Politik Cikeas 2017-2021

Sebenarnya, pasal 83 AD/ART PD inilah yang dijadikan starting point oleh para kader PD penentang Cikeas, untuk kemudian bisa melangkah ke KLB. Tapi ya biarin ajalah. Sudah terjadi.

Rabu, 17 Maret 2021 | 06:51 WIB
0
245
Politik Cikeas 2017-2021
Ilustrasi lebaran kuda (Foto: harianindo.com)

Sekali lagi tentang Susilo. Seandainya pada tahun 2017 Susilo mengajukan Gita Wirjawan sebagai Cagub dan AHY sebagai Cawagub, peluang untuk memenangi Pilkada DKI 2017 pasti jauh lebih besar ketimbang AHY-Silvy. Bagaimanapun Gita jauh lebih kompetitif dibanding AHY yang baru resign dari TNI dengan pangkat mayor. Entah kalau Gita sendiri yang gak mau.

Sangat gamblang, dari segi kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas, kompetensi, pengalaman, tampilan fisik, dan terutama intelejensia, jelas Gita Wirjawan jauh lebih unggul daripada AHY. Bahkan, jika bisa memenangi Pilkada DKI 2017, sangat mungkin Gita diunggulkan menjadi capres untuk menantang Jokowi.

Berangkat dari tesis itu, bisa ditarik hipotesis bahwa pada tahun 2017, Susilo bukan saja mengorbankan karir militer AHY, tapi juga mengorbankan Partai Demokrat. Agenda utama Susilo waktu itu sangat bernuansa nepotisme. Ia ingin menempatkan anaknya (AHY) langsung di orbit yang tinggi, Gubernur DKI Jakarta. Meskipun peluangnya amat sangat kecil. Ini terbukti, gugur di putaran pertama.

Padahal, alternatif lain yang lebih rasional dan peluang untuk memenangi Pilkada DKI 2017 lebih besar, sekaligus akan secara otomatis mendongkrak popularitas Partai Demokrat, jelas tersedia: memajukan Gita Wirjawan sebagai Cagub. Tapi ya itu tadi, agenda utamanya bukan itu.

Artinya, dengan memajukan AHY di Pilkada DKI 2017, cost yang harus dibayar oleh Susilo sangat mahal: mengorbankan karir militer AHY dan jatuhnya popularitas Partai Demokrat.

Ini juga terbukti dengan anjloknya perolehan kursi PD di DPR pada Pileg 2019. Tapi itu tidak membuat Susilo kapok, minimal sadar.

Maret 2020, pada Kongres V di Jakarta Susilo menempatkan AHY sebagai Ketua Umum PD. Semua paham, meski Ketua Umum ditentukan melalui pemilihan, di PD siapa yang berani melawan agenda Susilo? Bukan itu saja. Dengan AD/ART, Susilo juga mem-protect AHY dari ancaman pelengseran melalui KLB.

Berdasarkan Pasal 83 ayat (1) AD/ART Partai Demokrat disebutkan bahwa penyelenggara Kongres atau Kongres Luar Biasa adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Selanjutnya, ayat (2) mengatur, KLB dapat diadakan atas permintaan; Majelis Tinggi Partai atau sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan 1/2 dari jumlah Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan DISETUJUI oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Dengan ketentuan KLB dalam AD/ART itu, selama Ketum PD adalah AHY bin Susilo, dipastikan KLB tidak akan pernah terjadi. Jangankan 67% DPD dan 50% DPC yang meminta KLB, kalaupun 90% DPD dan DPC meminta KLB, sampai lebaran kuda pun tidak bisa digelar.

Karena, permintaan itu tidak akan disetujui oleh Majlis Tinggi, yang ketuanya adalah Susilo, bapaknya AHY. Apalagi disebutkan bahwa pelaksana KLB adalah DPP PD, makin gak mungkin.

Sebenarnya, pasal 83 AD/ART PD inilah yang dijadikan starting point oleh para kader PD penentang Cikeas, untuk kemudian bisa melangkah ke KLB. Tapi ya biarin ajalah. Sudah terjadi.

Tapi, dengan terjadinya serangkaian kegiatan politik yang melibatkan Keluarga Cikeas dan Partai Demokrat pada periode 2017-2021, kita jadi tahu, bagi Susilo prioritas utama dalam berpolitik dan bernegara adalah keluarga, bukan yang lain.

Paham ya?!

***