Jokowi itu presiden yang terpilih melalui Pilpres jurdil, manusia baik yang langka. Dengan sejuta fitnah, dendam, dan buruk sangka yang diterimanya dengan tulus ikhlas...
Saya tidak tahu apakah istilah "kutukan" ini tepat. Sebagian orang, menyebutnya sebagai karma, tapi kok malah seolah-olah menggunakan istilah spiritual yang justru kurang tepat. Saya merasa gak pas, menggunakan spiritualitas Hindu yang saya hormati untuk mengkait-ngaitkan dengan karmaphala. Karena di dalamnya menyangkut masalah "dharma". Dalam beberapa olah bahasa, negasi atau katakanlah antonim (lawan kata) dari kutuk adalah berkat. Jika tidak terkutuk, berarti dia terberkati.
Apa sebenarnya kutukan itu? Kutukan adalah kalimat yang diberi energi negatif. Kutukan biasanya muncul menyertai sebuah perjanjian. Artinya kalau perjanjian itu dilanggar, pelakunya akan mendapat sanksi. Sanksinya pun bisa hanya diterima oleh si pelaku, bisa juga diteruskan pada keturunannya. Kalau dalam bahasa hari ini perjanjian itu juga menyangkut "penzaliman, pengingkaran, fitnah, atau apa pun yang sifatnya menisbikan".
Dalam khazanah budaya Jawa, sesuai sifatnya, konsep kutukan dibagi menjadi dua. Sapa untuk yang sifatnya jelek, dan sabda yang sifatnya baik. Kutukan, dalam pengertian bahasa Indonesia, selalu berkonotasi jelek, maka disebut sapa. Orang atau keluarga yang tahu kena kutukan akah berupaya untuk menghindari dengan melakukan tapa.
Tapa secara harafiah berarti "panas” Jadi, melakukan tapa adalah upaya membersihkan sesuatu yang panas dan bernoda. Jadi, kadang justru pemahaman bahwa tapa untuk mencari wangsit itu kurang tepat. Tapa mula-mula justru jalan untuk bebersih diri. Nah, kalau sudah bersih biasanya akan lebih menemukan kejernihan cara memandang. Mungkin itulah yang kemudian disebut wangsit atau petunjuk.
Dalam beberapa waktu terakhir, dalam peta politik Indonesia muthakir. Setiap kali terjadi preseden buruk terkait orang-orang yang dulu gegap gempita bersemangat menjatuhkan Ahok. Lalu satu persatu kemudian mereka mengalami nasib yang buruk. Ini terkait pledoi Ahok dalam akhir persidangannya, tepatnya 30 Januari 2017. Saat ia merasa dizalimi karena merasa kasusnya dipelintir dan dipolitisasi sedemikian rupa.
"Percayalah, sebagai penutup. Kalau anda menzalimi saya, yang Anda lawan lawan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa. Saya akan buktikan, satu persatu akan dipermalukan. Terimakasih".
Dalam konteks Islam sendiri, sudah sangat jelas bahwa doa orang yang didholimi itu berenergi besar. Kecenderungan terkabulnya sangat besar. Aneh buat saya, karena para penuntutnya justru merasa ia lah yang telah menistakan agama. Tapi, apakah si penista lalu nasibnya berubah buruk. Coba hitung saja, dua tahun setelah ia menjalani nasibnya untuk dipenjara. Ia tetap dipercaya sebagai pejabat publik. Tidak main-main, ia menduduki posisi prestisius sebagai Presiden Komisaris PT Pertamina.
Sementara itu satu persatu, yang "dikutuk" Ahok mengalami nasib yang berkebalikan. Hidupnya makin suram, bisnisnya rontok, reputasinya hancur. Sebut saja HRS, TZ, FZ, AB, dst dsnya. Memang mereka masih di kursinya masing-masing, tapi itu lebih karena mereka tidak punya rasa malu. Semakin lama mereka tetap tinggal, semakin sakit cara mereka akan mengakhirinya. Alih-alih sadar, mereka akan selalu menganggap itu pergerakan politik yang dinamis. Politik ndasmu...
Bagian terabsurd bagi saya, adalah bagaimana mungkin empat tahun lalu, tepat di tanggal 2 Desember 2016 ketika terjadi peristiwa demo besar itu. Jokowi memutuskan berani turun, keluar istana menemui para pendemo.
Di sampingnya, ia didampingi oleh Jusuf Kalla yang sesungguhnya otak dari semua peristiwa itu. Sebagai kepala negara, tentu Jokowi tahu siapa dalang dari semua peristiwa ini. Bagaimana ia tetap bertahan (dan seolah bergandengan tangan), hingga masa penghabisan periode petamanya.
Jadi kalau hari-hari ini berbicara tentang "kudeta merangkak", bukankah empat tahun lalu sudah pernah dilakukan. Dan Tuhan lebih mencintai Indonesia daripada orang-orang brengsek itu. Para maling yang suka berkedok ulama, tapi sesungguhnya penjual agama. Dalangnya masih orang yang sama, tapi dengan situasi bisnisnya yang makin rontok. Kasus hutang tak terbayarnya menggunung dimana-mana.
Hari ini, empat tahun lalu itu juga pantas kita peringati. Empat tahun berlalu, bagaimana prestasi orang-orang itu? Masih di situ-situ saja, tapi belangnya sudah terurai satu persatu. Mereka masih bertahan, dan mendaku diri masih kuat. Bahkan makin kuat. Ok, ilusi dan framing sih boleh-boleh saja. Tapi realitas itu juga pertunjukan nyata dan berbicara lain. Mereka tinggal menunggu waktu, dengan membuat blunder setiap hari.
Pertanyaannya kalau "kutuk Ahok" saja sudah berdampak sampai segitunya. Ketika ia jatuh betapa makin buruknya nasib yang dikutuknya. Gak mikir, yang jadi korban terpedihnya justru warga Jakarta yang mandeg tak punya banyak harapan baru. Lalu hari ini mau menjatuhkan Jokowi juga, dengan cara-cara yang kurang lebih sama?
Jokowi itu presiden yang terpilih melalui Pilpres jurdil, manusia baik yang langka. Dengan sejuta fitnah, dendam, dan buruk sangka yang diterimanya dengan tulus ikhlas...
Lalu kita mau dikutuk Jokowi juga?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews