Fadli Zon dan Kebiasaan Mengolok-olok Bangsa

Selasa, 12 Februari 2019 | 21:05 WIB
0
618
Fadli Zon dan Kebiasaan Mengolok-olok Bangsa

Kebiasaan mengolok-ngolok mungkin sepele. Tetapi, tahukah Anda bahwa kebiasaan mengolok orang lain yang dikenal ataupun yang tidak dikenal justru bisa menjadi beban yang ditanggung seumur hidup oleh para korbannya?

Luka batin tak mudah untuk disembuhkan. Pada akhirnya itulah yang kita sebut dengan bullying. Jika dilakukan di sosial media secara sederhana kita sebut cyberbullying.

Cyberbullying saat ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi para pengguna medsos dan efeknya makin meresahkan. Dampaknya tidak berbeda dengan bullying yg dilakukan secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal.

Menurut survei, 100 remaja di Inggris merasa bullying lebih mudah dilakukan secara online dengan menggunakan akun palsu karena sulit terdeteksi. Hal itu pula yang terjadi di negara kita. Banyak orang yang sengaja membuat akun palsu untuk membully orang lain.

Yang membuat kita mengurut dada karena 20 persen korbannya sampai berpikir mau melakukan bunuh diri. Betapa mengerikannya dampak yang diakibatkan oleh bullying.

Korbannya bisa dari berbagai kalangan. Dari kalangan papan atas seperti apa yang dialami oleh Dian Nitami, sampai dengan kalangan bawah.

Efeknya tentu korban akan merasa dipermalukan, dilecehkan dan juga dihinakan. Jika korban tidak bisa menghadapi dengan mental baja, justru akan berujung pada depresi bahkan menghilangkan nyawa dengan sengaja.

Maka, saya sangat salut kepada beberapa penyintas bullying yang dirundung kesedihan hingga bertahun-tahun. Mereka justru bangkit dan semakin kuat, namun bukan berarti luka bati mereka bisa sembuh dengan mudah.  Sisanya memilih untuk mengakhiri hidup dengan tragis.

Cyberbullying bisa dalam bentuk yang bermacam-macam. Bisa dalam bentuk ujaran kebencian secara langsung, emoticon bahkan dengan kalimat-kalimat bersayap hingga dalam bentuk puisi.

Kebiasaan mengolok-ngolok ini bisa dilakukan secara individu atau dilakukan secara masif oleh kelompok untuk menyerang salah satu orang atau bahkan lembaga.

Tujuannya tentu bermacam-macam. Mulai dari tujuan merusak citra atau nama baik, merendahkan martabat orang lain hingga hilangnya kepercayaan masyarakat sampai dengan tujuan politis demi mematikan karakter personal.

Itulah yang kini dilakukan oleh Fadli Zon kepada Mbah Moen. Apapun alasan Fadli Zon membuat puisi, jelas-jelas menyinggung Mbah Moen. Sosok yang seharusnya dihormati dan digugu perkataannya.

Doa yang dipanjatkan Mbah Moen sendiri perlu kita terima sebagai upaya kyai sepuh untuk mendoakan anak-anaknya , entah itu Jokowi atau Prabowo.

Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Fadli Zon sudah keluar dari kepatutan. Ia merendahkan ulama yang menjadi panutan.

Apa yang dituduhkan oleh Fadli melalui puisinya jelas-jelas tak hanya menyudutkan Romy dan Jokowi, tapi juga Mbah Moen.

Inilah sikap Fadli Zon yang mirip dengan sebagian netizen yang kerap mengolok-olok orang lain lewat laman media sosialnya.

Apa yang dilakukan oleh Fadli Zon adalah cermin kondisi netizen saat ini. Gemar menyebarkan kebencian bahkan olok olok yang merendahkan.

Apa yang diucapkan oleh Fadli sekarang mungkin dirasakan biasa saja. Namun, ke depan jika dibiarkan, ujaran kebencian seperti yg dilakukan Fadli Zon dkk akan dianggap biasa saja.

Sebagai anggota dewan yang terhormat, perilaku Fadli Zon jauh dari kata terhormat. Jika ingin mengkritisi seseorang, tak perlu mengungkapkan kata kata kasar apalagi menuduh mekelar hingga terlontar kata bandar.

Dalam hal ini Fadli Zon pasti bisa membedakan mana kritik dan mana celaan yang mengandung ujaran kebencian kepada seseorang.

Konotasi makelar dan bandar ini saja sudah negatif. Seolah seperti disandingkan dengan bandar-bandar lainnya.

Jika kita tilik lebih dalam, orang-orang yang suka mengolok biasanya punya ketidakpuasan dalam dirinya. Kemudian ia melihat kepuasan batin tersebut justru dirasakan oleh orang lain.

Kemudian ia merasa bahwa orang lain tersebut merampas kepuasan yang seharusnya ia dapatkan. Dengan kata lain, orang yang suka mencela punya penyakit hati, iri dan dengki sehingga kata-katanya merupakan cermin dari ketidakpuasan yang ia rasakan teramat dalam.

Begitulah dengan Fadli Zon. Ia merasa berangkat dari kalangan terdidik, kalangan terpelajar sehingga menganggap orang lain berada di bawahnya. Ia merasa bahwa orang lain justru harus menghargai dan mengapresiasi apa yang telah dicapainya.

Sikap tersebut bisa tercermin dari puisi karya-karyanya. Jika itu mau disebut dengan karya.

Orang-orang yang sakit jiwanya karena suka mencela akan sulit sembuh jika dirinya tidak berusaha untuk berubah.

Jiwa-jiwa yang suci hanya akan mengucapkan kebaikan. Ibarat bejana yang berisi air kotor, cara membersihkannya adalah menuangkan air bersih ke dalamnya. Dengan begitu air kotor akan keluar dan digantikan dengan air bersih.

Ciri-ciri jiwa yang kotor seperti kufur nikmat, syirik, riya, terlalu mencintai dunia, dengki, ujub (narsis akut), sombong, dll.

Sifat-sifat ini bisa dibasuh dengan air suci wudhu, salat lima waktu, puasa sunnah, tilawah Al-Quran dan bertafakkur apa yang telah ia perbuat, amar ma'ruf nahi munkar serta selalu berusaha untuk bersikap tawadhu'.

Penyakit hati hanya bisa sembuh karena dirinya sendiri yang berusaha untuk menyembuhkan jiwa-jiwanya yang kerontang. Kita sama-sama doakan agar para pencela mendapatkan tazkiyatun nafs sehingga menjadi agen perubahan yang bisa menebarkan kata-kata positif dan memotivasi orang lain.

***