Masjid tentu harus berfungsi sebagai penyampai pesan kedamaian dan pemersatu bangsa. Selain sebagai tempat beribadah dan tempat menyampaikan syiar islam, tanpa beralih fungsi menjadi ranah kampanye suatu golongan untuk mendapatkan pundi – pundi suara.
Jika politik membicarakan tentang tujuan baik negara, tentu hal tersebut bagus, karena fungsi masjid itu dalam rangka mengembangkan negara. Namun jika yang terjadi adalah mempolitisasi masjid untuk kepentingan kelompoknya atau parpolnya tentu hal tersebut akan berdampak pada perpecahan umat.
Salah satu indikasi adanya gerakan politisasi masjid adalah isi ceramah atau khutbah yang mengarahkan jamaah pada kepentingan tertentu. Jika hal ini terjadi maka dimungkinkan persatuan dari sesama umat akan menemui retaknya.
Politisasi masjid memang sudah diterapkan pada pesta demokrasi sebelumnya oleh para politikus. Hal ini diterapkan agar kelompoknya dapat mendulang suara dari para jamaah. Sebagian masyarakat juga mengeluhkan tentang kampanye hitam yang dibalut dengan nuansa dakwah syariat islam. Hal ini tentu akan mendapat penolakan oleh masyarakat apabila tempat ibadah seperti masjid disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Pada tahun 2017, aksi walk out atau meninggalkan masjid ketika materi khutbah mengandung unsur politis sempat booming. Tatkala pada saat itu masyarakat merasa tidak nyaman ketika khatib yang sepatutnya mengajarkan perihal keagamaan, dinodai oleh persoalan politik. Berkat hal tersebut, jutaan orang mendeklarasikan program anti politisasi masjid. Aksi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya.
Jika kita menilik pada sejarahnya, aktivitas di masjid tidak terbatas hanya untuk beribadah saja. Pada Zamah Rasulullah SAW sampai sekarang, masjid masih memegang problema keumatan dari berbagai dimensi. Peradaban muslim juga memiliki ketergantungan pada tempat peribadatan tersebut, dimana masjid menjadi sentral diskusi pemerintahan, strategi perang, musyawarah dan juga pendidikan.
Nabi Muhammad SAW menjadikan masjid sebagai pusat kontrol pada masa kekhalifahannya. Berbagai macam musyawarah mufakat perihal keumatan dan kebangsaan dihasilkan dari perkumpulan jamaah yang ada di masjid. Karena begitu terbukanya, sampai – sampai masyarakat turut berperan dalam mengambil keputusan pemerintah.
Politisasi Masjid bukan berarti menyuarakan agar umat muslim menjauhi masjid, namun politisasi masjid harus ditolak jika dalam materi ceramah ataupun khutbah berisi materi tentang ujaran kebancian, atau ajakan untuk menjatuhkan partai politik yang lain.
Menjelang pesta demokrasi pada April mendatang, kita sebagai masyarakat tentu harus cerdas dalam membedakan antara politisasi untuk kepentingan seluruh umat atau politisasi untuk kepentingan golongannya sendiri.
Hal yang juga penting adalah upaya untuk membangun literasi politik masyarakat. Karena dengan literasi politik yang mumpuni, maka perlahan akan menggeser pembicaraan mengenai pro dan anti kubu – kubu, menjadi pembicaraan yang membahas mengenai kebijakan publik.
Apabila masyarakat memiliki literasi politik yang baik, maka dengan sendirinya upaya fitnah dan black campaign akan sirna dari mimbar masjid. Pada akhirnya, masyarakat akan terfokus pada isu substansial mengenai apa yang bisa mereka peroleh sebagai warga negara.
Dalam hal ini, elite politiklah yang sering kali mengaduk – aduk emosi rakyat pemilih melalui politisasi agama. Regulasi dengan definisi yang tegas tentang politisasi agama menjadi penting untuk membuat jera elite yang tunamoral.
Politisasi SARA utamaya politisasi agama juga dapat membuat masyarakat teralihkan dari yang seharusnya melihat kualitas serta program kandidat menjadi sekadar menengok identitas – identitas primordial yang melekat pada diri sang kandidat.
Padahal tidak ada jaminan apabila kandidat penganut agama tertentu atau berasal dari etnik tertentu pasti merupakan pemimpin hebat dan kredibel.
MUI juga menilai selain melanggar peraturan dari KPU, hal tersebut juga menodai agama karena terjadi politisasi agama. Semestinya pengajaran agama tidak dinodai dengan pengarahan kepada umat untuk memilih salah satu nama atau nomor pasangan calon presiden.
Pihaknya juga pernah menemukan kasus serupa di kawasan Bandung Raya, politisasi tempat ibadah terjadi menjelang Pilgub 2018, yakni ketika pengkhotbah di sebuah masjid mengarahkan dengan jelas kepada para jamaahnya untuk memilih salah satu pasanga calon gubernur dan wakil gubernur dengan mengarahkan pasangan nomor mana yang harus dipilih.
Masjid – masjid tentu bisa kehilangan kehangatannya apabila intrik politik telah masuk kedalam mimbar. Kesyahduan masjid akan hilang jika pengurusnya diisi oleh para broker kekuasaan. Baik disengajan maupun karena ketidaktahuan.
Berbagai bentuk kampanye di masjid seperti pemasangan spanduk politik atau kampanye berbalut khotbah, maka hal tersebut adalah bentuk kudeta terhadap rumah Allah.
Masjid akan kehilangan keteduhannya jika isi khotbah dicampuri dengan penggiringan opini publik dan ujaran kebencian. Jamaah pulang dari masjid membawa hati yang mengeras. Bathinnya menjadi kosong, hanya dahinya yang gosong.
Entah bagaimana caranya masjid harus kembali menjadi tempat yang sakral dam steril dari berbagai kepentingan politik praktis tertentu. Hal ini dikarenakan jamaah yang ada di dalam masjid berasal dari beragam kelompok umat islam, bukan melulu kaum partisan dan pendukung parpol ataupun paslon tertentu.
Mengembalikan masjid menjadi tempat ibadah yang murni adalah pekerjaan besar umat Islam saat ini. Biarkan politisi bertarung di lapangannya. Jangan biarkan masjid menjadi ranah pertarungan politik. Menolak politisasi masjid adalah langkah konkrit untuk menyelamatkan masjid dari oknum pendulang suara.
Segala bentuk kampanye politik di rumah ibadah seperti masjid merupakan hal yang bertentangan dengan regulasi yang telah diputuskan oleh KPU yang melarang kampanye di tempat ibadah, sarana pendidikan dan fasilitas pemerintahan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews