Narasi yang dibangun mengenai kezaliman Presiden Jokowi tidak disambut khalayak, atau malah tidak terbukti.
Setiap zaman punya tokoh dengan pesonanya sendiri. Mereka besar karena rakyat tengah menggandrungi. Ada masa ketika rakyat senang dengan tentara, gagah perkasa, gaya bicara yang menggelora. Di lain masa, rakyat menggilai tokoh sipil yang sederhana, perangai lembut dan tak pandai berorasi.
Hari ini ia disukai, esok ia mungkin telah disapih dari pikiran khalayak.
Akan tetapi, dari semua kecenderungan itu, ada yang sama: rakyat banyak tak akan suka pada orang yang dizalimi. Itulah sebabnya, kisah-kisah mengharukan di media sosial begitu viral, dan apabila itu menyangkut nasib manusia, begitu mudah mengumpulkan donasi untuk membantu orang-orang terzalimi.
Kisahnya banyak, dari anak yang disiksa orang tua tiri sampai korban perundungan.
Di dunia politik juga begitu, jadi korban kezaliman bisa jadi adalah pijakan untuk melenting ke kekuasaan. Dan ini pernah dialami Pak Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden kita.
Kisah itu belum lama berlalu, di masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Pada 1 Maret 2004, suami Megawati, mendiang Taufiq Kiemas menyebut Menko Polkam SBY sebagai "jenderal kekanak-kanakan" karena mengadukan masalah internal pemerintahan ke wartawan.
“Kalau memang bukan anak kecil dan merasa dikucilkan, ya lebih baik mundur," kata Taufiq. Saya sendiri mendengar kalimat itu dari mulut mendiang Taufiq Kiemas di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Bagaimana tanggapan SBY? Ia memilih mundur. Dan yang terjadi adalah kejutan dalam politik.
Semua orang melihatnya sebagai orang teraniaya. Sehari setelah mundur, SBY sudah terlihat berada di antara massa partai baru bernama Partai Demokrat. Ia malah kian populer.
Sebaliknya, pamor Megawati kian tenggelam. Saya ingat benar, pada pemilihan umum legislatif di tahun 2004, euforia terhadap SBY dan Partai Demokrat menjalar sampai ke luar negeri. Partainya mendulang banyak suara, dan SBY terpilih menjadi Presiden RI mengalahkan Megawati.
Kepopuleran SBY masih berlanjut di Pemilu 2009. Ia kembali terpilih menjadi Presiden, Partai Demokrat juga jadi pemenang Pemilu dengan lebih 20 persen suara, mengalahkan Partai Golkar dan PDI Perjuangan, partai yang dipimpin bekas atasannya.
Ternyata, citra sebagai orang teraniaya atau terzalimi, tak selalu bisa dimainkan. Terutama, jika kezaliman itu memang tak ada. Itulah yang terjadi ketika narasi kezaliman kepada umat, kepada ulama, kepada rakyat, sekian tahun belakangan ini ditembakkan kepada Presiden Joko Widodo.
Ketika Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan pada tahun 2017, suara-suara kemarahan tak bersambut khalayak banyak. Jokowi malah melenggang jadi Presiden periode kedua dua tahun kemudian. Ketika Imam Besar FPI ditangkap, disusul dengan pembubaran FPI, suara-suara kemarahan itu juga terdengar tapi hanya sesaat, lalu meredup.
Narasi yang dibangun mengenai kezaliman Presiden Jokowi tidak disambut khalayak, atau malah tidak terbukti.
Hari-hari ini, khalayak kembali disuguhi narasi kezaliman, ketika Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengirim surat kepada Presiden Jokowi, meminta klarifikasi tentang upaya Jenderal Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, yang dikabarkan ingin mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat secara inkonstitusional.
Saya tidak tahu mengapa Presiden Jokowi dikait-kaitkan dalam urusan ini, tapi saya mencium aroma dibangkitkannya kembali narasi kezaliman sebagaimana yang pernah dituai sang ayah, 17 tahun lampau, semasa SBY masih jadi Menko Polkam di bawah Presiden Megawati.
Apa kepentingan seorang Presiden yang sudah menjabat dua periode -- dan tak mungkin maju lagi – hendak merebut satu partai menengah?
Begitulah. Yang jelas, di atas semua hiruk-pikuk ini, popularitas dan pesona tokoh selalu seiring dengan kegandrungan rakyat. Sejalan dengan kehendak zaman.
Hari ini rakyat mengelu-elukan tokoh yang tampil megah dan priyayi, di lain waktu mereka menggandrungi tokoh yang sederhana dan kalangan rakyat jelata. Lalu setelahnya mungkin rakyat memimpikan lagi sosok yang angkuh dan berwibawa.
Kalau dulu rakyat begitu terharu dan tergerak oleh narasi yang dibangun “seolah-olah dizalimi” sekarang mungkin tidak lagi. Apalagi bila kenyataannya memang tidak begitu.
Mungkin itu sebabnya, kehendak rakyat dirangkum dalam semboyan: vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Mungkin.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews