Oleh : Astika Utami
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul kembali narasi yang berbahaya dan menyesatkan di ruang publik, yakni provokasi “Indonesia Gelap” yang digulirkan oleh sekelompok pihak dengan tujuan yang patut dipertanyakan. Narasi ini tidak hanya menyesatkan, namun juga sangat merugikan, baik dari sisi keamanan nasional maupun stabilitas ekonomi negara.
Oleh karena itu, masyarakat perlu bersikap bijak dan menolak segala bentuk provokasi yang berpotensi memecah belah, melemahkan kepercayaan publik terhadap negara, serta mengganggu tatanan kehidupan sosial dan ekonomi.
Istilah “Indonesia Gelap” bukan sekadar frasa retoris yang tanpa dampak. Di baliknya terkandung upaya untuk menciptakan kekacauan persepsi, menebar pesimisme, dan menstimulasi kemarahan publik dengan memanfaatkan momen-momen krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta, mengatakan bahwa narasi semacam “Indonesia Gelap” sangat mungkin ditunggangi oleh kelompok tertentu yang ingin mendelegitimasi pemerintah. Masyarakat harus lebih waspada terhadap upaya manipulasi opini publik yang dikemas dengan narasi dramatis, emosional, dan mengaburkan fakta.
Narasi ini kerap muncul ketika ada dinamika politik, ekonomi, atau hukum yang menuntut konsentrasi nasional. Di saat negara sedang berupaya menjaga stabilitas dan mendorong pemulihan pasca pandemi, serta menghadapi tantangan global seperti ketegangan geopolitik dan tekanan ekonomi dunia, provokasi semacam ini justru menjadi gangguan yang kontraproduktif.
Salah satu dampak langsung dari penyebaran provokasi “Indonesia Gelap” adalah terganggunya stabilitas keamanan nasional. Narasi semacam ini dapat memantik emosi kolektif dan mendorong munculnya aksi-aksi massa yang tidak produktif, bahkan berpotensi anarkis. Situasi seperti ini sangat berbahaya karena dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang memiliki kepentingan tersembunyi, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk melemahkan sistem pertahanan sosial negara.
Sebagaimana diketahui, penyebaran informasi yang menyesatkan dan bersifat provokatif adalah pelanggaran serius yang dapat mengganggu ketertiban umum. Maka dari itu, pentingnya peran seluruh elemen bangsa dalam menjaga ruang digital agar tetap bersih dan positif. Stabilitas keamanan nasional adalah tanggung jawab bersama, bukan semata-mata tugas pemerintah atau aparat keamanan.
Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, provokasi yang tersebar di media sosial maupun platform komunikasi digital dapat menyebar dengan sangat cepat dan membentuk opini publik secara masif, bahkan sebelum fakta-fakta yang valid dapat diklarifikasi.
Lebih dari sekadar ancaman terhadap keamanan, provokasi “Indonesia Gelap” juga menimbulkan dampak serius terhadap sektor ekonomi. Stabilitas ekonomi sangat erat kaitannya dengan kepercayaan, baik dari masyarakat domestik maupun investor asing. Ketika narasi pesimistik dan penuh kebencian ini terus digulirkan, iklim investasi menjadi tidak kondusif. Investor akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di tengah ketidakpastian politik dan keamanan.
Di sisi lain, pelaku usaha dalam negeri juga akan terhambat aktivitasnya karena kekhawatiran terhadap gangguan sosial. Hal ini secara langsung berimbas pada pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, serta kesejahteraan masyarakat luas.
Perlu disadari bersama bahwa membangun sebuah negara tidak pernah mudah. Pemerintah, dengan segala dinamika dan keterbatasannya, terus berupaya mendorong pembangunan di berbagai sektor. Kritik dan aspirasi tentu sah-sah saja, bahkan menjadi bagian penting dari demokrasi. Namun, kritik harus dibedakan dengan provokasi.
Kritik yang membangun didasarkan pada data, disampaikan dengan cara yang beradab, serta bertujuan memperbaiki keadaan. Sebaliknya, provokasi seperti “Indonesia Gelap” lahir dari niat yang merusak, sering kali tidak berdasar, serta bertujuan menciptakan kekacauan atau delegitimasi terhadap institusi negara.
Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya harus semakin cerdas dan waspada. Di era digital, literasi informasi menjadi sangat penting. Tidak semua yang viral di media sosial adalah kebenaran. Tidak semua narasi yang emosional membawa niat tulus untuk perubahan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menyatakan bahwa kepercayaan publik adalah salah satu pilar terpenting dalam menjaga kestabilan ekonomi. Narasi “Indonesia Gelap” bisa berdampak pada penurunan indeks persepsi investor terhadap Indonesia. Pentingnya masyarakat untuk tidak terprovokator sehingga tidak berdampak pada menurunnya nilai tukar rupiah, menurunnya daya beli, dan terganggunya sektor riil.
Keamanan dan ekonomi adalah dua pilar utama dalam menjaga ketahanan nasional. Ketika kedua aspek ini terganggu, dampaknya bisa sangat luas dan merembet ke berbagai lini kehidupan masyarakat. Provokasi “Indonesia Gelap” adalah bentuk disinformasi yang membahayakan dua pilar ini secara bersamaan. Tidak hanya menciptakan ketakutan dan keresahan, tetapi juga berupaya menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap aparatur negara dan institusi demokrasi. Jika dibiarkan, hal ini dapat menciptakan ketidakstabilan jangka panjang yang merugikan seluruh lapisan masyarakat
Penting untuk memperkuat kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan seluruh elemen bangsa dalam menjaga ruang publik yang sehat. Edukasi literasi digital harus terus digalakkan agar masyarakat mampu menjadi penyaring informasi yang cerdas. Media juga memiliki peran strategis untuk tidak menjadi corong provokasi, tetapi menjadi penjaga keseimbangan informasi.
Menolak provokasi “Indonesia Gelap” bukan berarti menutup mata terhadap kekurangan. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk tanggung jawab kolektif untuk menjaga arah perjalanan bangsa tetap pada jalur yang benar. Kita semua memiliki peran untuk memastikan bahwa Indonesia terus tumbuh sebagai negara yang aman, damai, dan sejahtera.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews