Fadli Zon di Antara Puisi dan Fungsi Legislasi

Kamis, 7 Februari 2019 | 21:22 WIB
0
638
Fadli Zon di Antara Puisi dan Fungsi Legislasi
Foto : Edit by Ajinatha

Benarlah kalau dikatakan menulis itu bagian dari meluapkan kegelisahan, kegelisahan terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Kadang reaksi kegelisahan itu begitu spontan, sehingga mengalir saja saat dituliskan, tapi kalau semua kegelisahan itu dituliskan, tanpa pertimbangan akal, maka bisa saja apa yang dituliskan menjadi petaka.

Inilah yang sedang dialami Fadli Zon, sebagai seorang Anggota Dewan, yang juga merupakan Wakil Ketua DPR, aktivitasnya menulis puisi terbilang produktif. Mungkin bagi Fadli menulis puisi itu begitu mudah, semudah memaki dengan kemasan kata yang puitis dan simbolik. Kadang susah membedakan mana makian dan mana karya puisi.

Saya sendiri juga sering menulis puisi untuk anggota Dewan, ya seperti itulah luapan kegelisahan yang saya tuangkan, kadang saya sendiri juga bingung, apakah yang saya tuliskan tersebut sebuah puisi, atau hanya sekedar luapan kekecewaan terhadap kinerja anggota Dewan.

Gimana tidak kecewa kalau anggota dewannya seperti Fadli Zon, yang produktivitasnya setiap hari cuma meluapkan kebenciannya sebagai oposisi, disaat produktivitas DPR dituntut lebih produktif dalam menyelesaikan produk Undang-undang, dia malah cuma sibuk menyerang lawan politiknya.

Memang menulis puisi itu sangat mudah, kalau isinya cuma meluapkan perasaan benci, karena hanya sekedar menuliskan, mengemasnya dengan bahasa satire dan simbolik, tapi berpuisi juga perlu rasa empati, dan rasional, bukan cuma penuh muatan emosional.

Beberapa puisi Fadli Zon yang dituliskannya beberapa bulan terakhir ini, hampir rerata berisi cemooh terhadap penguasa sebagai lawan politiknya. Begitu juga puisinya 'Doa Yang Ditukar' yang menjadi petaka bagi dirinya. Puisi yang sarat kebencian tersebut, ditulis penuh emosional, sehingga menghilangkan rasional ya sebagai anggota Dewan.

Puisi tersebut terlihat sangat mudah dituliskannya, sehingga tidak lagi menimbang siapa yang akan kena serang. Maksudnya memang ingin menyerang penguasa, yang dianggapnya sebagai kelompok yang bisa sesuka hati bisa mengubah sebuah doa. Padahal, sebuah doa itu tidak akan berubah substansinya, akan sampai kepada penguasa langit, seperti apa yang ada dihati pendoanya.

Tidak perlu dipersoalkan untuk siapa doa tersebut disampaikan, tidak perlu juga memaki penuh kebencian hanya karena doa yang ditukar, karena doa tetap tersampaikan sesuai dengan niat, bukan apa yang terucap.

Tanpa Fadli Zon safari, apa yang disampaikannya lewat puisi tersebut, sudah mencederai rasa hormat terhadap seorang Ulama yang dihormati. Fadli boleh saja berargumentasi tidak untuk menghina Mbah Moen, tapi secara substansial, apa yang dituliskannya menyiratkan penghinaan itu.

Menulis puisi itu memang mudah, tapi mempertanggungjawabkan kata-kata yang sudah dituliskan tidaklah mudah. Jangan mudah khilaf karena posisi, karena posisi cenderung mendorong seseorang menjadi Jumawa, karena posisi pun bisa menjadi petaka.

***