Rorinda, Di Manakah Kau Berada (2)

Kalau Jokowi merasa penting dengan Musra, karena ia melihat ada yang belum dilakukan oleh partai, padal itu hakiki. Itu kritik Jokowi pada para elite politik.

Kamis, 18 Mei 2023 | 06:51 WIB
0
227
Rorinda, Di Manakah Kau Berada (2)
Ilustrasi Jokowi-JK (Foto: facebook.com)

Menandai Jokowi emosional, sangat mudah. Apakah pidatonya kalem? Ada bau-bau humor, nyindir sana-sini, bercanda? Atau dengan nada tinggi? Dengan suara terpekik-pekik, saking tak biasanya bernada tinggi, karena desakan detak jantung? 

Pidato di depan Musra beberapa hari lalu, menjelaskan kegeraman Jokowi. Bahwa proposalnya tentang Indonesia ke depan, tidak segera bisa dipahami bersama. Bagaimana situasi global sedang tidak mudah. Bonus demografi dan tujuan Indonesia 2045 bisa menguap, sekiranya kita tak mampu menjaga stabilitas politik. 

Sementara proses transisi nilai-nilai lama warisan Orde Baru Soeharto ke nilai-nilai baru yang dibawa Jokowi, bukan perjalanan yang mudah. Akan sangat tergantung besar-kecil yang sudi meninggalkan comfortable zone. Sementara dalam ideologi pragmatisme Orde Baru, apapun gerakannya, jika tak memberi kemanfaatan pada dirinya akan cenderung ditolak. Apalagi merugikan. 

Reformasi 1998 setidaknya butuh waktu 15 tahun lebih, untuk memperlihatkan ufuknya, dengan terpilih Jokowi sebagai Presiden pada Pilpres 2014. Waktu itu, sistem pemilihan presiden telah tiga kali dilaksanakan (2004, 2009, 2014). 

Dikatakan ufuk, dengan indikator tingkat partisipasi dan antusiasme rakyat. Munculnya Jokowi bersamaan dengan munculnya istilah ‘relawan politik’. Karena pada waktu itu, sosok yang muncul benar-benar dari bawah. Dengan track record jelas. Ketika sistem pengkaderan, atau rekrutmen kepemimpinan sipil belum jalan di partai politik, Jokowi muncul. Sebagai sosok pejabat publik yang populer karena performance dan kinerjanya. Ia warna baru. Berbeda dengan prototype yang ada selama itu. Ia harapan baru. 

Meski UU Kepolitikan membuat kedaulatan rakyat dengan partai politik berjarak, tetapi suara rakyat tak terbendung. Apalagi akhirnya Megawati sebagai ketua umum partai, yang punya orotitas penuh, akhirnya berkompromi; “Baik, menangkan PDIP dan Jokowi presiden!”

Pemilu 2014 tidak dilakukan serentak. Pileg dulu, baru kemudian dari hasil pileg akan ketemu perhitungan presidential threshold. 

PDIP yang menang gemilang Pemilu 1999 (33,74%), kemudian tersuruk di 2004 (18,53%), dikalahkan oleh Golkar. Pemilu 2009, makin terpuruk (14,03%) di posisi ke-3. Demokrat sebagai pemenang, Golkar runner-up. 

Dari berbagai catatan analis politik, PDIP rebound mulai 2014 karena faktor Jokowi. Hingga Pemilu 2019 PDIP kembali memenanginya (19,33%), senyampang mempertahankan Jokowi presiden untuk dua periode. 

Kisah perjalanan kemenangan Jokowi, dari sejak menjadi Walikota di Solo (2005), hingga Presiden untuk periode ke-2, bukan saja dipenuhi kisah-kisah mengenai ground-breaking. Melainkan juga ice-breaking. Karena benturannya pada kepala-kepala batu yang sudah terfrozen mind-set dan orientasi. 

Jauh sebelum AHY tiba-tiba jadi politikus, dan bisa mengritik pemerintah (dengan mengatakan membangun sumber daya manusia jauh lebih penting dari infrastruktur), Jokowi sudah mencanangkan Revolusi Mental sejak Pilpres 2014. Namun penolakan atas hal itu, bukan saja pada sikap-mental. Melainkan terkendala sistem hukum dan administrasi birokrasi pemerintah, yang tak bisa diobok-obok oleh Presiden sekalipun. Butuh peranan parlemen dan lembaga-lembaga judikatif, yang senyatanya belum tentu seirama dengan presiden.

Pecah kongsi antara Jokowi-JK, dengan mudah ditengarai dalam konteks ini. Dalam konsepsi politik Jokowi, JK bukan cawapres pilihannya. Bahkan begitu juga, dalam periode ke-2, Ma’ruf Amien juga bukan cawapres pilihan idealnya. 

Janji Jokowi untuk setiap bulan bertemu JK, usai sebagai wapres, barangkali hanya basa-basi. Karena pertemuan entah konsultatif atau reunian itu hanya berjalan di tahun pertama. Pada tahun berikutnya, pertemuan rutin itu tak terselenggara lagi. Karena Presiden sibuk? Tukang parkir di mie-gacoan kurang sibuk apa cobak!

Lima kali menang kontestasi politik, lebih dari 20-an tahun berkecimpung dalam dunia politik. Jokowi menjelang akhir jabatannya di periode ke-dua, sedang berada dalam titik puncak legacy-nya. Tetapi misi perubahan ‘peradaban’ (dari peradaban Orba) itu belum seujung kuku. Masih butuh waktu. Sementara kecenderungan politik kita, ganti penguasa ganti semuanya. Ganti orientasi. Ganti sistem. Ganti aturan. Ganti komisaris BUMN. Di mana hal itu menjelaskan negara ini tidak mempunyai road-map ke mana mau dibawa. 

Ke tujuan negara adil dan makmur, jika bukan hanya illusi, ya, hanya janji kampanye belaka. Termasuk yang dengan manis mengatakan mau memenuhi janji-janji Proklamasi. Tak lain juga janji kampanye. Bedanya, diksinya lebih puitis.  

Berpikir secara negarawan, sebagai kepala negara, apa yang dilakukan Jokowi dengan mencari penerusnya, mengendorse, mengintertain sosok-sosok tertentu dan terdekatnya, adalah wajar. Sebagai makhluk politik, Jokowi tentu juga punya perhitungan. Termasuk kenapa salah satu atau salah berapa menterinya, diresuffle. Untuk perbandingan, kenapa Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, Menteri PUPR, tak tergantikan selama dua periode Jokowi? Kenapa Anies Baswedan diresuffle ketika belum genap dua tahun menjabat sebagai menteri?

Jokowi bukan Harry Tanoe, yang punya Perindo. Jokowi bukan Amien Rais, yang bisa mendirikan Partai Ummat. Jokowi tak punya partai. Ia kader partai. Petugas. Bukan penguasa. Apalagi pemilik. Kalau Jokowi merasa penting dengan Musra, karena ia melihat ada yang belum dilakukan oleh partai, padal itu hakiki. Itu kritik Jokowi pada para elite politik. 

(Bersambung)

Sunardian Wirodono