Manuver Agum Gumelar

Sabtu, 16 Maret 2019 | 00:31 WIB
0
1066
Manuver Agum Gumelar
Agum Gumelar. (Foto: Tribunnews.com).

Manuver politik para jenderal mantan penguasa saat Orde Baru mulai bermunculan. Fitnah lima tahunan mereka gulirkan terkait Pelanggaran HAM berat selama era Orde Baru, seperti Agum Gumelar dan Wiranto yang selalu menyerang Prabowo Subianto.

Semua Fitnah itu mereka lontarkan pada capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, yang saat pelanggaran HAM berlangsung hanya berangkat Kapten hingga Kolonel, yang sebenarnya masih punya struktur komando yang lebih tinggi di atasnya.

Sebaliknya, para purnawirawan jenderal tersebut pada saat pelanggaran HAM berat sudah menempati struktur komando, yang perintahnya wajib dipatuhi para anak buahnya. Dengan tanggungjawab hirarki, maka semua sepak terjang anak buahnya menjadi tanggungjawabnya sebagai komandan pasukan.

Strategi fitnah lima tahunan yang mereka sebarkan sangat masif dan terstruktur. Ditebarkan setiap 5 tahun sekali dengan target menghadang seorang Prabowo Subianto, yang mengetahui kejahatan pelanggaran HAM yang didalangi para jenderal penguasa rezim Orba.

Para purnawirawan jenderal itu ketakutan bahwa Prabowo Subianto yang Pro-Rakyat akan mendorong berlangsungnya proses hukum yang dilakukan para bintang penguasa era Orba itu.

Strategi yang dilakukan para purnawirawan jenderal, bersikap sok suci dengan memaparkan penculikan para aktivis pada tahun 1997-1998 dalam versi mereka. Fitnah dilemparkan pada Prabowo Subianto yang kebetulan mantan Pangkostrad dan menantu Presiden Soeharto.

Padahal fakta yang terjadi sangat bertolak belakang. Aktivis yang diamankan Prabowo saat itu hanya 9 orang. Setelah 2 minggu kemudian, para aktivis itu dilepas dan diantar selamat sampai ke rumah masing-masing.

Bahkan mereka diberi uang saku, dan tempat tinggal para aktivis tersebut sampai dengan waktu pengunduran diri Presiden Soeharto dijaga ketat. Pengamanan melekat dilakukan Prabowo terhadap para aktivis tersebut dan keluarganya.

Keputusan tersebut diambil Prabowo, karena dia mengetahui ada kelompok jenderal yang memanfaatkan kondisi saat itu untuk mencari muka pada Presiden Soeharto. Para jenderal tersebut membentuk sebuah tim misterius dengan melakukan penculikan sendiri terhadap para aktivis, yang sampai saat ini tak tentu nasibnya.

Skenario penculikan para aktivis itu diketahui oleh Prabowo, yang konon mendapat informasi dari Presiden Soeharto lewat salah satu personil Paspampres. Dokumen itu kini ada di tangan Prabowo Subianto.

Konon, salah seorang pejuang HAM yang mengetahui data tersebut adalah almarhum Munir yang dibunuh saat penerbangan menuju Den Haag. Copy dokumen itu ada dalam tas yang dibawa Munir, yang saat itu dinyatakan hilang dan belum ditemukan.

Tapi, dokumen asli atas semua pelanggaran HAM disimpan Prabowo, yang akan digulirkan saat dia menjadi Presiden. Targetnya penegakan hukum terhadap semua pelaku pelanggaran HAM di Indonesia, baik mantan militer ataupun oleh kaum sipil bersenjata.

Mengapa Prabowo baru akan melakukan proses hukum saat menjabat Presiden? Kebijakan itu secara politik sangat wajar, karena kepastian penegakan sebuah proses hukum sangat bergantung pada ketegasan Kepemimpinan Nasional.

Saat Pemimpin Nasional tidak memiliki ketegasan dan memiliki cacat hukum, yang diketahui para pelanggar HAM itu dapat dipastikan proses hukum tidak akan berlangsung dengan pasti.

Sementara itu, ironisme hukum akan mempermalukan Indonesia, saat dokumen pelanggaran HAM yang melibatkan para purnawirawan jenderal penguasa Orba itu sampai ke Mahkamah HAM di Den Haag, yang mendorong digulirkannya proses hukum internasional.

Jika masa itu datang, karena Pemerintah Indonesia yang dipimpin seorang Presiden RI tidak tegas melakukan pembicaraan terhadap semua pelanggaran HAM tersebut, sebuah Pasukan Keamanan Mahkamah HAM di Den Haag akan menyerbu Indonésia.

Pasukan Keamanan Mahkamah HAM itu akan melakukan proses hukum atas nama HAM dan PBB. Semoga saja kondisi itu tidak terjadi.

Sedangkan 30 pelanggaran HAM di Indonesia yang kini dalam proses investigasi Mahkamah HAM Internasional diantaranya:

01. Insiden di Talang Sari, Lampung Timur 7 Februari 1989
02. Peristiwa Pembantaian GAM di Aceh pada tahun 1990-an
03. Peristiwa Pembantaian Petani di Mesuji, Sumatera Selatan pada tahun 1997
04. Insiden Demo Mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998
05. Insiden Semanggi 1 dan 2 pada 13 November 1998 dan 24 Septembber 1999
06. Insiden tewasnya Aktifis HAM Munir pada 7 September 2004
07. Insiden tewasnya Marsinah aktivis wanita Sidoarjo pada 4 Mei 1993
08. Peristiwa penculikan aktivis pro Demokrasi pada 1997 dan 1998
09. Tragedi BOM Bali pada 2002 yang dilakukan oleh kelompok teroris asal Indonesia
10. Konflik Suku Dayak dan Madura di Sampit pada 2001
11. Tragedi perang suku di Poso Sulawesi tengah pada 1998 – 2000

Dengan banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia yang melibatkan para purnawirawan jenderal penguasa rezim Orba itu, maka mereka yang kini masih hidup itu ketakutan dan khawatir saat Prabowo berkuasa nanti.

Prabowo akan langsung menyetujui proses hukum pelanggaran HAM ditangani pengadilan hukum di Indonesia sebagai kebijakannya, untuk menghindari masuknya pasukan keamanan Pengadilan HAM Internasional meng-obok-obok Indonesia.

Manuver Agum Gumelar

Jauh hari sudah dapat diduga sebelumnya. Bahwa masalah pelanggaran HAM akan digoreng kembali menjelang Pilpres, 17 April 2019. Terbukti, Agum Gumelar untuk kali kedua melakukan "serangan" kepada Prabowo Subianto terkait pelanggaran HAM di Indonesia dan kasus penculikan aktivis 1998.

Saat Pilpres 2014, Agum Gumelar juga melakukan hal serupa kepada Prabowo yang ketika itu juga mengikuti kontestasi Pilpres 2014 dengan rival yang sama, Joko Widodo. Isu lawas yang digoreng kembali dengan tujuan politis untuk menghambat langkah  Prabowo dan memberi jalan mulus bagi Jokowi.

Mungkin purnawirawan jenderal yang juga kolega Prabowo saat di Kopassus itu berharap, rakyat percaya dengan tudingannya itu. Bahkan salah seorang Alumni Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS) bernama Nicholay Aprilindo, Alumnus PPSA XVII LEMHANNAS RI-2011, telah mengirim surat terbuka kepada Agum Gumelar.

 “Kalau benar Anda tahu tentang rahasia peristiwa pelanggaran HAM tahun 1998 dan tahu di mana mayat para korban penculikan, kenapa Anda tidak melaporkan itu pada Presiden Jokowi dan presiden sebelumnya seperti BJ.Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyoni?"

"Kenapa Anda tidak melaporkan itu ke Komnas HAM serta Kejaksaan Agung? Kenapa waktu Megawati Soekarnoputeri berpasangan dengan Prabowo Subianto pada saat maju sebagai capres-cawapres tahun 2009, Anda tidak ‘bernyanyi’?” lanjut Nicholay Aprilindo dalam suratnya.

