Ramai Makaler Doa di Tengah Politisasi Ulama

Sabtu, 9 Februari 2019 | 08:41 WIB
0
379
Ramai Makaler Doa di Tengah Politisasi Ulama
Ilustrasi doa (Foto: Radio Suara Wajar)

Sudah menjadi hal lumrah, ketika perseteruan para politisi hanya berakhir di ruang media sosial tanpa klarifikasi tatap muka sambil ngopi. Dalam banyak hal, medsos semakin menjadi ruang bebas publik untuk menyuarakan banyak hal, termasuk yang paling dianggap privasi sekalipun. 

Medsos tentu saja menjadi semacam makelar informasi bahkan mungkin korespondensi yang melibatkan banyak pihak. Untuk meminta suatu klarifikasi, cukup hanya "mencuit" tanpa harus bertanya apakah benar yang membalas adalah sang pemilik akun. 

Korespondensi pada akhirnya diwakili oleh akun-akun bukan oleh pribadi-pribadi sebenarnya. Diskusipun cukup diselesaikan dengan cara saling cuit tanpa menemukan suatu kesimpulan utuh yang melegakan banyak pihak.

Suatu kejadian yang sangat mengharukan saya kira, ketika seorang ulama diseret-seret untuk masuk kedalam gelanggang politik praktis. Perihal yang menimpa Kiai Maimoen Zubair (Mbah Moen) seolah menegaskan bentuk paling nyata dari politisasi ulama melalui titipan-titipan doa secara khusus dalam kemenangan salah satu kontestan politik. 

Sekalipun soal politisasi ulama ini bukan hal baru, namun kejadian yang menimpa ulama sepuh kharismatis itu bisa menjadi preseden buruk kedepan, dimana mereka "dipaksa" untuk berdoa dengan membacakan nada-nada tertentu dalam konteks dukungan politik. 

Sekalipun memang ada tradisi yang melegalkan "makelar Tuhan" yang dalam konteks ajaran Islam disebut sebagai "washilah", namun secara umum washilah yang dimaksud hanya untuk kebaikan bukan dalam hal kekuasaan politik.

Dalam tradisi Islam Indonesia misalnya, banyak orang-orang yang berwashilah kepada para kiai, orang-orang saleh, bahkan juga para tokoh yang sudah meninggal agar dengan segala kebajikan yang telah mereka lakukan dan memberi manfaat kepada banyak orang, kita dapat berdoa melalui washilah kebaikan yang mereka miliki. 

Tradisi ini memang kerapkali menimbulkan kritik, karena seolah-olah mereka memanfaatkan orang lain untuk berdoa, padahal doa sesungguhnya adalah permintaan seseorang secara personal kepada Tuhannya secara langsung, tanpa perantara. 

Di sisi lain, washilah menjadi keniscayaan dalam perantara untuk memohon kepada Tuhan, karena yang meminta perantara biasanya tidak lebih baik dari mereka yang dijadikan perantara. 

Maka, karena keyakinan bahwa mereka yang menjadi perantara kedekatannya kepada Tuhan lebih baik, tradisi washilah ini menjadi ramai dan dipertahankan menjadi bagian dari nilai-nilai agama Islam.

Saya tidak akan mengomentari soal perdebatan Fadly Zon dan Romahurmuziy yang diperkuat juga oleh rasa penasaran Lukman Saifuddin dan Alissa Wahid. 

Perdebatan di medsos tentang puisi Fadly tentang "Makelar Doa" tak saja menggelitik pihak lawan politik, namun sekaligus mempertontonkan betapa ulama kharismatis sekelas Mbah Moen dipaksa masuk kumparan kekuasaan. 

Ulama yang seharusnya dihormati, diikuti, dan disayangi seolah di "bon" sana-sini demi keuntungan-keuntungan kepolitikan. Alangkah lebih bijak jika setiap kandidat politik cukup datang meminta restu untuk ikut ajang kontestasi tanpa harus menyetir ulama untuk berdoa dengan cara mereka sendiri. 

Doa para ulama tentu saja "maqbul" dan di-ijabah, selama yang keluar dari mulutnya sesuai dengan hati nuraninya dan keyakinannya yang begitu dalam kepada Tuhan sang Maha Pemberi Keputusan.

Mungkin ada benarnya, bahwa kritik Fadly Zon soal makelar doa yang ditujukan kepada orang-orang yang men-drive Mbah Moen untuk membacakan doa sesuai selera mereka. 

Pada konteks ini, ada upaya politisasi kepada ulama, bukan menempatkan para ulama sebagai pemberi "peran" washilah karena ketaatannya dan kedekatan mereka dalam tradisi keagamaan kepada Tuhan. 

Saya justru melihat, banyak sekali upaya politisasi ulama seperti ini yang tidak hanya terjadi pada sosok Mbah Maimoen, tetapi terjadi pada banyak ulama-ulama lainnya yang secara sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan dukungan politik.

Bagi saya, ini sangat mengharukan sekaligus menggelikan, ketika para ulama kharismatis hanya diberikan porsi untuk berdoa, bahkan seluruh bait-bait yang harus dibacakan telah diatur sebelumnya oleh mereka yang memintanya berdoa. 

Alangkah rendah kedudukan para ulama jika kemudian hanya sekadar dimanfaatkan ketika jelang kontestasi politik, lalu setelah itu tak ada yang tersisa dari mereka kecuali sebatas pendoa bagi kemenangan setiap kandidat politik. 

Para ulama adalah panutan umat, segala prilakunya yang baik, ucapannya yang penuh hikmah, dan petuah-petuahnya penuh dengan kebajikan semestinya diikuti dan ditiru. 

Keilmuan mereka yang luas tentu saja dapat menjadi amunisi penting untuk mengisi berbagai aturan-aturan yang lebih mengarah kepada semangat keadilan umat, bukan sebatas kepentingan kelompok atau golongan tertentu.

Ulah para politisi yang berselingkuh dengan kekuasaan tentu saja mencerabut akar kebajikan para ulama, karena mereka hanya memanfaatkannya dalam momentum-momentum pergantian kekuasaan, tak lebih. 

Jadi, jika dikatakan bahwa Pilpres 2019 kali dipenuhi oleh beragam konten politisasi agama ternyata benar adanya, dimana kedua kubu yang berkompetisi jelas memanfaatkan celah keagamaan untuk diisinya dengan tradisi politik kekuasaan. 

Saya kira, Mbah Moen dengan ketulusan dan keikhlasannya tentu saja berdoa untuk seluruh kemenangan bangsa Indonesia, bukan untuk kemenangan salah satu diantara kandidat politik. 

Kemenangan seluruh bangsa Indonesia berarti, bangsa ini tak akan pernah menjadi pecundang yang senang dimanfaatkan, karena mereka senang memberi manfaat kepada bangsa lain.

Kesan Pilpres 2019 sebagai kompetisi politik yang banyak menggunakan agama sebagai alat politik, seolah sulit dihindarkan. Tak hanya agama yang dipolitisir untuk kepentingan-kepentingan sesaat, termasuk para pemuka agamanya yang terus menerus dilibatkan dalam kancah pertarungan politik yang penuh kedengkian dan kebencian. 

Tak ada lagi kesan ulama yang "netral" dalam kontestasi politik, karena kenyataan mereka yang terus diklaim oleh para politisi dan mereka yang berkompetisi  sebagai ulama-ulama yang mendukung mereka. 

Kenyataan ini semakin jelas membawa preseden buruk bagi kedudukan para ulama di mata masyarakat yang pada akhirnya mereka sekadar dimanfaatkan untuk kepentingan perolehan suara yang disandingkan bersama mereka dalam suatu perkumpulan, dimana para ulama diminta berdoa sesuai keinginan mereka.  

***