Sindroma Tikus

Baik dalam politik sindrom lemming dan politik massa mengambang, massa sama-sama dibuat tidak memiliki imajinasi tentang masa depan dan hanya membebek apa kata pemimpinnya.

Minggu, 14 November 2021 | 08:02 WIB
0
265
Sindroma Tikus
Tikus (Foto: warungsate.org)

I

Di dataran-dataran tinggi Skotlandia dan Skandinavia Utara—juga di seluruh daerah beriklim sedang dan kutub di Amerika Utara dan Eurasia—hidup hewan semacam tikus yang bernama lemming. Binatang ini merupakan salah satu dari 20 spesies hewan pengerat kecil. Lemming kayu (Myopus schisticolor) dan lemming stepa (Lagurus lagurus) adalah lemming terkecil, berukuran panjang tubuh 8 hingga 12 cm dan berat 20 hingga 30 gram.

Binatang ini memiliki tubuh pendek dan kekar dengan kaki pendek, ekor pendek, moncong bulat tumpul, mata kecil, dan telinga kecil yang hampir tersembunyi di bulunya yang panjang, padat, dan lembut. Makanan utamanya adalah lumut dan rumput. Sebagaimana hewan pengerat lainnya, gigi lemming terus tumbuh sehingga harus mengonsumsi makanan yang lebih keras untuk menghentikan laju pertumbuhan giginya.

Kata Franz Magnis-Suseno (1986), mereka sepertinya hidup tenang dan bahagia dalam iklim yang dingin. Akan tetapi, setiap beberapa tahun, entah apa sebabnya, lemming-lemming yang biasa hidup soliter itu berkumpul, kemudian mulai bergerak bersama menuju laut. Sekali mereka bergerak, tidak ada kuasa yang dapat membelokkan arah ribuan, bahkan mencapai ratusan ribu ekor lemming itu. Kendati pun burung elang menerkam, sapi menginjak-injak, tembok menghadang, sungai mengalir dengan deras, lemming-lemming itu tetap bergerak maju.

Sesampai di tepi laut, mereka tidak berhenti tetapi terus berjalan masuk laut. Semua masuk laut, sampai lemming terakhir. Yang menarik, kata Franz Magnis-Suseno, sambil maju untuk binasa—masuk ke laut—mereka melakukan kehidupan biasa: berlari ke sana ke mari, mencari makanan, dan berkembang biak. Tahu-tahu, mereka sudah sampai tepi laut, masuk laut dan binasa.

Tetapi, ada yang mengatakan bahwa mereka tidak melakukan bunuh diri massal, melainkan inilah cara mereka berimigrasi untuk mencari habitat baru. Sebab, lemming adalah binatang yang bereproduksi  begitu cepat sehingga fluktuasi populasinya kacau balau.

Lemming berkembang biak dari musim semi hingga musim gugur. Mereka bisa beranak hingga 13 ekor, setiap kali bunting dengan masa kehamilan  sekitar 20 hingga 30 hari. Setelah beberapa tahun, jumlah mereka menjadi demikian banyak  sementara daya dukung lingkungan dan pangan tidak mendukung.

Maka mereka mencari tempat baru, habitat baru untuk tinggal dan hidup. Mereka melakukan perjalanan siang hari, mulai dari sedikit tetapi lama-lama menjadi banyak.  Gerombolan besar menyerbu area yang luas, dan beberapa lemming sering terpaksa berenang melewati penghalang air atau masuk ke pemukiman manusia. Banyak yang mati karena mereka tidak dapat menemukan habitat yang cocok, dan yang lainnya tenggelam ketika mereka didorong ke laut oleh momentum yang menekan dari massa di belakang mereka.

II

Di negeri ini, memang, tidak ada lemming. Kalau tikus banyak, termasuk tikus-tikus got yang menggerogoti uang negara. Namun, sekarang ini, banyak orang  ketularan sindrom lemming. Yakni cenderung mengikuti perilaku dan tindakan massa tanpa menggunakan kebijaksanaan, tanpa dipikirkan terlebih dahulu akibatnya apa dari tindakan itu. Mereka hanya mengikuti apa kata pemimpinnya.

