Bahar bin Smith Kagumi Prabowo atau Sebaliknya?

Kamis, 27 Desember 2018 | 17:46 WIB
0
433
Bahar bin Smith Kagumi Prabowo atau Sebaliknya?
Prabowo Subianto dan Bahar bin Smith [Kompasiana.com/tilariapadika]

Menyikapi penganiayaan yang dilakukan Bahar bin Smith terhadap dua remaja, politisi PDIP Budiman Sudjatmiko bercicit di twitter, "Bahar bin Smith adalah manusia fasis yg mengagumi & mau mengikuti fasis yg lbh besar dari dirinya. Ini menjelaskan pilihan politiknya..."

Meski Budiman tidak menyebut nama Prabowo, sulit untuk tidak menduga adalah Prabowo Subianto yang Budiman maksudkan sebagai fasis yang lebih besar dari Bahar.

Andai benar asumsi saya, kicauan Budiman ini mengandung dua hal menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Pertama soal tudingan fasis, dan kedua soal Bahar mengagumi dan mengikuti Prabowo.

Sepertinya Budiman menganggap kesenangan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah adalah karakter seorang fasis. Sebagian orang mungkin menilai Budiman terlalu menyederhanakan dan cepat mengambil kesimpulan. Tetapi Budiman ada benarnya juga. Dalam literatur manapun yang membahas fasisme, pengutamaan penggunaan kekerasan sebagai alat pemaksa kepentingan ditempatkan sebagai salah satu ciri utama.

Dalam konteks negara (pemerintah) sebagai pelaku, selain menggunakan aparatur koersif formal (tentara dan polisi), pemerintah fasis juga memobilisasi paramiliter atau milisi untuk melakukan teror dan kekerasan terhadap lawan-lawan politik. Kita tahu, Bahar adalah pemimpin organisasi  Majelis Pembela Rasulullah.

Meski nama dan atribut organisasi ini mencerminkan ormas keagamaan, sepak terjangnya dalam aksi main hakim sendiri, melakukan sweeping terhadap tempat-tempat hiburan malam membuatnya lebih tampak sebagai paramiliter.

Fitur lain yang menyatukan fasisme di manapun di dunia adalah kebencian terhadap filsafat marxisme. Dalam konteks Indonesia, orang-orang seperti Bahar Smith menghidupkan dongeng tentang ancaman PKI--parpol yang menggunakan marxisme sebagai filsafat--sebagai legitimasi keberadaan organisasi paramiliternya.

Tidak ketinggalan narasi dan tindakan berbau kebencian terhadap identitas tertentu, seperti etnis dan agama minoritas juga sering ditunjukkan Bahar dan kelompoknya.

Tentu saja pemenuhan beberapa fitur itu tidak serta-merta menjadikan Bahar Smith seorang fasis. Problemnya terletak pada konsensus definisi fasisme itu sendiri, apakah ciri-ciri utama harus dipenuhi secara all or nothingatau sudah cukup matter of degree.

Hal yang sama berlaku pada Prabowo. Latar belakang militer dan sejarah masa lampaunya yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM sipil-politik memperkuat ciri fasis dalam retorika ultarnasionalisnya. Namun Gerindra, parpol milik Prabowo hampir tak pernah terberitakan melakukan mobilisasi massa atas nama Gerinda untuk memaksakan agenda politiknya.

Prabowo sendiri tampil sebagai tokoh yang menghormati demokrasi, terbukti dengan kesabarannya menunggu pemilu--pilpres 2019 ini sudah yang ketiga kalinya--sebagai momentum meraih kekuasaan.

Karena itu saya lebih suka menyebut tendensi politik Prabowo sebagai populis sayap kanan, tentu saja dengan kesadaran akan besarnya potensi tendensi ini untuk terjerumus ke dalam fasisme.

Hal menarik kedua yang disampaikan Budiman adalah soal Bahar mengagumi dan mengikuti Prabowo. Ini menarik karena sejumlah peristiwa justru menunjukkan Prabowo lah yang mengagumi Bahar.

Sebuah video youtube misalnya menunjukkan bagaimana Prabowo menghentikan pidatonya ketika Bahar tiba. Dalam video berjudul "Detik Detik Prabowo Hentikan Pidatonya Ketika Habib Bahar Datang HIGH" tampak Prabowo legowo pidatonya berjeda lama demi menunggu Bahar naik ke panggung dan keduanya berpelukan. Ini sungguh berbeda dengan reaksi Prabowo dalam sejumlah peristiwa ketika pidatonya terganggu. 

Ternyata Prabowo juga pernah menghadiri ceramah Bahar di Pesantren Tajul Alawiyin di Kemang, Bogor. 

Tempo.co memberitakan kesaksian para tetangga Bahar yang melihat Prabowo dan Ridho anak Roma Irama menghadiri pengajian Bahar pada November 2018. Ceramah dan pengajian itu adalah yang terakhir kali Bahar selenggarakan di pesantrennya sebelum ia terlilit kasus penghinaan kepala negara dan penganiayaan.

Sebenarnya saya tidak bisa memastikan apakah dua peristiwa di atas menunjukkan kekaguman Prabowo kepada Bahar bin Smith atau itu semata-mata sandiwara lazim politisi demi meraih simpati para pengikut Bahar.

Anehnya, Prabowo dalam sejumlah kesempatan mengeluhkan labelisasi terhadap dirinya sebagai pendukung kalangan Islam garis keras. Ia seperti menyadari bahwa label atau citra itu tidak positif dan merugikan dirinya.

Bagi saya, bantahan Prabowo sia-sia saja sebab kenyataannya orang-orang seperti Al-Khathath mantan Ketua HTI, Rizieq Shihab pendiri FPI, dan kini Bahar bin Smith memang memiliki akses terhadap Prabowo. Sebaliknya, Prabowo tampak bergantung kepada dukungan para ikon Islam garis keras ini.

Saya rasa tak ada gunanya Prabowo bersikap ambigu. Kian sering ia membantah kedekatannya dengan orang-orang yang pernah dan sedang bermasalah hukum ini, akan kian tampak plin-plan dirinya.

Adalah lebih baik Prabowo menjadi basah sekalian, membiarkan label pro-Islam garis keras melekatinya. Ia tinggal menunggu hasilnya pada pilpres 2019 nanti. Apakah mayoritas rakyat Indonesia, yang berarti pula mayoritas kaum muslim mendukung golongan Islam garis keras atau kepada Islam moderat yang diwakili oleh para pendukung Joko Widodo.

Pada dasarnya berpolitik adalah memilih sisi, pada kelompok mana kita berpihak. Tak ada orang yang bisa mengesankan dirinya berdiri di atas semua golongan.

Sumber:

  1. twitter.com/budimandjatmiko/status/1075206506914603008
  2. Youtube.com/Puunchanel. "Detik Detik Prabowo Hentikan Pidatonya Ketika Habib Bahar Datang HIGH"
  3. Tempo.co (10/12/2018) "Ceramah Terakhir Bahar bin Smith, Tetangga: Ada Prabowo."

 

***