Yang Terzalimi

Narasi yang dibangun mengenai kezaliman Presiden Jokowi tidak disambut khalayak, atau malah tidak terbukti.

Rabu, 7 April 2021 | 07:08 WIB
0
349
Yang Terzalimi
SBY, Jokowi, Megawati dan Puan (Foto: bentengsumbar.com)

Setiap zaman punya tokoh dengan pesonanya sendiri. Mereka besar karena rakyat tengah menggandrungi. Ada masa ketika rakyat senang dengan tentara, gagah perkasa, gaya bicara yang menggelora. Di lain masa, rakyat menggilai tokoh sipil yang sederhana, perangai lembut dan tak pandai berorasi. 

Hari ini ia disukai, esok ia mungkin telah disapih dari pikiran khalayak.

Akan tetapi, dari semua kecenderungan itu, ada yang sama: rakyat banyak tak akan suka pada orang yang dizalimi. Itulah sebabnya, kisah-kisah mengharukan di media sosial begitu viral, dan apabila itu menyangkut nasib manusia, begitu mudah mengumpulkan donasi untuk membantu orang-orang terzalimi.

Kisahnya banyak, dari anak yang disiksa orang tua tiri sampai korban perundungan.

Di dunia politik juga begitu, jadi korban kezaliman bisa jadi adalah pijakan untuk melenting ke kekuasaan. Dan ini pernah dialami Pak Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden kita.

Kisah itu belum lama berlalu, di masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Pada 1 Maret 2004, suami Megawati, mendiang Taufiq Kiemas menyebut Menko Polkam SBY sebagai "jenderal kekanak-kanakan" karena mengadukan masalah internal pemerintahan ke wartawan.

“Kalau memang bukan anak kecil dan merasa dikucilkan, ya lebih baik mundur," kata Taufiq. Saya sendiri mendengar kalimat itu dari mulut mendiang Taufiq Kiemas di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta.

Bagaimana tanggapan SBY? Ia memilih mundur. Dan yang terjadi adalah kejutan dalam politik.

Semua orang melihatnya sebagai orang teraniaya. Sehari setelah mundur, SBY sudah terlihat berada di antara massa partai baru bernama Partai Demokrat. Ia malah kian populer.

Sebaliknya, pamor Megawati kian tenggelam. Saya ingat benar, pada pemilihan umum legislatif di tahun 2004, euforia terhadap SBY dan Partai Demokrat menjalar sampai ke luar negeri. Partainya mendulang banyak suara, dan SBY terpilih menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati.

Kepopuleran SBY masih berlanjut di Pemilu 2009. Ia kembali terpilih menjadi Presiden, Partai Demokrat juga jadi pemenang Pemilu dengan lebih 20 persen suara, mengalahkan Partai Golkar dan PDI Perjuangan, partai yang dipimpin bekas atasannya.

Ternyata, citra sebagai orang teraniaya atau terzalimi, tak selalu bisa dimainkan. Terutama, jika kezaliman itu memang tak ada. Itulah yang terjadi ketika narasi kezaliman kepada umat, kepada ulama, kepada rakyat, sekian tahun belakangan ini ditembakkan kepada Presiden Joko Widodo. 

Ketika Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan pada tahun 2017, suara-suara kemarahan tak bersambut khalayak banyak. Jokowi malah melenggang jadi Presiden periode kedua dua tahun kemudian. Ketika Imam Besar FPI ditangkap, disusul dengan pembubaran FPI, suara-suara kemarahan itu juga terdengar tapi hanya sesaat, lalu meredup.

Narasi yang dibangun mengenai kezaliman Presiden Jokowi tidak disambut khalayak, atau malah tidak terbukti. 

Hari-hari ini, khalayak kembali disuguhi narasi kezaliman, ketika Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengirim surat kepada Presiden Jokowi, meminta klarifikasi tentang upaya Jenderal Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, yang dikabarkan ingin mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat secara inkonstitusional.

Saya tidak tahu mengapa Presiden Jokowi dikait-kaitkan dalam urusan ini, tapi saya mencium aroma dibangkitkannya kembali narasi kezaliman sebagaimana yang pernah dituai sang ayah, 17 tahun lampau, semasa SBY masih jadi Menko Polkam di bawah Presiden Megawati.

Apa kepentingan seorang Presiden yang sudah menjabat dua periode -- dan tak mungkin maju lagi – hendak merebut satu partai menengah?

Begitulah. Yang jelas, di atas semua hiruk-pikuk ini, popularitas dan pesona tokoh selalu seiring dengan kegandrungan rakyat. Sejalan dengan kehendak zaman.

Hari ini rakyat mengelu-elukan tokoh yang tampil megah dan priyayi, di lain waktu mereka menggandrungi tokoh yang sederhana dan kalangan rakyat jelata. Lalu setelahnya mungkin rakyat memimpikan lagi sosok yang angkuh dan berwibawa.

Kalau dulu rakyat begitu terharu dan tergerak oleh narasi yang dibangun “seolah-olah dizalimi” sekarang mungkin tidak lagi. Apalagi bila kenyataannya memang tidak begitu.

Mungkin itu sebabnya, kehendak rakyat dirangkum dalam semboyan: vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Mungkin.

***