Silicon Valley (Tidak) Jatuh dari Langit

Akankah Silicon Valley yang dijatuhkan pemerintah dari langit ini berakhir sukses atau menjadi Hambalang Jilid II yang menggelontorkan uang rakyat untuk kesia-siaan belaka?

Rabu, 14 April 2021 | 15:18 WIB
0
408
Silicon Valley (Tidak) Jatuh dari Langit
Sebuah garasi di Palo Alto yang dianggap

Belum lagi kering perdebatan di media sosial maupun pembicaraan publik ihwal pradesain Istana Negara di calon ibu kota baru karya Nyoman Nuarta, publik kembali dihadapkan pada polemik pembangunan "Bukit Algoritma" yang direncanakan berlokasi di Sukabumi, Jawa Barat.

Megaproyek ini direncanakan hendak meniru Silicon Valley di Amerika Serikat yang sejak lama kesohor sebagai markas berbagai perusahaan teknologi dan kini masih memiliki daya pikat sebagai rahim bagi janin-janin perusahaan teknologi rintisan.  

Bukit Algoritma ditaksir memiliki nilai proyek tahap pertama mencapai Rp18.000.000.000.000 dengan penggarap utama PT. Amarta Karya (Persero), Kiniku Bintang Raya KSO, dan PT. Bintang Raya Lokalestari yang disahkan dalam kontrak bersama bertanggal 7 April 2021 lalu. Dilihat dari nilai proyek yang selangit, dapat terbayang besarnya harapan publik akan keberhasilan Bukit Algoritma, lebih-lebih karena hari-hari ini, pidato pejabat sudah begitu hiruk-pikuk dengan slogan "four-point-o", "millenials", "start-up", "digital disruption", "unicorn", dan sebagainya. 

Dibangun di atas lahan seluas 888 hektare yang meliputi daerah Cikidang dan Cibadak, Sukabumi, Direktur Utama PT. Amarta Karya, Nikolas Agung, memaparkan bahwa pembangunan Bukit Algoritma bertujuan meningkatkan kualitas ekonomi 4.0.. Lagi-lagi, slogan "four-point-o" menjadi kecap andalan agar pidato dirasa lebih kekinian.  Sebagai investor, mantan aktivis Reformasi dan Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO, Budiman Sudjatmiko, mengklaim "satu negara di Amerika Utara" sudah siap menanam modalnya di Bukit Algoritma.

Inisiasi dan tujuan pembangunan itu, bukan saja mengguncang, namun juga teramat genting untuk diluncurkan kepada publik di masa sekarang. Di tengah penggarapan tiga proyek mercusuar yaitu food estate, ibu kota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dan kereta cepat Jakarta-Bandung, rencana Bukit Algoritma di Sukabumi yang bernilai tak tanggung-tanggung itu jelas sekadar menimpali obsesi pemerintah periode kedua yang ambisius mengajak masyarakat bersama-sama "melompat" untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di antara negara-negara lain.

Bukan salah jika obsesi itu tak cuma membuat dada mongkok, namun juga membuat kening berkerut. 

Terdapat begitu banyak hal yang mesti disorot dari proyek raksasa ini. Di samping asumsi miring bahwa rencana yang akan segera dikebut ini "tidak tahu diri" karena dilakukan di tengah keadaan sebagian besar masyarakat  yang megap-megap mempertahankan dapur agar tetap bisa berasap, terdapat berbagai pertimbangan lebih jauh mengenai apa yang hendak dikerjakan pemerintah dan apa yang sesungguhnya dikehendaki zaman.

Pemerintah bisa optimistis mengajak masyarakat "melompat" bersama-sama mengejar ketertinggalan. Akan tetapi, siapa dapat menerka jika lompatan itu akan mengajak kita bersama-sama mendahului negara lain ataukah mengajak kita bersama-sama terjun bebas ke jurang kegagalan?     

Bukan Jatuh dari Langit

Mimpi besar Indonesia untuk memiliki daerah pengembangan teknologi terintegrasi semacam Silicon Valley memang sudah dapat diprediksi. Dalam semangat yang menggebu untuk memacu produktivitas dalam kerangka transformasi ekonomi sebagai garis besarnya, kebutuhan suatu lokasi terpusat untuk menyemai bibit-bibit perusahaan rintisan berbasis ekonomi digital diasumsikan kian mendesak (atau didesak-desakkan?) Hanya saja, selain kemunculannya yang mengagetkan, proyek besar Silicon Valley van Sukabumi ini tidak membaca lebih jauh bagaimana sejatinya Silicon Valley itu muncul. 

Sebagai ilustrasi tulisan ini, Anda melihat sebuah pintu garasi dari sebuah rumah tua di Palo Alto, California. Bukan garasi biasa tentunya, karena di garasi itulah William R. Hewlett dan David Packard merancang audio oscillator untuk pertama kalinya pada 1938 sebelum kemudian bersama-sama merintis usaha perangkat teknologi yang kini meraksasa, Hewlett-Packard. Salah satu produk mutakhirnya adalah laptop yang saya gunakan menulis opini ini. 

Sejarah kemudian bicara lebih dari sekadar dua tokoh muda itu. David Packard sendiri adalah mahasiswa Stanford University yang direkomendasikan oleh profesornya, Dr. Frederick Terman untuk diperbantukan dalam proyek  instalasi Tabung Hampa Udara yang digagas rekan Terman, Charles Litton Sr. Nama terakhir ini juga yang kemudian merekayasa teknologi gelombang mikro dan menggarap secara serius radio gelombang pendek (short wave radio).

Kesemua peristiwa rekayasa dan coba-gagal itu terjadi dalam dekade 1930-an. Akumulasi sejarah lalu membuktikan bagaimana wilayah yang membentang dari Redwood hingga San Jose itu kemudian menjadi magnet bagi banyak perusahaan raksasa yang mengubah sejarah umat manusia. Sebutlah perusahaan Intel, Google, eBay, Facebook, Microsoft, Cisco, Apple, IBM, Xerox, hingga layanan streaming yang digandrungi milenial-remaja, Netflix; semua bermarkas di kota-kota sepanjang lereng Gunung Santa Cruz itu. 

Kisah sukses Silicon Valley yang hari ini dipandang seluruh mata dunia jelas bukan pertama-tama diinisiasi pemerintah pusat. Dari gagasan Dr. Frederick Terman dan Charles Litton yang memompa semangat murid-muridnya agar tak patah arang dan terus mendalami riset dan berinovasi terus selama berpuluh tahun lamanya, dunia tidak mengingat bagaimana pemerintah federal California berutang sana-sini untuk bermimpi memancing lahirnya perusahaan besar; dunia justru mengingat bagaimana Silicon Valley justru mendongkrak California dan memberinya kehormatan besar dalam sejarah manusia.

Hikayat Silicon Valley membuktikan kepada kita bahwa bukan cetak biru pemerintah yang memantik anak-anak muda untuk berkembang mengikuti zaman, melainkan sebaliknya, yaitu anak-anak muda yang menggambar cetak birunya sendiri dan karenanya mencari sendiri tempat baginya dalam sejarah bangsa-bangsa

Karena riwayatnya yang panjang itu, evolusi Silicon Valley sama sekali bukan sebuah perjalanan panjang dan mulus. Kerikil dan aral sepanjang jalan-lah yang menempa Silicon Valley hingga berkembang sedemikian rupa, bukan proses instan yang tendensius namun penuh ketidakpastian dan tanda tanya. 

Yang Hidup dan Yang Mati

Bukan sekali Presiden berwacana soal kehendaknya (karena saya belum mendengar ada profesor atau teknokrat Indonesia yang berkehendak demikian) membangun Silicon Valley. Karena seringnya, jurnalis senior Farid Gaban bahkan berseloroh di status Facebook-nya bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan Silicon Valley terbanyak di dunia karena hampir lima kali di lima tempat berbeda, pemerintah merencanakan pembangunan area semacam Silicon Valley itu. 

Sayangnya, rencana menggebu-gebu ini justru bertentangan diametral dengan rencana pemerintah yang menggabungkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi ke dalam lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penggabungan yang dinilai sebagai langkah mundur inilah yang bagi saya terasa begitu lucu, karena di tengah inovasi dan riset akademis yang masih sporadis sifatnya—dan karenanya menyebabkan kualitas akademik kita cukup memprihatinkan—kementerian yang seharusnya dapat bergerak leluasa dalam mengotorisasi kegiatan-kegiatan riset justru hendak dibubarkan dan dijadikan sebatas direktorat yang kewenangannya lebih terbatas.

Sejarah Silicon Valley membawa kita berkaca pada kenyataan, bukan lokasi kerja besar dan megah yang menyulap kota=kota di pesisir Teluk San Fransisco itu menjadi pusat peradaban digital, melainkan manusia-manusia yang tangguh dan tidak perlu menghadapi rintangan njelimet dalam mengajukan inovasinya, di samping masyarakat yang sanggup mengapresiasi kerja-kerja kreatif anak bangsa tanpa mempertimbangkan standar mutu dan tetek-bengek birokrasi yang mengecilkan hati. 

Sejarah itu pula membuktikan bahwa bukan daerah mati  yang melahirkan perusahaan yang hidup, melainkan yang hidup mengembangkan daerah mati menjadi sama-sama hidup, tumbuh, berkembang serta menjadi berkat bagi sebanyak mungkin orang

Dengan berkaca pada sejarah, maka rencana Bukit Algoritma yang hendak menyandingkan Silicon Valley ini bisa ditebak akan menjadi komedi pembangunan lain yang terburu-buru, namun tidak disertai pembangunan manusia yang cakap dan sanggup mengolahnya. Kebesaran proyek dan nilainya yang fantastis itu jelas menggayutkan pertanyaan dan kekhawatiran yang besar.

Akankah Silicon Valley yang dijatuhkan pemerintah dari langit ini akan berakhir dalam kisah sukses ataukah menjadi Hambalang Jilid II yang menggelontorkan uang rakyat untuk kesia-siaan belaka? 

***