Pemilihan Umum atau kita biasa memendekkannya dengan sebutan Pemilu adalah salah satu cara untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdemokrasi.
Sebuah negara bisa disebut menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, apabila di negara tersebut adanya jaminan dalam kebebasan berpikir dan berpendapat. Dan, dari semua itu, salah satunya diwujudkan dengan adanya pemilu.
Namun, apa yang kita alami selama Pemerintahan Orde Baru (1967-1998), sepertinya pemilu hanya dijadikan sebagai alat melegitimasi Pemerintahan yang berkuasa.
Tak ada kesimbangan dalam kekuatan politik. Bahkan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ketika itu masih bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang terdiri dari 3 angkatan dan Polri bersama Pegawai Negeri Sipil (PNS) berada dalam satu kekuatan, yaitu Golongan Karya yang tak lain sebagai kendaraan politik Penguasa Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Ketika itu, jika dipandang dari luar, Indonesia memang dianggap sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, ketika kita sendiri melihatnya dari dalam, ternyata kita bukanlah negara demokrasi.
Pemilu Pasca-Reformasi
Rakyat dan bangsa Indonesia baru benar-benr mulai merasakan arti sebuah demokasi ketika diselenggarakannya pemilu pertama setelah reformasi, tepatnya 7 Juni 1999.
Entahlah, ada makna apa pemilu pasca-Reformasi itu diselenggarakan di tanggal 7 Juni?
Penulis melihatnya, tanggal 7 Juni ini begitu istimewa, mengingat tanggal 6 Juni dan tanggal 8 Juni merupakan tanggal yang istimewa, yakni 6 Juni sebagai hari kelahiran Presiden Pertama RI Sukarno, sedangkan tanggal 8 Juni adalah tanggal kelahiran Presiden Kedua RI Soeharto.
Apa pun alasanya, yang paling penting adalah bahwa alam demokrasi di Tanah Air ini sudah mulai tubuh, dan kita sendiri yang akan mengembangkan dan menyuburkannya di masa mendatang.
Bayangkan saja, ketika keran demokrasi itu dibuka lebar-lebar, tak mengherankan jika ada 48 partai politik yang mengikuti pemilu di tahun 1999, sedangkan sebelumnya Pemilu hanya diikuti 2 partai dan satu Golkar.
Dari setiap pemilu ke pemilu berikutnya, jargon pemilu damai akan terus menjadi jargon yang terus disuarakan.
Alasannya, Pemilu pasca-Reformasi ini harus dijaga agar tetap menjadi pemilu yang damai. Kualitasnya akan terus ditingkatkan, dan itulah yang membedakannya dengan pemilu di masa Orde Baru.
Tak perlu ada lagi kecurigaan terhadap penyelenggara pemilu, yang saat ini dipegang Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, dengan fungsionaris yang juga dipilih secara independen. Begitu pula, ada pihak-pihak yang mengawasipelaksanaannya, yang dipilih dan dingakat juga secara independen.
Hal ini jelas berbeda ketika pemilu diadakan di masa orba, dimana penyelenggara pemilu adalah Kementerian Dalam Negeri, yang tak lain berada di bawah penguasa Orde Baru sendiri.
Pemilu damai adalah sebuah harapan untuk hidupnya sebuah demokrasi. Pemilu damai adalah upaya agar kita tak lagi kembali ke masa lalu, dimana demokrasi hanya sebuah slogan belaka.
Pemilu damai adalah upaya untuk menjaga apa yang telah dilakukan para pejuang reformasi agar bisa terus berjalan dalam koridornya yang benar, dan tidak justru kembali ke masa-masa yang otoritarian, seperti yang terjadi pada pemerintahan di era Soeharto, yang menurut beberapa aktivis, sangat kejam sehingga bangsa Indonesia jangan pernah kembali ke masa tersebut.
"Otoriter itu kejam, jangan kita kembali ke masa-masa itu. Ini pesan saya di usia lanjut, tolong pertahankan demokrasi, konsolidasikan demokrasi, canangkan dengan baik, jangan kebelinger," kata Jimmy Siahaan, aktivis 77 dan 78, dalam diskusi bertema "Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa" di Jakarta, Rabu (2/5/2018).
Reformasi sudah berjalan hingga 20 tahun. harus diakui, bahwa cita-cita reformasi belum selesai, dan masih harus terus diperjuangkan.
Tantangan yang kita hadapi pun terus berkembang, mulai dari intoleransi, radikalisme, dan juga terorisme. Semua itu harus dihadapi secara bersama-sama. Kalau kita kalah, maka sia-sia sudah reformasi yang digulirkan para mahasiswa 20 tahun lalu.
Hal senada juga dikatakan aktivis 98 Eli Salomo Sinaga dalam Deklarasi Pemilu Damai yang diselenggarakan PepNews bahwa di negeri ini, tak perlu lagi ada ruang untuk intoleransi, radikalisme, apalagi terorisme.
Mengapa? Karena segala perbedaan dan caranya sudah memiliki wadahnya, yaitu melalui proses pemilu. Dalam pelaksanaan pemilu hingga terpilihnya pemenang pemilu, ada kewajiban semua warga negara, baik yang akan dipilih maupun yang akan memilih untuk sama-sama menjalankan proses kontestasi tersebut dalam semangat persatuan nasional, dan bukan justru menyuburkan perpecahan nasional.
Oleh karena itu, tak ada alasan lain, bahwa pemilu damai merupakan tugas kita semua untuk menyebarkannya, karena itulah upaya kita untuk tetap menjaga kokohnya NKRI.
Salam dan terima kasih!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews