Victim Playing ciri politikus busuk Indonesia. Bermain korban, berlagak (menjadi) korban, atau berpura-pura teraniaya adalah sikap seseorang yang seolah-olah berlagak sebagai seorang korban, untuk berbagai alasan.
Pemilu 2024, di mana Pileg dan Pilpres diselenggarakan serentak, sebenarnya masih jauh. Dan tak terlalu urgen. Yang menganggap urgen, hanya masyarakat partai politik. Itu berkait kepentingan pragmatis mereka berebut kuasa. Yang lebih urgen adalah persoalan keekonomian kita hari-hari ini. Tapi siapa yang mau urus?
Bahkan rakyat jelantah pun ikut-ikutan ngrembug siapa capresnya? Siapa tahu kalau capresnya menang, bisa jadi alasan deket-deket Istana dan bisa kecipratan berkah.
Soal korupsi, reformasi birokrasi, revolusi mental, lupakanlah. Berat. Berat. Kalau capres menjanjikan perubahan? Namanya juga kampanye. Ndakik-ndakik ke puncak gunung, tinggi, tinggi sekali. Terus setelah kena kanker prostat, bilang mau turun gunung?
Reformasi Birokrasi saja tak bisa jalan, korupsi masih saja. Apalagi Revolusi Mental, wong Jokowi bukanlah ideolog seperti Sukarno. Jokowi adalah kerja-kerja-kerja. Yang itu pun juga tak disenangi elite politik kita. Karena bagi mereka, yang penting; mana-mana-mana, bagi-bagi-bagi dong.
Betapa boros waktu dan tak produktifnya. Pemilu disepakati 5 tahun sekali, tetapi hanya separo jalan sudah ribut Pemilu berikut. Dan belum-belum sudah. Claim and bullying salah satu cirinya.
Jejak digital sudah menjelaskan, Prabowo dan Anies Baswedan sama-sama sudah menyatakan siap mencapreskan diri. Pada Anies diembel-embeli ‘jika ada partai yang melamarnya’. Maka terlihatlah Jusuf Kalla sibuk di dapur, tanpa harus menunjukkan dapurnya.
Tahu-tahu, di sebuah masjid di Malang, ditemukan selebaran tabloid pendukung Anies. Pimrednya, Ramadhan Pohan, orang dekat SBY di Demokrat. Jika tak ada partai yang melamar, apa susahnya bagi Davos Man meminta Jusuf kalla menyiapkan semuanya? Di situ terlihat SBY memang kagak ada apa-apanya dibanding JK.
Di samping dua itu? Ada AHY, yang meski ketum partai tapi kalaupun cawapres, ya, lumayanlah. Toh misal luput keduanya, masih bisa ngarep jadi menteri.
Yang paling awal menyatakan kesediaan Cak Imin. Tapi karena ganti nama jadi Gus Muhaimin, bisa dapat angpauw negosiasi juga tak apa. Kayak PKS dengan Prabowo dulu, yang penting dapat proyek.
Tapi sebagai bangsa korban dongeng ‘Bawang Merah Bawang Putih’, pagi-pagi benar sudah pada jualan bawang. Prabowo bilang ada yang menjegalnya dalam pencapresan. Pendukung Anies sudah koar-koar ada upaya penjegalan. Ditambah lagi ada pembina partai mere-mere ada yang jahat dan batil, mau menjegal anaknya.
Puan Maharani mungkin juga merasa dijegal. Mongsok sebagai ketua DPR-RI, ketua DPP Partai, anak ketum Partai, Cucu Proklamator, elektabilitasnya kalah jauh dengan anak ndesa kelahiran Karanganyar, yang kos di partainya?
Mangkanya, Megawati Soekarnoputri di depan para kadernya berteriak-teriak dengan heroik, “Siapa yang mendahului keputusan partai, kemajon, mbagusi, nggeleng mau nyapres, akan saya pecat, atau keluaaaaaarrrr!”
Lantas rapatkan barisan. Dan dalam setiap kunjungan, para kader perempuan, kini selalu ada yel-tel, “Puan Maharani, yes, yes, Presiden, merdeka!”
Bentuk Dewan Kolonel. Mungkin niru-niru isu Dewan Jenderal. Dewan Jenderal sebuah istilah yang dikemukakan dewan pimpinan PKI kepada Presiden Sukarno di era demokrasi terpimpin, untuk menuduh beberapa jenderal TNI AD yang dicurigai akan melakukan kudeta.
Ehm, apakah Ganjar Pranowo mau kudeta? Rakyat jelantah yang bolak-balik dijegal elite, hanya bisa mengenang kemenangan Jokowi sebagai sejenak mimpi indah. Balik lagi ke orang lama.
Padal, setelah di sidang partai, Ganjar Pranowo kalau ditanya wartawan soal kesiapan nyapres? Cuma nyengir banteng. Apalagi ketika ketahuan ikut musra Jokowi, makin dipacul-pacullah dia oleh Mbambang.
Dongeng Bawang Merah Bawang Putih, Victim Playing, adalah ciri politikus busuk Indonesia. Bermain korban, berlagak (menjadi) korban, atau berpura-pura teraniaya (victim playing, playing the victim, victim card, self-victimization) adalah sikap seseorang yang seolah-olah berlagak sebagai seorang korban, untuk berbagai alasan.
Mungkin untuk membenarkan pelecehan terhadap liyan, memanipulasi orang lain, strategi penjiplakan, mencari perhatian, atau tidak bertanggung jawab pada amanat yang diberikan padanya.
Apakah rakyat jelantah masih menyamakan pilpres dengan ajang kontestasi Diva Ndangdhut atau pelawak stand-up comedy? Di mana yang paling melarat, dan menderita akan lebih banyak dapat simpati dan dimenangkan? Atau dari Dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih kita akan beranjak ke Puteri Cinderella, dengan sepatu Kaca? Atau Putri Salju dengan 7 Dewan Kolonel, eh, 7 Kurcaci? Gimana kalau Sang Pangeran itu ternyata Ganjar Pranowo? Halah!
Sunardian Wirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews