Reuni 212 Mengusung Agenda Politis

Diluar dari polemik acara reuni 212 ini, publik diminta untuk cerdik menyikapi segala bentuk kegiatan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan politik.

Minggu, 10 November 2019 | 14:14 WIB
0
254
Reuni 212 Mengusung Agenda  Politis
Foto: Tempo.co

Sejumlah pihak menolak rencana Reuni 212 karena dianggap mengusung agenda politis. Hal itu mengingat tidak diundangnya Prabowo Subianto dalamyabg saat ini sudah masuk dalam jajaran Pemerintahan.

Persaudaraan Alumni (PA) 212 tentu sakit hati setelah ditinggalkan Prabowo. Mereka kemudian menggandeng Anies Baswedan dan mencoret Prabowo dari daftar tamu undangan reuni 212, sebagai bentuk balas dendam. Bukan hanya telah keluar dari tujuan awal kegiatan dilaksanakan, namun telah berganti haluan ke muatan politik yang dinilai menggiurkan. Bagi sejumlah pihak dunia politik ini merupakan lahan empuk guna mempromosikan diri di dalam pemerintahan.

Beragam asumsi kemudian bergulir, apakah kiranya panggung yang hendak didirikan oleh kelompok yang selalu mengadakan acara bertepatan dengan hari besar keagamaan. Menunjukkan eksistensi diri meski menuai kontroversi, atau menjual politik dengan mengatasnamakan kesejahteraan publik.

Seperti yang kita tahu, kelompok ini sedemikian alergi dengan pemerintahan Jokowi. Mereka layaknya kerikil-kerikil tajam yang siap menghadang langkah pemerintahan. Bukan satu dua kali, namun di banyak kasus ormas ini sengaja menggulirkan sejumlah opini guna menggulingkan kekuasaan Presiden kala itu.

Tersiarnya kabar bahwa PA 212 akan kembali menghelat reuni akbar di Monumen Nasional (Monas), makin ramai saat nama HRS (Habib Rizieq Shihab) didapuk menjadi penceramah di acara ini. Menurut sejumlah laporan, Reuni yang akan dilakukan ini disebut sebagai bentuk persaudaraan bagi para alumni aksi-aksi 212 sebelumnya.

Bukan 212 namanya jika tak menuai pro dan kontra. Rencana reuni akbar ini menelurkan beragam pendapat oleh banyak pihak. Salah satunya ialah Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang akan mempersilakan dilangsungkannya reuni pada 2 Desember mendatang.

Namun, di sisi lain, banyak pihak yang merasa sangsi terhadap aksi ini. Banyak pihak menilai, reuni yang akan dihelat malah justru akan menimbulkan kegaduhan sosial dan politik Indonesia yang kondisinya telah mulai mereda pasca Pilpres. Banyak pihak mempertanyakan perihal relevansi gerakan 212. Hal ini tercermin ketika Prabowo Subianto, mantan capres yang diusung ormas ini memilih hijrah ke kubu pemerintahan Jokowi.

Sehingga untuk mengobati kekecewaan ini ada nama lain yang diakan dipromosikan. Yakni, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, serta didapuk menjadi tokoh politik utama dalam kegiatan tersebut. Jubir PA 212, Novel Bamukmin dengan tegas bahkan mewajibkan nama ini untuk hadir pada aksi 212 mendatang.

Berawal dari kasus penistaan agama yang menimpa Mantan Gubernur DKI, Ahok pada tahun 2017 yang kemudian berbuntut pada lahirnya gerakan 212. Gerakan masif yang dimotori oleh sejumlah organisasi massa Islam tersebut akhirnya mampu menggulingkan Ahok dengan diterbitkannya putusan pengadilan Ahok sebagai terpidana.

Kelompok 212 merupakan sebuah gerakan sosial yang muncul akibat adanya collective challenge atau tantangan bersama dari pelbagai kelompok Islam. Tak hanya berhenti pada kasus Ahok, tapi meluas lagi berkenaan dengan keterancaman identitas Islam. Maka, tidak mengherankan, jika beragam narasi yang digulirkan ialah seputar narasi tentang ketidaksetaraan, penindasan terhadap Islam hingga perihal anti-pemerintah.

Kuatnya stempel politis dalam gerakan ini bukan tanpa alasan. Karena, dalam setiap aksi yang dilancarkan, gerakan ini selalu dimotori dan ditunggangi oleh beragam pihak maupun kelompok kepentingan. Gerakan ini secara jelas menyatakan dukungannya kepada Prabowo-Sandi beserta partai barisan koalisinya. Namun, kekalahan Prabowo ini tidaklah menjadi akhir perjalanan ormas ini.

Reuni bertajuk “Munajat untuk Keselamatan Negeri: Maulid Agung dan Reuni Alumni 212” yang akan dihelat tentu menimbulkan berbagai spekulasi. Salah satunya ialah adanya hasrat politik yang dinilai belum tersampaikan dari kelompok ini.

Selain itu, acara reuni 212 memiliki potensi besar dimanfaatkan oleh berbagai kelompok yang kecewa terhadap hasil pilpres serta rekonsiliasi yang tengah terjadi. Bisa jadi kegiatan ini akan menumbuhkan narasi guna "merongrong" kembali pemerintahan yang baru. Hal ini didasari pada dianutnya Ijtima Ulama IV yang mengarahkan penolakan terhadap sistem pemerintahan baru.

Di luar dari polemik acara reuni 212 ini, publik diminta untuk cerdik menyikapi segala bentuk kegiatan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan politik. Sehingga akan terhindar dari berbagai kemungkinan pemanfaatan massa sebagai bagian dari eksistensi kelompok ini.

***