Urusan Pemilu dan Penjual Nama Ulama

Bayangkan jika semacam itu dianggap ulama, kita umat Islam yang selama ini sering berbangga-bangga sebagai mayoritas, cuma jadi tertawaan dunia. Kenapa?

Kamis, 9 Mei 2019 | 15:23 WIB
0
408
Urusan Pemilu dan Penjual Nama Ulama
Semestinya bisa dibedakan mana ulama dan sekadar penjual nama ulama - Foto: Kompas.com

Di linimasa media sosial semacam twitter, ada kerewelan tersendiri lahir dari jari jemari saya sendiri. Terutama tiap muncul cerita tentang ulama yang memamerkan kebiasaan yang kontras. Semestinya mengajak berbuat baik, malah jadi penebar ajakan keburukan. 

Jengkel. Sejujurnya, itulah yang saya rasakan. Kenapa bisa begitu? Sebab, di media sosial, sulit membedakan apa kelebihan orang-orang yang--di media sosial--populer sebagai ustaz atau ulama dengan preman-preman pasar. Sebab, sama-sama kasar.

Termasuk umat-umat semacam saya jadi ikut kasar. Enaknya jadi saya sebagai umat biasa plus rakyat jelata ini, saat saya sendiri kasar, bisa menyalahkan ulama-ulama populer itu. Mereka populer karena memiliki mulut yang pedas, dan saya sebagai umat tentu saja bisa lebih pedas.

Anda pasti tahulah, peribahasa lama juga bilangnya apa? Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Lha, kalau orang-orang yang dianggap guru tadi kencing saja melalui mulut, mau gimana lagi? Eh, ini analoginya kok jadi gini.

Sekali lagi, jengkel. 

Termasuk sepanjang tahun politik, dari sebelum hingga sesudah Pemilihan Umum (Pemilu). Ada banyak orang yang membangun citra diri sebagai ulama, tapi tindak tanduk mereka kok bisa jauh amat dari kualitas seorang ulama. Herannya lagi, jika Anda nekat menegur orang-orang semacam itu, Anda bisa dihakimi sebagai penista ulama, lho.

Tidak percaya? Coba saja. Saya sendiri sudah nyoba soalnya. Hasilnya, lihat sajalah berbagai berita, ada banyak wartawan kelas teri lebih memilih membela ulama semacam tadi daripada menjernihkan persoalan dan membidik masalah ini.

Masalahnya, karena dari sinilah banyak orang dikelabui. Hanya dengan mengatasnamakan ulama, orang-orang yang belum tahu jelas urusan membersihkan sisa kencing saja bisa dianggap sebagai calon pemimpin pilihan ulama. Nggilani, kan? 

Begitu juga setelah Pemilu ini, ada lagi yang bermain-main dengan isu-isu jihad. Seolah-olah membela calon pemimpin dari kalangan konglomerat sama artinya dengan jihad! Ajaran agama kok jadi mainan seperti ini? Mereka sering berteriak supaya Anda takut kepada Tuhan, tapi tindak tanduk mereka kok makin terlihat gak ada takut-takutnya sama Tuhan. 

Apa dikira Tuhan bisa dikibuli semacam--katakanlah--ijtimak ulama, yang alih-alih menentramkan umat, justru jadi alat menghasut umat?

Banyak yang dikibuli. Bahkan hampir tidak ada yang menelisik lebih jauh, apakah mereka benar-benar merepresentasikan para ulama? Apakah memang mereka berada di atas--katakanlah--Majelis Ulama Indonesia? 

Setahu saya, kalau ada yang bau-bau MUI di sini hanyalah Ustaz Tengku Zulkarnain. Entah bagaimana ceritanya orang ini bisa masuk daftar pengurus MUI, tapi kelakuannya sangat jauh dari kesejukan seorang ulama. Pertama ia sering menebar kabar dusta (hoaks) di linimasa, sering menghasut umat, selalu mencari bahan untuk mencela orang-orang yang tidak disukainya. 

Belum lama, ia juga diketahui turut jadi penebar hasutan dengan menuding pemerintah akan melegalkan zina. Bahkan ia menyebut pemerintah akan menyediakan kondom dan alat kontrasepsi jika ada anak muda ingin berzina. 

Baca Juga: Melegitimasi Ambisi Melalui Ijtima Ulama, Sahihkah?

"Pelajar, dan mahasiswa, dan pemuda yang belum nikah yang ingin melakukan hubungan seksual, maka pemerintah mesti menyediakan alat kontrasepsi untuk mereka. Anak-anak muda yang belum nikah kepengen berzina, pemerintah harus menyediakan kondomnya supaya tidak hamil di luar nikah. Kalau ini disahkan, berarti pemerintah telah mengizinkan perzinahan, bahkan menyediakan kondom dan alat kontrasepsi," kata Ustaz Tengku Zulkarnain di video yang viral di mana-mana.

Hasilnya, kemudian ia justru merasa urusannya selesai dengan meminta maaf. Ia bahkan terlihat masih sangat pantas menyandang status sebagai ulama. Terpikir, dengan kualitas "ulama" semacam ini, umat seperti apa yang mau diciptakan di negeri ini?

Bayangkan jika semacam itu dianggap ulama, kita umat Islam yang selama ini sering berbangga-bangga sebagai mayoritas, cuma jadi tertawaan dunia. Kenapa? Ya, lantaran kita ibarat orang yang bangga dengan badan penuh lemak, tapi hampir tak mampu lagi bergerak, alih-alih berlari jauh ke depan, akhirnya cuma bisa bercerita tentang masa lalu saja.

Kita diajak untuk tersihir oleh tubuh berbalut jubah, terhipnotis, dan nalar pun terhenti dan malas untuk menggali lagi, apakah iya agama ini akan semakin besar di bawah "pemuka agama" semacam ini?

Eh, anggap saja saya sedang ngedumel saja. Jika saya keliru, doakan saja saya dapat hidayah! Biar lengkaplah doa ini semakin tertuju kepada saya yang sepertinya di media sosial belum terlihat sebagai orang yang sudah dapat hidayah. Terlebih, meskipun sering dipanggil dengan sapaan "Zul" saya sendiri belum sekarismatik "Tengku Zul" yang rajin berjubah putih-putih tadi.

***