Hasto Khianati Mega!

Minggu, 12 Januari 2020 | 11:02 WIB
0
490
Hasto Khianati Mega!
Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto. (Foto: Kompas.com)

“Jangan sekali-kali punggungi rakyat, jangan itung untung rugi bagi kerja politik, jangan mencari keuntungan pribadi atau kelompok dari tugas ideologis ini,” tegas Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, Jum’at (10/1/2020).

Dalam pidato politiknya di Rakernas dan HUT ke-47 PDIP di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, itu, Mega mengingatkan kader partainya agar tak mengambil keuntungan pribadi atau kelompok dalam menjalankan tugas sebagai politikus.

Dia meminta kader PDIP bekerja sungguh-sungguh untuk bangsa dan negara. “Kader-kader PDI Perjuangan di seluruh tanah air penuhi jiwa ragamu dengan semangat mewujudkan cita-cita rakyat tersebut,” tegasnya dengan berapi-api.

Mega mengatakan, pernyataan untuk tak mengambil keuntungan pribadi tersebut merupakan instruksinya kepada seluruh kader PDIP. Jika ada yang melanggar, dia menegaskan tak akan melindungi.

“Dengar, pidato politik ini adalah instruksi langsung dari ketua umum bagi seluruh kader PDI Perjuangan. Saya tidak akan lindungi kader yang tidak taat instruksi partai,” tegas Mega lagi.

Mega pun mengatakan akan 'menggebrak' kader agar sadar akan tugas partai. Dia kemudian mempersilakan kader yang tak siap untuk menjalankan instruksinya keluar dari PDIP.

“Saya akan menggebrak kalian-kalian seperti biasanya, berkali-kali agar sadar terhadap tugas ideologis partai. Jika tidak siap, silakan kalian pergi dari PDI Perjuangan,” ujar Mega. “Siap atau tidak?”tanya Mega kepada seluruh kader yang hadir.

“Siap!” jawab seluruh kader dengan suara lantang dan kompak. Pernyataan keras Mega ini tentu menjadi pertanyaan. Benarkah ini memang untuk seluruh kader partai? Atau diarahin pada seseorang atau sekelompok kader PDIP?

Ada dua kalimat Mega yang secara tegas bisa menggambarkan bahwa terdapat kader partai yang tidak taat instruksi. Yakni: “Saya tidak akan lindungi kader yang tidak taat instruksi partai” dan “Jika kalian tidak siap, silakan kalian pergi dari PDIP!”

Coba simak skandal suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang ditangkap KPK karena terima suap yang diduga melibatkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan caleg PDIP terkait PAW untuk Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia itu. 

Wahyu tertangkap basah dalam OTT KPK pada Rabu, 8 Januari 2019. Menurut KPK, Wahyu menerima uang sogok Rp 850 juta. Bahkan, ada yang memberitakan Rp 900 juta yang dimintanya dari Harun Masiku, caleg PDIP dari Dapil 1 Sumatera Selatan.

Harun sedang mengusahakan agar dia yang duduk sebagai anggota DPR RI PAW Nazaruddin yang meninggal dunia. Nazaruddin terpilih dari Dapil 1 Sumatera Selatan di pileg 2019. Pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia yang berhak menjadi PAW.

Sesuai dengan perolehan suara, Riezky-lah yang berhak menggantikan Nazaruddin itu. Harun mencoba hendak menggeser Riezky. Harun diduga yang telah memberikan uang pada Wahyu agar bisa membantunya menjadi anggota legislatif melalui PAW.

Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, KPK belum berhasil memintai keterangan dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Hasto patut dimintai keterangan karena, Saeful Bahri yang mengaku sebagai orang kepercaannya, menyebut uang suap itu berasal dari Hasto.

Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, selain Wahyu, KPK telah menetapkan Agustiani Tio Fridelina, orang kepercayaan Wahyu, mantan anggota Bawaslu. Kemudian, politikus PDI-P Harun Masiku dan seorang pihak swasta bernama Saeful Bahri.

Dua nama terakhir disebut Lili Pintauli Siregar sebagai pemberi suap. Sementara Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Tersangka Harun sendiri tak terjaring dalam OTT, Rabu (8/1/2020) lalu dan saat ini masih belum diketahui keberadaannya.

Harun Masiku adalah caleg PDIP yang menempati urutan keenam dalam perolehan suara. Meski urutan keenam, justru Harun yang dimajukan PDIP untuk menggantikan Nazaruddin yang meninggal sebelum Pileg 2019 digelar. 

Sedangkan posisi kedua hingga kelima ditempati Riezky Aprilia (nomor urut 3), Darmadi Jufri (nomor urut 2), Doddy Julianto Siahaan (nomor urut 5), dan Diah Okta Sari (nomor urut 4). Meski meninggal, Nazaruddin memperoleh suara terbanyak.

Hasto Kristiyanto saat dikonfirmasi, Kamis (9/1/2020), mengatakan, “Dia (Harun Masiku) sosok yang bersih. Kemudian, di dalam upaya pembinaan hukum selama ini cukup baik ya track record-nya,” kata Hasto. Ironis! Sosok bersih koq nyuap?

Berdasarkan putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019, partainya memiliki kewenangan dalam menentukan pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia. Hasto menegaskan, dalam merekomendasikan nama Harun, PDIP pun berpegang pada aturan tersebut.

“Proses penggantian itu kan ada putusan dari Mahkamah Agung. Ketika seorang caleg meninggal dunia, karena peserta pemilu adalah partai politik, maka putusan Mahkamah Agung menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai,” lanjut Hasto.

Meski demikian, pada akhirnya KPU menetapkan Riezky Aprilia menggantikan Nazarudin untuk duduk di kursi Senayan, karena memperoleh suara terbanyak kedua. Riezky Aprilia sendiri mengaku tak tahu rencana PAW Harun Masiku.

DPP PDIP sejak awal menerbitkan surat kepada KPU dan menyodorkan Harun Masiku untuk dilantik dengan alasan kader partai asli dan Riezky Aprilia dianggap bikan kader asli karena pencalonannya semata sebagai anak Bupati Linggau.

KPU menolak Harun dan melantik Rizky. Nampaknya Harun berbekal rekomendasi DPP PDIP itu tetap berjuang untuk bisa dilantik menjadi anggota DPR menggantikan Rizky dengan cara melobi komisioner Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Wahyu pun pada akhirnya terkena OTT KPK dengan barang bukti uang suap Rp 400 juta. Harun Masiku bernasib apes, perjuangan untuk dilantik jadi DPR malah berujung penjara kena OTT KPK.

Apalagi, Ketua KPU Arief Budiman menyebut ada tanda tangan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam surat permohonan PAW Harun Nasiku untuk menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas.

Tiga surat dari DPP PDIP yang ditujukan kepada pihaknya dibubuhi tanda tangan Hasto Kristiyanto. Hal itu diungkapkan Arief dalam konferensi pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).

“Kalau surat pertama soal permohonan pelaksanaan putusan MA ditandatangani oleh Ketua Bapilu, Bambang Wuryanto dan Sekjen Hasto Kristiyanto,” ujar Arief, seperti dilansir Kompas.com, Jum’at (10/1/2020).

Kemudian, dalam surat kedua yang merupakan tembusan perihal permohonan fatwa terhadap putusan MA Nomor 57.P/KUM/2019 tertanggal 19 Juli 2019 ditandatangani Ketua DPP Yasonna Hamonangan Laoly dan Sekjen Hasto Kristiyanto.

Surat ketiga, tertanggal 6 Desember 2019 ditandatangani oleh Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto. Sebelumnya, Arief mengungkapkan adanya tiga surat yang dikirimkan PDIP terkait permohonan Harun sebagai PAW untuk Nazarudin.

“Jadi KPU menerima surat dari DPPP sebanyak tiga kali. Surat pertama, terkait putusan atau permohonan pelaksanaan putusan MA, (surat ini) tertanggal 26 Agustus 2019,” ujar Arief saat jumpa pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).

Putusan MA tersebut, kata Arief, berdasarkan pengajuan uji materi yang diajukan (PDIP pada 24 Juni 2019). Hasto mengakui, PDIP merekomendasikan Harun Masiku gantikan Nazarudin. Putusan atas uji materi ini dikeluarkan pada 18 Juli 2019.

“Jadi prosesnya (uji materi) tidak sampai satu bulan ya,” lanjut Arief. Menurut Arief, atas surat pertama ini, KPU sudah menjawab dengan menyatakan tak dapat menjalankan putusan MA itu.

“Kedua, kami menerima surat tembusan dari DPP PDIP yang meminta fatwa terhadap MA. Itu permintaan ditembuskan kepada KPU tertanggal 13 September 2019 dan disampaikan ke kita pada 27 September 2019,” jelas Arief.

Tapi, karena surat itu berupa tembusan, KPU memutuskan tak membalas surat itu. Kemudian MA mengeluarkan surat atau fatwa tertanggal 23 September 2019.

“Nah berdasarkan surat atau fatwa MA ini, DPP PDI Perjuangan mengirimkan permohonan lagi kepada KPU dengan surat tertanggal 6 Desember 2019 yang diterima oleh KPU pada 18 Desember 2019,” ungkap Arief.

Surat inilah yang disebut KPU sebagai surat ketiga dari DPP PDIP. Karena surat ketiga ditujukan ke KPU, maka KPU menjawab pada 7 Januari 2020. “Yang isinya (surat balasan) kurang lebih sama dengan balasan untuk surat pertama,” tegas Arief.

Lebih lanjut Arief mengungkapkan bahwa ada satu proses lagi terkait penetapan perolehan suara di daerah pemilihan Sumatera Selatan I ini. Proses itu terjadi saat dilakukan rekapitulasi hasil Pemilu 2019 di KPU RI.

“Jadi, ada pengajuan keberatan. Sudah dibahas dan sudah diterima. Termasuk pada saat pembahasan itu kita sampaikan penjelasan yang sudah kita sampaikan lewat surat (dua surat jawaban KPU),” ungkap Arief.

“Surat itu kita bacakan lagi lewat momentum itu. Jadi penjelasan kita (atas permohonan PDIP itu) sudah dua kali lewat surat, dan satu kali pada saat rekapitulasi nasional,” tambah Arief.

Jika melihat demikian faktanya, ditambah lagi dengan ditetapkannya Wahyu Setiawan dan Saeful Bahri sebagai tersangka oleh KPK, seharusnya Hasto Kristiyanto juga perlu dimintai keterangannya. Kalau dia menghindar, dugaan keterlibatannya semakin jelas.

Apalagi, jika kemudian diketahui bahwa Mega tak tahu-menahu soal perilaku korup kadernya ini. Berarti, Hasto telah khianati Mega!

***