jepang.

Di wilayah yang kini menjadi Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, yang mengangkat derajat suku bangsa Dayak juga Misi. Namun, Misi Kristen Protestan, tepatnya  dari Amerika.

Datang Misi The Christian Misionary Alliance (CMA) pada tahun 1929 ke bumi Krayan. Ketika itu, telah dikenal 5 klan utama manusia penghuni Sungai Krayan, yakni: Lengilo’, Tanah Lun, Nan Ba’,  Puneng Krayan atau Fe’ Ayan, dan  Sa’ban. Tiap-tiap klan, yang kemudian hari berkembang menjadi subetnis Dayak Lundayeh makin lama semakin bertambah. Seiring dengan waktu, mereka  “menguasai” tanah adatnya masing-masing.

Pada masa Indonesia Merdeka, isolasi dan keadaan bumi Krayan tidak banyak berubah. Menurut penuturan para tetua yang masih hidup, justru kehadiran Misi dan karyanya yang banyak “mengangkat derajat hidup” masyarakat lokal setempat dibandingkan dengan kehadiran Negara. Memang sangat tidak enak untuk memaparkan hal seperti ini, akan tetapi itulah fakta yang sebenarnya. Telah mulai banyak penduduk setempat yang mengenyam pendidikan berkat karya serta fasilitas yang diberikan Misi. Hasilnya adalah para guru dan pendeta. Mereka ini adalah para agen pembaruan di bumi Krayan nantinya.

Benih semangat persatuan dan kesatuan di kalangan manusia Krayan itu memang telah lama ada, telah pula diembuskan oleh Pendeta Presswood, tahun 1941 di Long Berang. Dalam sebuah acara perayaan Paskah bersama. Jemaat tumpah ruah, sampai-sampai tidak ada yang duduk. Dihadiri oleh semua jemaat dari berbagai etnis dan golongan, Presswood berkata.

“Hai kamu semua, orang  Sesayap!”

Jemaat terdiam. Di dalam hati, mereka protes keras. Maklum, si pendeta asal muasalnya bertugas di Malinau dan di wilayah ini mengalir Sungai Sesayap. Ia mengira, semua orang yang bermukim bpdi Dataran Tinggi Borneo ini adalah orang Sesayap. Maka angkat tangan dan unjuk jarilah seorang jemaat di situ karena merasa terganggu.

“Kami ini bukan orang Sesayap, tuan!”

“Lalu kalian ini siapa?” tanya Presswood.

“Kami ini orang Lun Dayeh,” jawab jemaat pemberani tadi. Dalam kerumunan jemaat itu, masih ada 4 etnis lainnya, tapi tidak protes dan mengangkat tangan. Sehingga Presswood mengira, semua jemaat yang berkumpul di situ adalah orang Lun Dayeh, yang berarti: orang (yang berasal dan tinggal) di hulu (sungai).

Kata Presswood. “O... kalau begitu, mulai saat ini, kalau kamu khotbah dan bernyanyi, kamu pakailah bahasamu. Yakni bahasa Lundayeh.”

Sejak itu, setiap kali berkumpul berdoa dan berserikat, orang-orang Krayan menggunakan bahasa Lundayeh. Meski sebenarnya setiap etnis di Krayan berbeda dan merupakan entitas dengan ciri bahasa dan dialek yang berbeda. Akan tetapi, karena merasa sama-sama “orang hulu”, mau saja mereka dipanggil sebagai Lun Dayeh.

Toh demikian, dari rekam jejak-sejarah, patut diduga bahwa Lengilo’ adalah penduduk asli dan klan pertama penghuni bumi Krayan. Salah satu jejak itu, terbukti dari segi linguistik (bahasa). Orang Lengilo’ pandai berbahasa semua bahasa di Krayan. Sebaliknya, penutur bahasa lain, belum tentu dapat berbahasa semua bahasa di Krayan.

Perjanjian Tumbang Anoi (TA) , yang dilaksanakan dari tanggal 22 Mei – 21 Juli 1894 di kampung Tumbang Anoi, sekarang propinsi Kalimantan Tengah, sungguh mengubah arah dan –meski tidak sengaja— telah menumbuhkan kesadaran orang-orang Dayak sebagai sebuah entitas yang esa di kepulauan Borneo. Hadir dalam pertemuan itu seluruh kepala suku Dayak, panglima perang Dayak dan kepala-kepala adat.               

Menjadi pertanyaan bagi banyak orang Indonesia di manakah letak kampung Tumbang Anoi itu? Pada saat PTA dilaksanakan tahun 1894, kampung tersebut berada dalam wilayah perhuluan/hulu sungai Kahayan, sekarang di Provinsi Kalimantan Tengah.                       

Di perhuluan sungai-sungai Katingan, sungai Kahayan, dan sungai Kapuas  (Kalteng), banyak terdapat kota kecil yang bernama Tumbang ini atau Tumbang itu. Tetapi tidak ada nama “Tumbang Anoi”. Mungkin kampung tersebut sekarang sudah “tidak ada lagi”. Dari tahun 1894 sampai sekarang (2021), cukup panjang waktunya, sehingga segala kemungkinan dapat saja terjadi.                                 

Menurut catatan Drs. Johnly Friady, cucu Damang Batu (Damang Batu adalah kepala adat yang berkedudukan di Tumbang Anoi), tahun 1893 Damang Batu diundang untuk menghadiri rapat para tokoh Kalimantan di Kuala Kapuas, atas prakarsa Residen Banjarmasin untuk membahas penghentian permusuhan antarsuku yang sering terjadi masa itu yaitu mengayau, membunuh dan saling penggal (hakayau, habunu, hatetek). Istilahnya: Tiga H.    

Dalam pertemuan di Kuala Kapuas (1893) itu, hanya Damang Batu yang berani mengangkat tangan dan menyatakan kesiapan sebagai penyelenggara dan tempat pertemuan yaitu di Tumbang Anoi. Kesediaan Damang Batu itu lalu disetujui dan disahkan oleh Residen Banjarmasin.

Kontrolir Tanah Dayak dan Kontrolir Melawi memberi keterangan, “Sebagai tempat pertemuan ditunjuk Tumbang Anoi, yang terletak di hulu Kahayan, karena kampung itu, tempat tinggal Damang Ribu (orang Dayak menyebut Damang Batu) cukup besar untuk memberi pemondokan kepada sejumlah besar orang dan sedang didirikan suatu pesanggrahan dan karena itu di sekitar perbatasan-perbatasan tidak terdapat kampung sebesar itu.                  

Sebenarnya, karena untuk mereka dari kedua daerah, kampung tersebut sama mudahnya atau sama sulitnya untuk dicapai.  Menurut Bupati Gunung Mas (kabupaten baru hasil pemekaran), Tumbang Anoi dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih empat jam mudik ke hulu dari Kuala Kurun, ibu kota Kabupaten Gunung Mas.

Untuk mengadakan suatu pertemuan dengan Kepala-Kepala Adat Dayak dan Melayu, bertempat di Tumbang Anoi pada awal 1894, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang belum diselesaikan dan yang berasal dari pembunuhan untuk mengumpulkan kepala manusia (pengayauan). Agar pertemuan itu berhasil, Pemerintah kolonial Belanda membeli bahan-bahan pangan (beras, garam, tembakau dll) di Banjarmasin yang dibawa juru tulis Belanda, diangkut dari Kuala Kapuas ke Kuala Kurun, untuk disimpan oleh kepala sub distrik dan selanjutnya dikirim ke Tumbang Anoi.                             

Atas upaya residen Borneo Barat, di Muntumoi Ambaloh Hulu dekat titik perbatasan dengan aliran sungai Melawi disimpan 40 pikul beras. Dengan demikian,  jelas kelihatan bahwa peswakarsa dan pembiayaan Pertemuan Tumbang Anoi adalah pemerintah kolonial Belanda.

Pada kesimpulan laporan kontroleur afdeeling Tanah Dayak AC de Heer dan kontrolir Melawi, afdeeling Sintang, JPJ Barth, dikemukakan bahwa “Kami senantiasa menyadari bahwa dalam sidang yang dihadiri oleh banyak orang dari pihak-pihak yang saling bermusuhan, tentulah dapat terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan. Tetapi kami harus mengakui bahwa sidang-sidang berjalan dengan baik sekali dan tata tertib sidang tidak pernah terganggu.”                  

Permasalahan yang banyak dihadapi adalah kesulitan transportasi air atau sungai. Sehingga dengan demikian kepala-kepala adat dari Melawi terlambat hadir.  Memperhatikan keadaan transportasi saat sekarang di Kalimantan Tengah,  khususnya yang menuju ke perhuluan sungai-sungai Katingan, Kahayan dan  Kapuas, masih menghadapi banyak kesulitan. Apalagi tahun 1894 saat PTA dilaksanakan.

Betapa sulitnya komunikasi dan transportasi pada saat itu. Delegasi yang berangkat dari Kalimantan Barat (Borneo Barat), dari Kalimantan Timur (Borneo Timur), dari Borneo Utara (Sarawak dan Sabah) menuju kampung Tumbang Anoi sudah pasti mengalami banyak kesulitan dan hambatan. Komunikasi  dan transportasi di dalam wilayah Kalimantan Tengah (waktu itu masih dalam wilayah Kalimantan Selatan) juga sangat sulit.                                        

Suatu kejadian yang menakjubkan bahwa pertemuan yang beracara merukunkan suku-suku, sub suku Dayak yang sebelumnya sering terjadi pengayauan (perang suku), berjalan baik dan lancar. Tidak ada gangguan yang berarti dalam persidangan. Hal ini memperlihatkan bahwa orang Dayak sebenarnya lebih suka damai, tidak ada sifat agresif.                                               

Menurut catatan para penulis dan pengamat Pertemuan Tumbang Anoi, persidangan menyepakati “penghapusan pengayauan” antarsuku dan sub-suku bangsa Daya dan mempertahankan adat kebudayaan Dayak sebagai ciri penghuni Bumi Kalimantan, yang saat itu disebut Borneo.                                              

Setelah Pertemuan Tumbang Anoi, relatif tidak sering terjadi pengayauan (perang antarsuku). Dari penelitian dan pengamatan, sampai dengan tahun 1930 masih ditemukan tradisi mengayau yang dilakukan oleh beberapa sub-suku Dayak antara lain Punan, Iban, dan Lamandau.    

Pola penaklukan Dayak, sebagai suku bangsa, punya sejarah sendiri. Taktik kompeni Hindia Belanda bukan dengan Divide et Impera, seperti di Tanah Jawa dan wilayah lain yang suku bangsanya punya pola kerajaan dan rakyatnya padu. Di Tanag Dayak, yang setiap klan menguasai wilayah dan "kerajaan kecil-kecil", bukan itu taktik kompeni menguasai Dayak. Melainkan dengan strategi sendiri, yakni: Salt starvation. Satukan mereka, yang saling punya wilayah dan saling kayau itu, baru dikuasai. Usaha itu terjadi pada 1894 di Tumbang Anoi.                 

Bagi masyarakat Dayak, Pertemuan Tumbang Anoi membawa manfaat besar. Walaupun tidak segera setelah selesai pertemuan perang antarsuku tidak terjadi lagi, tetapi frekuensinya sudah menurun.

Pertemuan Tumbang Anoi memang diprakarsai pemerintah kolonial Belanda. Kompeni Hindia Belanda merasa tidak nyaman waktu mulai masuk pulau Borneo, karena berada dalam keadaan yang sangat rawan, terutama di pedalaman. Sering terjadi pengayauan antar-suku Dayak. Dengan Peraturan Pemerintah tanggal 15 September 1893 no. 12, residen-residen afdeeling Selatan, Timur dan Barat, diberi kuasa, melalui kontrolir Tanah Dayak dan kontrolir Melawi, untuk melakukan kontrol atas suku-suku Dayak.

(Bersambung)

***