Saling Tantang Wiranto-Kivlan, Baikkah bagi Pembongkaran Kejahatan HAM?

Selasa, 5 Maret 2019 | 12:24 WIB
1
1068
Saling Tantang Wiranto-Kivlan, Baikkah bagi Pembongkaran Kejahatan HAM?
Kivlan, Prabowo, Wiranto (diolah dari Tribunnews.com dan Detik.com)

Dua mantan jenderal dedengkot Orde Baru terlibat duel pernyataan. Jenderal (purn.) Wiranto, mantan Panglima ABRI di akhir era Soeharto dan kini Menkopolhukam menantang bekas anak buahnya--yang kini anak buah Prabowo--Kivlan Zen untuk bersumpah pocong. Pasalnya Kivlan menuduh Wiranto sebagai dalang  kerusuhan Mei 1998.

Kivlan menolak tantangan itu dan sebaliknya mengajak Wiranto debat di televisi. Kivlan meyampaikan tudingan bahwa Wiranto lah dan sejumlah jenderal di belakangnya yang mendalangi kerusuhan 1998 demi menggulingkan Soeharto.

_____________

Footsteps forced back on the sorrow road
TChains dragging the dust a heavy load
Bloody marks on tomorrow's road
Walking, walking, keep walking along ...
...
Footsteps joining from everywhere, 
Heading for Justice and getting there!
--Eve Meriam, "Tomorrow's Footsteps"

_____________

Kerusuhan Mei 1998 terjadi di Jakarta pada 13-15 Mei. Toko dan rumah-rumah orang Tionghoa dijarah dan dibakar. Lebih buruk lagi, para perempuan etnis Tionghoa diperkosa massal, sebagian tewas akibat perkosaan biadab itu. Sekitar 150 orang perempuan menjadi korban perkosaan selama 3 hari kelabu itu. Demikian yang berhasil dicatat Tim Relawan Kasus Mei 1998.

Ita F Nadia,  anggota Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan bercerita tentang korban remaja usia 11 tahun yang menghembuskan napas terakhir di pangkuannya. Remaja putri keturunan Tionghoa itu tewas setelah diperkosa, tubuhnya dalam kondisi mengenaskan. Ibu dan kakaknya juga diperkosa dan terlebih dahulu tewas. 

Ita menjumpai puluhan korban perkosaan ketika lembaganya, Kalyanamitra mendapat banyak laporan via telepon. Sebagian besar korban adalah kalangan miskin etnis Tionghoa. Tak cuma diperkosa, organ kelamin mereka dilukai. Sungguh biadab!

Sandyawan Sumardi, aktivis kemanusian memberi kesaksian tentang korban selamat yang mengalami luka pada perut dan vagina karena ditusuk besi penyangga gorden.

Presiden BJ Habibie mendengarkan sendiri kesaksian salah seorang kerabatnya yang berprofesi sebagai dokter.  Itu sebabnya Habibie tidak sungkan menyatakan permintaan maaf kepada korban dan seluruh rakyat Indonesia, meski penasihat militer presiden saat itu, Letjen Sintong Pandjaitan menahannya dan menyarankan agar terlebih dahulu membahas hal tersebut dalam sidang kabinet.

Tim Relawan sudah pernah melaporkan kasus ini kepada PBB dan minta dukungan komunitas internasional untuk membantu pembongkaran kasus. Pelapor khusus kekerasan perempuan PBB, Radhika Coomarswary  sudah pernah membuat laporan ke Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa Swiss, dan melakukan investigasi ke Indonesia pada November 1998.

Salah seorang korban--yang mengalami pemerkosaan 9 jam dalam taksi--didampingi Sandyawan dan Karlina Supeli pernah menyampaikan testimoni di depan komunitas internasional di Jenewa Swiss, juga di hadapan Kongres AS.

Namun bukan saja kasus kejahatan kemanusiaan itu tak terungkap, para korban, saksi, dan pekerja kemanusiaan juga terus mengalami teror bertahun-tahun lamanya sehingga sebagian harus bersembunyi di luar negeri.

Anggota tim relawan, Ita Martadinata (18 tahun) pada Oktober 1998 diperkosa dan dibunuh seminggu sebelum menyampaikan kesaksian di PBB.

Dua hari setelah Ita Martadinata dibunuh, kantor Kalyanamitra dibobol, komputernya dirusak dan hard disk dicuri. Untunglah data-data korban telah diselamatkan, disembunyikan.

Ita Nadia berulang kali diteror, diancam anaknya akan diculik.  Seorang tak dikenal pernah mendatangi sekolah anaknya, hendak menjemput. Beruntunglah kepala sekolah tegas tidak membolehkan. Ita Nadia akhirnya mengungsikan anak-anaknya ke Yogya.

Anggota tim relawan, dr. Lie Dharmawan kerab mendapat telepon ancaman sehingga akhirnya memutuskan mengungsi ke Jerman selama setahun. Sandyawan diteror dengan granat yang diletakkan di teras kantornya.

Banyak pihak berharap, pecahnya polemik antara Wiranto dan Kivlan Zen bisa jadi momentum bagi upaya pengungkapan kembali kasus ini.

Namun tampaknya harapan itu akan kembali sia-sia. Polemik ini sekadar bunga-bunga jurus dalam duel pilpres 2019 antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Kivlan Zen mengangkat kasus ini sebagai jalan menepis tudingan masyarakat terhadap Prabowo dan dirinya sebagai perwira tentara di balik kerusuhan itu.

Tudingan Kivlan kepada Wiranto tidak didasarkan data-data yang kuat, sekadar menghubung-hubungkan peristiwa. Menurut Kivlan, saat kejadian itu, Wiranto malah tidak berada di Jakarta dan menolak pengerahan pasukan TNI dari luar Jakarta untuk masuk membantu.

Sebaliknya Wiranto mengklaim sukses mencegah kondisi Jakarta  bertambah parah. Ia juga mengaku memobilisasi prajurit TNI dari Jatim ke Jakarta pada 14 Mei dan berhasil meredakan kondisi.

***

Mengingat polemik kerusuhan 1998 ini sekadar aksi saling lempar tanggungjawab antara para jenderal Orde Baru demi perbaikan citra terkait pilpres 2019, kita tidak bisa berharap banyak akan adanya upaya serius pembongkaran kasus dan penegakan hukum. Usai pilpres nanti, mereda pula polemik soal ini. Para penjahat HAM orde baru akan kembali baik-baik saja.

Mungkin kelak, ketika sisa-sisa orde baru telah sungguh-sungguh tersingkir dari kekuasaan, barulah kita boleh berharap kejahatan HAM masa silam terungkap. Ya. Semoga saja konsolidasi orba untuk merebut kembali kekuasaan akan gagal pada pemilu dan pilpres 2019 ini. Dan semoga, mereka yang meloncat ke gerbong Joko Widodo tidak akan terlalu banyak terpakai dalam masa kedua pemerintahan Jokowi.

Sumber:

  1. Kompas.com (27/02/2019) "Kivlan Zen Tantang Balik Wiranto Debat di TV soal Kerusuhan 1998"
  2. Detik.co (27/02/2019) "Sumpah Pocong dan Debat Terbuka Wiranto Vs Kivlan."
  3. BBC.com (20/05/2018) "Perkosaan Mei 1998 'tak pernah terungkap, tak pernah dituntaskan'."