Buruk Muka, Muka Orang Lain Dipecahbelah

Di situ agama menjadi kurang asyik, ketika dipolitiking. Itu persis sama dengan tindakan seorang komisioner KPI, yang mencekal 54 lagu asing karena dikategorikan tidak patut.

Kamis, 5 Agustus 2021 | 08:32 WIB
0
220
Buruk Muka, Muka Orang Lain Dipecahbelah
Ilustrasi cermin (Foto: blogger.com)

Setelah kasus Heryanti melebar ke mana-mana, ada lagi isu lain di luar soal PPKM yang dikit-dikit diperpanjang. Dikit-dikit diperpanjang. Diperpanjang kok cuma dikit-dikit? Biar lebih menggigit. Bukankah nenek moyang kita berslogan sedikit demi sedikit lama-lama menjadi banyak?

Soal bola voli pantai Olympiade Tokyo 2021, yang ditayangkan di televisi. Ada warga negara Indonesia menggugat ke KPI, agar apa yang ditayangkan stasiun televisi itu, khususnya mengenai pakaian yang dikenakan para atlet, ditangkal, dicegah atau disensor. Soalnya parno. Sudah tubuhnya tampak fresh, kukuh, cantik pula. Mbok jangan gitu, kan bikin minder yang tidak punya bodi se-atletis itu.

Sebetulnya gampang cara menghindarinya. Karena berangkat dari penontonan televisi, tinggal pindah channel. Misal ke acara live dari Arab Saudi, mengenai aktivitas di ka’bah, 24 jam nonstop tanpa jeda iklan. Itu nasihat yang lebih mudah dilakukan, daripada mengajaknya menebalkan imanitas dan imunitas, agar apapun yang kau lihat, jika jiwa-ragamu sehat dan kuat, tak akan ada persoalan.

Sehebat apapun virus varian delta, jika jiwa-raga kita sentausa karena daya imunitas kita, membuat virus apapun tak berdaya. Tak perlu takut pada gembar-gembor informasi WHO dan Satgas Kopit kita yang meneror dengan angka-angka statistika, namun tak mampu menumbuhkan daya literasi kita.

Seperti biasanya, ada jenis manusia yang lebih memajukan ego-sentrismenya. Jika tidak mendesakkan kepentingan pribadi pada liyan, bukan manusia tertentu namanya.

Menjadi manusia tertentu, dengan ukuran-ukuran tertentunya, tentu menginginkan agar semua makhluk di planet bumi ini bersatu-padu dengan ketentuan-ketentuannya yang tertentu itu. Sayangnya, syarat dan ketentuannya, sering tidak terpenuhi. Yakni, keragaman yang menjadi takdir dan hukum semesta raya.

Jika kita percaya sepenuhnya, atas kemutlak-mutlakan tuhan, kenapa beliau tidak menciptakan manusia sama persis, satu dan lainnya? Bahkan, kalau perlu, tak ada perbedaan kelamin. Misal semua lelaki. Atau perempuan semua. Lebih ekstrim lagi, bagaimana kalau tak perlu ada alat vital yang disebut kelamin? Manusia nir kelamin, mungkin gagasan post-modern, sebagaimana John Lennon melantunkan imagine. Membayangkan bagaimana dunia tanpa agama.

Karena manifestasi agama ternyata bias. Hanya menjadi bendera-bendera. Bukan pada perilaku dan peripikiran. Apalagi periperasaan, perijiwa, perikemanusiaan, perispiritualitas kita. Bukankah Muhammad sendiri mengatakan; tidak lain dirinya diutus untuk memperbaiki akhlak manusia? Apa itu akhlak? Bagaimana mengukur kualitas akhlak?

Adakah lembaga manusia yang punya otoritas menilai? Apakah ormas macam MUI, yang laporan keuangannya mau diaudit Pemerintah saja sudah ngedumel, bisa kita percaya ngurus akhlak manusia?

Sayangnya, sering karena buruk muka bukan hanya cermin dibelah. Tetapi kita dipecah-belah, karena rasa tanggungjawab berlebihan. Seolah jika dunia ini bobrok karena melihat perempuan perkasa tim-tim bola voli pantai, maka dia yang Cuma menonton via televisi akan dimasukkan ke neraka? Perilakunya yang memaksa orang lain untuk mengikuti keinginannya, jangan-jangan itu yang akan memasukkannya ke neraka?

Karena agama lebih diperlakukan untuk menilai atau mengukur orang lain. Bukan sebuah outward looking dan inward looking untuk proses permenungan bagi tumbuhnya spiritualitas dan religiusitas masing-masing.

Menanggapi gugatan atas tayangan televisi itu, pihak KPI konon belum bisa menjawab. Masih butuh waktu mempelajarinya. Jawaban oportunistik. Seolah KPI bekerja tanpa Undang-undang dan aturan yang sudah diundangkan. Di situ agama menjadi kurang asyik, ketika dipolitiking. Itu persis sama dengan tindakan seorang komisioner KPI, yang mencekal 54 lagu asing karena dikategorikan tidak patut. Baru boleh ditayangkan di Indonesia jika penciptanya merevisi, sesuai kaidah yang diyakini pencekalnya tentu.

Moral tulisan ini --ciye pakek moral-- perbaiki dirimu sendiri. Perkuat imanmu dengan ilmu pengetahuan pula. Jangan karena tubuhmu lemah, lantas kau maki-maki ratusan milyar kuman, bakteri, virus yang berkeliaran di tubuhmu. Cobalah mandi sebagai kebutuhan, bukan karena keperluan kalau mau pergi arisan. 

@sunardianwirodono