Besar, Pengaruh Politik Dinasti terhadap Korupsi

Rabu, 19 Desember 2018 | 21:25 WIB
0
486
Besar, Pengaruh Politik Dinasti terhadap Korupsi
Zumi Zola dan ayahnya (Foto: Hipwee.com)

Politik dinasti. Semenjak adanya pilkada langsungdan batasan masa jabatan dua periode atau 10 tahun, banyak kepala daerah seakan tidak terima dengan aturan atau batasan masa jabatan tersebut. Tapi di alam demokrasi sekarang aturan atau batasan itu bisa dicari solusinya atau jalan keluarnya.

Bagaimana solusinya atau jalan keluarnya? Menyuruh keluarganya untuk ikut maju dalam pilkada. Bisa:istrinya, anaknya dan adik atau kakaknya.

Politik dinasti bukan hanya merusak tatanan birokrasi tapi juga menciptakan loyalis-loyalis dalam birokrasi atau para pejabat di bawahnya yang notabene seorang PNS. Dan politik dinasti juga menyuburkan korupsi.

Politik Dinasti menjamur dalam hajatan Pilkada Langsung. Ada suami sudah menjabat dua periode, akhirnya istrinya disuruh maju dan menang. Karena pengaruhnya suaminya dalam birokrasi masih kuat dan bisa digerakkan untuk mendukung sang istri. Ini terjadi di Purwakarta. Mereka sering berkilah ini "hak konstitusi" warga negara.

Terus, apa pengaruh politik dinasti terhadap korupsi? Ooo.. jelas ada pengaruhnya terhadap korupsi. Seperti para kepala daerah yang ditangkap oleh KPK, di antaranya karena politik dinasti itu.

Seperti kasus Gubenur Jambi Zumi Zola, ia maju sebagai kepala daerah atas desakan atau menuruti kehendak bapaknya Zulkifli Nurdin (almarhum). Dalam pengadilan terungkap bapaknya sudah menyediakan dana dari para pengusaha yang merupakan mitra Pemprov yang sering mendapatkan proyek.

Bukan itu saja, mutasi jabatan bukan berdasarkan prestasi, tapi berdasarkan faktor suka atau tidak suka atau karena yang sudah berjasa pada dirinya dalam tim sukses. Mutasi jabatan ini juga bisa diperjualbelikan.

Ada lagi bupati Cianjur Irvan Rivano yang ditangkap oleh KPK adalah anak dari bupati sebelumnya, Tjetjep Muchtar. Ini juga karena politik dinasti. Mereka menunjuk rekanan berdasarkan arahan bapaknya.

Politik Dinasti hanya menyuburkan korupsi dan nepotisme dan menjadikan birokrasi menjadi loyal kepada kepala daerah. Dan akhirnya birokrat hanya menjadi pelayan sang kepala daerah dalam arti negatif, seperti disuruh menerima uang suap atau melakukan suap. Birokrasi yang awalnya bersih menjadi rusak karena pengaruh atau desakan sang kepala daerah.

Sudah waktunya untuk menghindari politik dinasti dibuat peraturan atau ada jeda waktu lima tahun. Misalnya: suami yang sudah menjabat dua periode atau 10 tahun, kalau ingin instrinya menjadi calon kepala daerah tidak boleh langsung,tapi menunggu lima tahun. Atau dari bapak ke anak, juga harus ada jeda lima tahun.

Tujuannya untuk menghindari politik dinasti dan menghilangkan pengaruh-pengaruh dari kepala daerah sebelumnya yang notabene masih ada hubungan atau ikatan emosional dengan birokrat atau pegawai di bawahnya.

***