Nicholay Aprilindo benar. Jika Agum Gumelar benar-benar mengetahui fakta tempat Aktivis 98 dibunuh dan dibuang namun tidak dilaporkan, maka dari sisi hukum mantan Danjen Kopassus ini juga bisa terkena delik karena dianggap menyembunyikan kejahatan.

AwauI Pasal 221 KUHP, jika seseorang mengetahui sebuah fakta/peristiwa kejahatan (pidana) namun menyembunyikan kejadian tersebut, maka yang bersangkutan bisa dijerat hukum. Ancaman hukuman bagi seseorang yang menyembunyikan pelaku kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan, pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak Rp 4.500.

Supaya kasus penculikan aktivis 98 ini tidak sekedar ramai di media, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengimbau agar Agum Gumelar melaporkan kepada Kejaksaan Agung.

“Jadi jangan sampai hanya ramai di media. Hanya ramai lima tahun sekali. Setelah kampanye selesai orang-orang yang memiliki informasi kemudian tak berkata apa-apa lagi,” kata Beka Ulung Hapsara, seperti dilansir CNNIndonesia.com. Agum Gumelar dalam sebuah diskusi mengaku mengetahui informasi seputar kasus penculikan aktivis 98 yang menyeret capres Prabowo Subianto.

Agum Gumelar sendiri pernah menjadi Danjen Kopassus sebelum Prabowo Subianto. Dia juga pernah menjadi anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP), tim yang dibentuk untuk mengusut kasus penculikan aktivis 98. Aktivis HAM Haris Azar menilai, pernyataan Agum Gumelar sebagai hal yang katro alias kampungan.

Isu pelanggaran HAM dan penculikan aktivis 98 seolah sudah menjadi komoditas politik lima tahunan terutama menjelang Pilpres seperti sekarang. “Katro lah, katro. Lima tahun lalu juga ngomong kaya gitu, terus habis ngomong, begitu jagoannya [Jokowi] menang, mana? Kok tidak diselesaikan kasusnya,” ujar Haris Azhar, seperti dikutip Tirto.id.

Orang sekaliber Agum Gumelar, seorang jenderal purnawirawan yang telah malang melintang di dunia militer dan birokrasi sebagai menteri, seharusnya sudah memiliki jiwa sapta marga dan memahami Sumpah Prajurit. Sehingga tidak sembarangan dalam melontarkan pernyataan tentang pihak lain apalagi hal ini menyangkut isu pelanggaran HAM.

Sikap jujur dan kesatria merupakan bekal utama bagi setiap Prajurit Komando. Sangat disayangkan jika pencapaian tertinggi dalam militer yang pernah diraih Agum Gumelar kemudian sirna begitu saja hanya karena syahwat politik. Hal tersebut  bisa mengurangi rasa respek dan apresiasi masyarakat kepada Agum Gumelar.

Sebaliknya jika Agum Gumelar benar-benar ingin menyingkap peristiwa kelam 1998, setidaknya bisa memberikan kepastian hukum bagi keluarga para aktivis korban penculikan aktivis 98. Sebagai seorang purnawirawan perwira tinggi TNI, dipastikan mengetahui makna sapta marga dan sumpah prajurit.

Tapi, mengapa Agum Gumelar tiba-tiba melontarkan pernyataan yang lebih bersifat sensasi politik murahan. Pernyataan Agum Gumelar tentang pelanggaran HAM yang dituduhkan pada Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto seperti “menepuk air didulang terpercik muka sendiri”.

Lima tahun lalu, tuduhan, serupa dilontarkan oleh Timses Joko Widodo-Jusuf Kalla. Saat itu bukan hanya Agum Gumelar yang menyerang Prabowo. Wiranto pun ikut-ikutan!

Tapi, kali ini Wiranto "absen", meski sempat berseteru dengan Kivlan Zen karena dituding sebagai  Dalang Kerusuhan Mei 1998.  

 ***