Mereka juga tidak memiliki imajinasi tentang massa depan. Karena itu, mereka tidak mampu membayangkan masyarakat seperti apa yang hendak dicapai, sama seperti lemming yang hanya ikut bergerak dengan yang lain dan akhirnya tercebur ke laut. Boleh dikata, massa itu hanya membebek, mengikuti saja apa yang diputuskan pemimpinnya—bisa pemimpin politik, bisa juga pemimpin agama.

Padahal, manusia itu memiliki kemampuan untuk berpikir kritis. Tetapi, dalam banyak peristiwa, kemampuannya itu tidak digunakan. Manusia memiliki potensi untuk menggunakan 100 persen pikirannya, otaknya tetapi banyak yang sudah puas hanya menggunakan 5 hingga 10 persen kemampuannya saja. Selebihnya rubuh-rubuh gedhang, tidak memiliki pendirian, tetapi ikut-ikutan saja tindakan orang lain; melaksanakan secara membabi-buta apa yang menjadi perintah pimpinannya.

Massa semacam itulah yang dimanfaatkan oleh para pemimpin entah itu politik ataupun agama untuk digerakkan guna mencapai kepentingannya. Para pemimpin massa, politikus massa dan juga agamawan massa tahu persis bagaimana memanfaatkan massa. Dalam bahasanya Carl Schmitt (F Budi Hardiman, 2011), mereka tahu persis bagaimana memraktikkan pedagogi perang yang berbunyi: jangan melihat musuh sebagai musuh pribadi, melainkan musuh obyektif.

Sebab kata Georg Simmel (1858-1918) sosiolog dan filsuf dari Jerman, pada aksi-aksi massa, motif-motif para individu seringkali sedemikian berbeda-beda, sehingga penyatuan mereka akan semakin mungkin, bila isi penyatuan itu semakin negatif. Yakni, semakin destruktif. Negativitas merupakan tujuan dan alasan pembentukan massa, entah massa yang melakukan destruksi seperti dalam kerusuhan dan kekerasan massa. Destruksi itu menyatukan karena melumatkan segala perbedaan yang merupakan pangkal segala tatanan. Dengan demikian, massa dihimpun melalui negativitas yang mengaburkan individualitas dan kebebasan.

Politik massa seperti itu yang kerap kali kita saksikan terjadi. Contoh paling nyata dan mudah adalah saat berlangsung Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilu 2019. Pada waktu itu, massa rakyat dibuat mengalami sindrom lemming dengan menggunakan politik identitas sebagai sarana untuk mempersatukan massa rakyat. Ini dilakukan karena ada keyakinan bahwa cara termudah dan paling efektif menarik hati orang untuk memilih seorang kandidat adalah dengan cara membangkitkan ikatan emosional pemilih pada calon. Politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas, baik identitas politik maupun identitas sosial sebagai sumberdaya dan sarana politik.

III

Apa yang terjadi sekarang ini—menjadikan massa rakyat mengalami sindrom lemming—berbeda dengan praktik yang dilakukan di zaman Orde Baru yakni praktik politik massa mengambang.

Dulu di zaman Orde Baru, pemerintah dengan sengaja menciptakan kelompok yang hanya ikut apa kata “bapak”, apa kata pimpinan. Kelompok inilah yang disebut sebagai massa mengambang. Politik massa mengambang ini menjadi basis kekuatan rezim yang berkuasa.  

Politik massa mengambang dimanfaatkan untuk memotong relasi partai politik dengan rakyat, sehingga terjadi depolitisasi masyarakat. Mereka biasanya dimobilisasi untuk suatu kepentingan. Dengan kebijakan seperti itu, partai politik kehilangan akar rumputnya. Partai politik kehilangan basis politiknya yang paling bawah. Dan, pemerintah menuai keuntungan.

Baik dalam politik sindrom lemming dan politik massa mengambang, massa sama-sama dibuat tidak memiliki imajinasi tentang masa depan dan hanya membebek apa kata pemimpinnya. Bedanya, dalam politik sindrom lemming, massa digunakan sebagai kekuatan penekan bagi kepentingan politikus massa, elite politik dan agamawan massa menghadapi pemegang otoritas kekuasaan.

Massa yang terkena sindrom lemming tidak menyadari bahwa mereka dijerumuskan ke dalam jurang ketidakpastian karena terbius kata-kata para pemimpinnya tanpa mengecek kebenarannya, seperti tikus-tikus di Skotlandia yang terjun masuk laut.

***