Perlukah Pendukung Jokowi Mencemasi Survei Polmark?

Kamis, 21 Maret 2019 | 07:31 WIB
0
433
Perlukah Pendukung Jokowi Mencemasi Survei Polmark?
Pollmark (Foto: Riauonline)
 
Lembaga survei dan konsultan politik PolMark Indonesia baru saja merilis hasil surveinya. Dalam survei tersebut, diperoleh hasil, elektabilitas pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebesar 40,4 persen dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 25,8 persen.

Hasil survei ini ditanggapi berbeda oleh kubu tim sukses Jokowi-Ma'ruf atau Tim Kampanye Nasional (TKN) dan kubu Prabowo-Sandiaga atau Badan Pemenangan Nasional (BPN).

Pihak TKN  menyatakan hasil survei PolMark adalah cambuk bagi kubunya untuk terus bekerja. Meski survei demi survei berbagai lembaga terus menunjukkan keunggulan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, TKN akan teruk bekerja untuk memastikan kemenangan itu pada Pilpres April 2019 mendatang.

Namun ada pula kubu TKN yang menanggapi negatif hasil survei Polmark Indonesia. Saya--akan saya jelaskan kemudian--juga melihat survei ini agak sumir.

 

Abdul Kadir Karding [Merdeka.com]

Seperti biasa, hal yang tidak disukai kubu TKN akan disukai BPN. Demikian pula sebaliknya. Begitu pula dengan survei ini. Kubu BPN memandang survei PolMark membuktikan masih adanya harapan bagi Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Disampaikan dalam kalimat khas BPN, selisih elektabilitas Jokowi-Maruf dengan Prabowo-Sandiaga yang hanya 14 persen dan jumlah undecided voteryang mencapai lebih dari 33 Persen merupakan tanda-tanda kekalahan Jokowi.

sodik-mudjahid-detik-com-5c8f86fb0b531c322209b4c2.png

Memang, jika mengacu kepada hasil survei PolMark Indonesia, petahana dalam posisi terancam selama elektabiltasnya di bawah 50 persen. Sudah jadi pakem bahwa mayoritas undecided voters akan menjatuhkan pilihannya kepada calon penantang di saat hari H.

Ini adalah psikologi umum kelompok yang merasa diri lemah. Mereka akan menyembunyikan pilihannya sebab merasa minoritas.

Namun apakah pilpres April 2019 nanti akan berjalan menurut ramalan survei PolMark? Patutkan pendukung Jokowi mencemaskan hal ini? Mari kita periksa dulu.

Yang pertama kita perlu membandingkan hasil survei Polmark dengan survei lembaga-lembaga bonafid lain, terutama survei-survei mutakhir, yaitu yang dilakukan sepanjang 2019.  Selain Polmark, ada 3 lembaga survei bonafid lain yang telah mengumumkan hasil survei terbarunya.

Cyrus Network melakukan survei pada pertengahan Januari 2019. Survei lembaga ini menghasilkan kesimpulan, elektabilitas Jokowi-Maruf sebesar 57,5% sementara lawannya 37,2%. Populi menyelenggarakan survei pada akhir Januari 2019. Hasilnya, elektabilitas petahana 54,1 persen, sementara penantang 30,9 persen. Sementara  survei LSI Denny JA pada Februari memyimpulkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dipilih 58,7 persen dan pasangan Prabowo-Sandiaga 30,9 persen.

Jika dilihat hasil survei 3 bulan berturut-turut itu, pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin selalu di atas 50 persen dan undecided voters(kita masukkan saja golput dan suara tak sah ke dalamnya) adalah antara 7 hingga 14 persen.

Pertanyaan kita, mungkinkah hanya dalam waktu sebulan tiba-tiba jumlah undecided voters meningkat 3 kali lipat menjadi 33,8 persen?

Rasa-rasanya tidak mungkin.

Tetapi baiklah. Katakanlah pada opsi pertama ini kita percaya saja pada hasil survei PolMark. Maka adakah peristiwa politik luar biasa yang menyebabkan jumlah undecided voters meningkat?

Ada!

Bisa saja pemeriksaan  Rocky Gerung, penangkapan Robertus Robert, dan rencana pemerintahan Joko Widodo mengakomodasi perwira militer aktif ke dalam jabatan sipil pemerintahan menjadi penyebab larinya pemilih Joko Widodo.

Sebagaimana sering saya tulis, terdapat bagian yang cukup besar dalam segmen pemilih Joko Widodo yang melandasi preferensi politiknya pada nilai-nilai demokrasi. Tiga peristiwa di atas bisa saja jadi penyebab mereka akhirnya menjadi undecided voters.

Tetapi jika benar itu terjadi, belum tentu hal tersebut menguntungkan Prabowo Subianto. Jika peningkatan jumlah undecided voters ini gara-gara sentimen demokratik, maka mereka akan memilih menjadi golput, bukan pindah ke kubu Prabowo Subianto. Itu berarti pertambahan jumlah undecided voters tidak mengubah imbangan kekuatan pemilih.

Namun dibandingkan cara menilai yang pertama ini, saya cenderung meragukan hasil survei Polmark Indonesia. Ada sejumlah alasan untuk itu.

Pertama, survei Polmark dilaksanakan berdasarkan kerja sama dengan Partai Amanat Nasional. Artinya patut diduga survei ini dilaksanakan semi-in-house, dalam makna ada orang-orang PAN yang terlibat, entah dalam penarikan sample atau sebagai enumerator. Kesahihan survei yang dilaksanakan in house, sebagaimana survei yang dibuat oleh kubu Prabowo-Sandiaga patut diragukan. 

Jikapun PAN sama sekali lepas tangan, hanya menjadi pendana survei tersebut, tetap saja perlu diragukan independensi Polmark sebab ada konflik kepentingan di dalamnya, yaitu PAN sebagai pendana dan PAN sebagai yang turut disurvei.

Keraguan ini bertambah besar karena Polmark dimiliki Eep Sayifullah Fatah yang senantiasa menempatan diri sebagai konsultan politik atau penasehat strategi pemenangan. Dalam pilkada DKI lalu, Eep adalah otak di balik kemenangan Anis Baswedan dan Sandiaga Uno. Ini adalah alasan kedua saya meragukan hasil survei Polmark Indonesia.

ngkan misalnya dengan survei yang dilakukan LSI Denny JA. Berbeda dengan metode Polmark, Denny JA melakukan survei setiap bulan sepanjang Agustus 2018 hingga Januari 2019. Berdasarkan survei tersebut, terlihat dinamika elektabilitas pasangan Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi seperti dalam tabel berikut:

 

Data Series Survei Denny JA

Mengacu pada data series survei-survei Denny JA, para pendukung Jokowi-Ma'ruf tak perlu resah sebab kinerja terkini kubu Jokowi justru membaik, tampak dengan kenaikan elektabilitas sebesar 0,6 persen antara Januari-Februari, lebih tinggi dibandingkan kenaikan elektabilitas Prabowo-Sandia yang sebesar 0,4 persen.

Meskipun demikian, baik pasangan Jokowi-Ma'ruf, TKN, pun para pendukungnya tetap mesti berhati-hati. Selalu terdapat kemungkinan dinamika preferensi konstituen berubah. Joko Widodo sebagai calon petahana sebaiknya menghindari mengeluarkan kebijakan-kebijakan reaksioner yang melukai hati pemilihnya, terutama kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Sementara TKN dan para pendukung, sebaiknya menghindari ujaran kebencian, hoaks, dan eksploitasi isu SARA dalam memproduksi opini penggalangan dukungan.

***