Melawan Megawati, Jokowi Terpapar Radikal?

Senin, 19 Agustus 2019 | 12:40 WIB
0
451
Melawan Megawati, Jokowi Terpapar Radikal?
Megawati Soekarnoputri, Joko Widodo, dan Surya Paloh. (Foto: RmolBanten.com)

Presiden Joko Widodo terpapar paham radikal? Jika mengacu pada perbedaan pendapat dan berseberangan itu dianggap radikal, maka Jokowi bisa dikategorikan terpapar radikal karena berbeda sikap dengan PDIP (baca: Megawati Soekarnoputri).   

Rencana amandemen terbatas UUD 1945 yang sebelumnya disepakati DPR, tampaknya bakal ditolak Presiden Joko Widodo. Sikap Presiden Jokowi ini jelas berseberangan dengan PDIP, parpol pengusung utama saat Pilpres 2014 dan 2019.

Dia mengisyaratkan menolak amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menghidupkan kembali, menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN.

“Saya ini kan produk pemilihan langsung,” ujarnya saat makan siang bersama para pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2019, seperti dilansir oleh Tempo.co, Rabu (14/8/2019).

Jokowi menyatakan, GBHN juga tidak diperlukan lagi. Alasannya, zaman bergerak dengan cepat dan dinamis sehingga harus direspons dengan cepat. Menurutnya, GBHN tak memiliki kemampuan untuk menjawab perkembangan zaman tersebut.

Jokowi kemudian menuturkan, arah pembangunan sebenarnya sudah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Nasional (RPJMN dan RPJPN).MPR merancang amendemen kelima UUD 1945 sejak tahun lalu.

Rencana perubahan konstitusi didasari keinginan sejumlah parpol untuk menghadirkan kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mereka berpendapat GBHN penting untuk menyelaraskan visi dan misi pembangunan.

Mayoritas partai di parlemen dikabarkan telah menyepakati amendemen terbatas ini. Masa jabatan parlemen periode 2014-2019 yang sudah hampir habis membuat pembahasan tersebut dilimpahkan kepada anggota MPR periode 2019-2024.

Dalam rekomendasi hasil Kongres V PDIP di Denpasar, partai yang dipimpin Megawati itu juga kembali menegaskan perlunya amandemen UUD 1945 untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional dengan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, amendemen terbatas merupakan tanggung jawab partainya memberikan arah dan kepastian pembangunan nasional. Menurutnya, amendemen tersebut justru akan menjadi warisan kepemimpinan Jokowi yang visioner.

“Pak Jokowi itu kader PDIP, apa yang telah dilakukan presiden justru akan menjadi dasar bagi rancangan haluan negara tersebut,” kata Hasto lewat keterangan tertulis, kemarin. Hasto juga menjamin amendemen tersebut tak akan melemahkan sistem presidensial.

Ketum DPP Partai NasDem Surya Paloh menilai, wacana amandemen terbatas UUD 1945 perlu kajian lebih lanjut. Ia menyatakan, partainya di parlemen akan melihat seberapa jauh urgensi dari wacana amendemen tersebut.

“Saya pikir dalam pengkajian, kalau tidak menutup kemungkinan NasDem lihat mana jauh lebih berarti,” ungkap Surya Paloh, seperti dilansir Tribunnews.com, Kamis (15/8/2019).

“Kita ikut segera lakukan amendemen UUD, kita kembali ke UUD 1945 seutuhnya, atau terima model dan sistem demokrasi yang seperti ini dengan segala konsekuensi?” lanjut Surya Paloh.

Satu diantara wacana amandemen terbatas adalah menghidupkan kembali GBHN. Ia menilai jika amandemen itu membuat negara lebih baik, dia akan mendukung hal itu. Sebaliknya, jika tidak baik, menurutnya, tak perlu ada yang diubah.

“Jika kita anggap ini sudah paling bagus, semakin mendekati cita-cita kemerdekaan, ngapain diubah? Tapi kalau ancam negara kesatuan, kita ini hanya berikan kebebasan berserikat yang dipaparkan dengan kelompok radikalisme, sekali lagi radikalisme, dan garis keras, perlu kita kaji,” ucapnya.

Sebelumnya, MPR masa kepemimpinan Zulkifli Hasan (2014-2019) akan mengeluarkan rekomendasi untuk mengamandemen terbatas UUD 1945. Khususnya, pasal yang mengatur eksistensi dan kedudukan MPR.

Yang intinya agar MPR diberikan kembali wewenang untuk menetapkan GBHN atau pembangunan nasional semesta berencana. Rekomendasi tersebut nantinya akan diberikan kepada MPR periode selanjutnya, 2019-2024.

“Kita sudah sepakat perlunya amandemen terbatas UUD 1945. Jadi, karyanya MPR sekarang pokok-pokok pikiran perlunya amandemen terbatas, ada bukunya, ada karyanya,” katanya, Rabu (24/7/2019).

Selain amandemen soal GBHN, ternyata Presiden Jokowi juga menyatakan tidak setuju atas  wacana agar pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan lagi sebagai kewenangan MPR RI, bukan dipilih langsung oleh rakyat.

Wacana itu sedang membahana seiring adanya usulan UUD 1945 diamandemen agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, dan pengembalian pemberlakuan GBHN. Kata Jokowi, sistem pilpres secara langsung yang telah diterapkan sejak 2004 sudah tepat.

“Saya ini terpilih jadi presiden melalui sistem pemilu langsung, jadi kenapa harus kembali ke sistem yang lama,” tukas Jokowi. Menurutnya, sistem pilpres langsung seperti kekinian sudah tepat, tak lagi perlu diubah, apalagi dikembalikan pada mekanisme perwakilan.

Ia justru mengkhawatirkan, kalau sistem pilpres kembali memakai mekanisme keterwakilan via voting anggota MPR, bisa menimbulkan reaksi beragam dari berbagai kalangan sehingga membuat kegaduhan politik.

Kapitalis Radikal

Surya Paloh menyebutkan bahwa sistem bernegara Indonesia menganut sistem kapitalis yang liberal. Ia mengatakan itu ketika memberikan kuliah umum di Kampus UI, Jakarta Pusat, yang bertajuk “Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan”.

“Ketika kita berkompetisi (dalam pilpres dan pilkada), wani piro. Saya enggak tahu lembaga pengkajian UI ini sudah mengkaji wani piro itu saya enggak tahu, praktiknya yang saya tahu money is power, bukan akhlak, bukan kepribadian, bukan attitude, bukan ilmu pengetahuan juga. Above all, money is power,” kata Surya Paloh, Rabu (14/8/2019).

Artinya, lanjut dia, sebenarnya Indonesia malu-malu kucing untuk mendeklarasikan sebagai negara kapitalis yang liberal. “Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis, yang liberal, itulah Indonesia hari ini,” jelas Surya Paloh.

Tokoh nasional ini pun menyayangkan sistem politik yang cenderung kapitalis dan liberal di Indonesia, di mana tidak mendapat perhatian para akademisi. Padahal, realitas di Indonesia saat ini bertentangan dengan Pancasila.

“Tidak ada pengamat, lembaga penelitian dan lembaga ilmiah tidak memperhatikan. You tahu enggak bangsa kita ini adalah bangsa yang kapitalis hari ini. You tahu enggak bangsa kita ini bangsa yang sangat liberal hari ini,” katanya.

“Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila. Tanpa kita sadari juga, kalau ini memang kita masuk dalam tahapan apa yang dikategorikan negara kapitalis,” papar Surya Paloh, seperti dilansir Republika.co.id,  Rabu (1/8/2019).

Menurut dia, saat ini Indonesia terlalu bersahabat dengan pragmatisme transaksional. Kita bertikai satu sama lain. Kita dekat dengan materialistik, kita bersahabat dengan pragmatisme transaksional, kita pakai jubah nilai-nilai religi.

“Tapi kita sebenarnya penuh hipokrisi (munafik),” ujar Surya Paloh. Ia juga mempertanyakan apakah masyarakat Indonesia mampu mempertahankan NKRI ini karena sistem yang tumbuh dan berkembang adalah non-Pancasila.

“Ada ideologi baru yang ditawarkan, entah apa bentuknya, saya minta penelitian dari UI,” pinta Surya Paloh tanpa menyebutkan ideologi yang dimaksud. Namun, dari narasi yang sering diucapkan pejabat, biasanya khilafah.  

Menurut pengamat politik Dedi Kurnia Syah, penyataan Surya Paloh tentang Indonesia yang sekarang menganut sistem negara kapitalis yang liberal bukan lagi bersandar pada ideologi Pancasila. Bagian dari motif politik NasDem untuk tidak didepak dari koalisi.

Jadi, pernyataan Surya Paloh ini memiliki maksud terselubung untuk menyerang pemerintah. “Hemat saya, statement SP secara konteks bisa saja benar, dan ini adalah sikap kritis politisi. Meskipun di belakang itu, ada semacam motif politik untuk menyerang pemerintah,” ujarnya.

“Termasuk serangan terhadap PDIP sebagai mitra koalisi yang juga menaungi Presiden,” ujar Dedi Kurnia di Jakarta, Kamis (15/8/2019). Menurutnya, ada dua alasan dimana Surya Paloh yang secara terang-terangan berani mengeluarkan statement tersebut.

“SP bicara dalam kapasitas politisi, dia memahami antara realitas dan konsep yang hanya dipahami di atas kertas,” ujarnya. Kedua, relasi Surya Paloh tengah di ambang keretakan antara Presiden Jowi dengan Nasdem itu sendiri. Terlebih, hingga saat ini baik Surya Paloh maupun Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri pamer kekuatan di internal koalisi.

“Secara politik menjadi penanda jika hubungan SP dan Presiden dalam kondisi tidak baik, termasuk juga relasinya dengan mitra koalisi secara khusus PDIP,” tegas Dedi Kurnia, seperti dilansir PolitikToday.com, Kamis (15/8/2019).

Keditakharmonisan Surya Paloh (NasDem) dengan Megawati (PDIP) jelas akan berpengaruh pada posisi sebagai Presiden Terpilih pada Pilpres 2019. Apalagi, terkait dengan amandemen UUD 1945, Jokowi “berseberangan” dengan PDIP.

Jika Jokowi tidak hati-hati, bukan tidak mungkin Megawati akan memobilisasi kekuatannya bersama parpol sevisi di DPR untuk “menghadang” Jokowi di MPR.

Lho, koq bisa? Politik itu dinamis, Bro! Bisa saja petanya berubah setiap saat!    

***