Jokowi Lagi Pusing atau Sedang "Ngadu Jangkrik"

Adu jangkrik sesungguhnya, lebih mengarah pada Pilpres 2024 yang tampak masih jauh. Tapi mesinnya sudah harus dipanaskan sejak jauh hari.

Sabtu, 13 November 2021 | 08:24 WIB
0
349
Jokowi Lagi Pusing atau Sedang "Ngadu Jangkrik"
Gibran dan Ganjar (Foto: setiafakta.com)

Celakanya orang Jawa (dari masa lalu) itu terlatih untuk menyembunyikan perasaannya. Mereka tak mudah ditebak, karena kesantunan dan kerendah hatiannya. Beda dengan hari ini, gak ada bedanya babar blas dengan orang dari etnis lain. Kadang malah orang Batak punya sopan santun dan perasaan yang lebih peka dibanding orang Jawa. Orang Jawa hari ini tampak santun konon kalau lagi "ana butuhe", lagi ada maunya. Selebihnya ya sama saja.

Hal tersebut terlihat jelas antara ayah dan anak, terutama antara Jokowi dengan Kaesang misalnya. Saya gak bayangkan, kalau ia bukan anak Presiden. Pasti tak akan jauh dari para selebritis Ibukota itu. Kemlinthi, sok jagoan dan merasa diri hebat! Di sini, ia berbeda sama sekali dengan ayahnya yang cenderung sangat piawai mengatur ritme hidupnya: tenang, kalau tidak malah cenderung dingin. Nyaris tak mudah membaca ke arah mana maunya.

Dalam konteks pemilihan Panglima TNI yang baru. Kita tak bisa membedakan Jokowi yang pusing tujuh keliling atau santai saja. Atau malah yang jahil, karena ia sedang ngadu jangkrik. Mempermainkan semua orang yang menjadi sponsor dari para calon jagoannya.

Sebenarnya sih calonnya cuma dua saja. Jalur normatif, sesuai aturan urut giliran yaitu KSAL Yudo Margono. Dan tentu saja jalur yang tidak normatif, yaitu KSAD Andika Perkasa. Tidak normatif di sini bisa dipahami sebagai titipan, politis, atau apalah pokoknya tidak seharusnya sesuai kesepakatan.

Bahwa kemudian jalur "terabas" yang dipilih Jokowi, tentu hal ini harus tampak sangat alot. Sebagai orang yang punya hak prerogatif, sebenarnya gampang saja ia menentukan salah satu. Tanpa harus mengundang polemik. Tapi nyatanya, ia menyelenggarakan perdebatan itu. Ia memilih jalan yang (tampak) tak mudah.

Apa yang dikenhendaki Jokowi sesungguhnya?

Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan AURI, tentu saja saya salah satu yang kecewa. Di mata kami, orang AD selamanya tak pernah berubah. Mereka selalu bersikap demikian, terutama bila harus bersaing dengan orang AU maupun AL. Mereka akan selalu punya alasan untuk menyingkirkan "figur yang lebih berhak", atau bahkan bila bisa dikatakan ia yang lebih baik. Jadi, harusnya dipahami bahwa dalam fit and proper test di DPR kemarin, ketidakhadiran KSAL maupun KSAU jadi indikasi kekecewaan tersebut.

Tapi mengapa Jokowi akhirnya tampak "mengalah"?

Pertama, tak dipungkiri terjadi persaingan yang kuat dalam pembelian alutsista di lingkaran TNI. TNI AD itu hanya menang jumlah pasukan, tapi kalau berbicara nilai alutsista-nya tak pernah menang dari TNI AL apalagi TNI AU. Satu pesawat tempur atau kapal perusak, nilainya bisa jadi puluhan bahkan ratusan tank tempur.

Dalam hal ini, terjadi friksi yang sangat kuat. Minimal saya mencatat ada tiga kubu dengan selera yang berbeda, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

(1) Kubu Megawati dengan gank PDI-P nya yang cenderung menyukai peralatan tempur, terutama pesawat dari Rusia. Tentu ini masalah genetik yang diturunkan dari ayahnya. Sayang Rusia ini termasuk pelit dalam proses alih teknologi, rewel dalam sistem pembayaran dan rawan disanksi oleh AS;

(2) Kubu Prabowo yang cenderung berselera Eropa, terutama Perancis. Negara ini menjanjikan bebas embargo, alih teknologi dan mereka lagi butuh sekutu baru Pasca terbentuknya AUKUS. Sayangnya harga alutsistanya relatif mahal, bisa dua kali lipat untuk jenis yang sama;

(3) Kubu mereka yang pro-AS, yang selalu menghalangi RI untuk bertransaksi dengan negara mana pun, kecuali dirinya. Padahal dirinya cenderung, suka mengembargo dan sama saja pelit teknologi.

Dalam kelompok yang terakhir inilah, Andika Perkasa berada, sebagaimana lazimnya orang AD mereka telah lama diijon oleh double pelatihan ala AS di berbagai sistem pendidikan militer di sana. Dipilihnya Andika bisa dianggap sebagai sisi pengimbang, mengingat kedekatannya dengan pihak AS.

Kedua, Andika Perkasa bagaimana pun adalah calon yang disiapkan PDI-P sebagai pendamping putri mahkotanya. Tidak penting siapa yang jadi Presiden atau Wakil-nya. Bahwa yang dijanjikan tadinya adalah Prabowo, itu kan soal politik? Berbohong adalah bagian tak terpisahnya dalam dinamika politik. Apa iya, partai yang hanya diserahi dua kementrian saja sudah gak becus akan diserahi mengurus negara? Kesalahan besar Gerindra adalah mau-maunya mereka diajak "masuk jebakan" dengan terlibat dalam kabinet kedua Jokowi.

AP adalah sebuah "statement sementara" bahwa PDI-P tak butuh Ganjar Pranowo yang di luar dianggap "kemajon dan selfis". Ia juga diragukan kurang utuh ke-nasionalis-annya. You know what I mean. Bahkan Jokowi pun, posisinya akhir-akhir ini mengalami hal yang sama. Suatu hal yang dianggap sepele, tapi memiliki sensitifitas yang luar biasa. Reaksi yang menarik, justru ditunjukkan oleh GP yang tiba-tiba sepedaan bareng dengan Gibran Rakabuming. Dalam konteks ini, bacaannya jadi jelas: ke arah mana Jokowi akan mengayunkan dukungannya kelak.

Ketiga, menarik untuk ditunggu isu resufle kabinet yang dihembuskan. Karena salah satu kementrian yang memiliki nilai raport merah, salah duanya adalah yang diduduki figur dari Partai Gerindra. Karena sebagai salah satu figur yang paling tahu maunya Jokowi, Panglima TNI saat ini Hadi Cahyanto tentu masih sangat bisa diandalkan dalam mengamankan sisa jabatan Jokowi. Walau terlihat biasa, sebelum mundur dalam jabatannya ia telah melakukan mutasi besar-besaran di lingkungan TNI.

Bila kelak terwujud, Hadi Cahyanto menggantikan Prabowo Subianto tentu akan menimbulkan geger politik yang luar biasa. Karena bagaimana pun, hal tersebut akan memecah konsentrasi politik yang selama ini hanya didasarkan pada hasil-hasil survai yang pada realitasnya sangat dinamis dan tak berharga itu. Saya sejujurnya curiga, kenapa SBY tiba-tiba ngaku dan pamit sakit ke AS. Mau berobat kok jauh amat. Saya cenderung menganggap dia telah mencium adanya suatu gerakan besar yang akan segera terjadi. Sesuatu yang sebenarnya merupakan manuver politik yang sudah gampang terbaca arahnya.

Jadi dalam ketiga teks dan konteks di atas, Jokowi sengaja ngadu jangkrik! Biar semuanya saling berpolemik. Dalam konteks pembelian alutsista semakin lambat memutuskan, semakin baik. Toh anggaran negara juga sedang cekak! Toh juga, apa iya kita akan terlibat dalam perseteruan "di atas kertas" seperti itu.

Rivalitas AS dan Cina itu absurd, bila dipahami keduanya sama-sama pedagang dan memiliki watak kapitalisme yang sama. Perang adalah pilihan tak masuk akal: kalah menang cuma jadi arang!

Adu jangkrik sesungguhnya, lebih mengarah pada Pilpres 2024 yang tampak masih jauh. Tapi mesinnya sudah harus dipanaskan sejak jauh hari.

Dalam hal ini jauh lebih menarik: menang atau kalah tetaplah cuan. Yang ada untung dan untung...

***

NB: Ketidakmungkinan Jokowi masuk untuk ketiga periode. Akan dipahami sebagai siapa pun kelak yang menggantikannya adalah siapa yang direstuinya. Tentu ini harapan yang tak berlebihan, sekaligus berlebihan. Tak berlebihan, karena tentu ia berkepentingan siapapun itu mau melanjutkan jejak yang telah ditinggalkannya. Berlebihan, sebab tetaplah ia orang yang tak memiliki kuasa ke-partai-an. Sebagaimana jamak dianggap petugas, kalau tak mau disebut boneka.

Berita baiknya, ia telah menyiapkan "putra mahkota" dengan cara yang jauh lebih baik dari siapa pun. Sesuatu yang sesungguhnya blessing in disguise, tak sengaja tapi terjadi. Tak dikehendaki awalnya, tapi terwujud. Dibanding dengan Megawati apalagi SBY, tentu ia jauh lebih mengakar kuat dan terencana baik. Tapi tetap saja saya ragu dengan watak milenialisme anak-anaknya. Mereka tak memiliki sifat asketisme ayahnya yang selama ini menjadi kekuatan yang dikagumi banyak orang. Di dalam maupun luar negeri!