NU dan Muhammadiyah Kecewa kepada Jokowi

Banyak drama di belakang panggung yang tidak diketahui publik atau masyarakat. Biarlah itu menjadi bagian kenangan atau cerita elit politik tersebut.

Rabu, 30 Oktober 2019 | 11:26 WIB
0
381
NU dan Muhammadiyah Kecewa kepada Jokowi
NU dan Muhammadiyah (Foto: NU Online)

"Aku ora njaluk (minta) ning (tapi) perasaan".

Ungkapan bahasa Jawa di atas mempunyai arti atau makna yang kurang lebih: aku tidak meminta tapi punya perasaan atau kepekaan. Mulut tidak berucap tapi hati penuh harap.

Ungkapan tersebut juga sering menimbulkan stigma atau pandangan negatif kepada orang Jawa yang dianggap tidak berani mengungkapkan sesuatu di depan tapi ngedumel atau nggrundel di belakang. Pahadal sifat seperti itu jamak dilakukan oleh orang atau masyarakat tanpa mengenal suku atau etnis.

Nah, ini ada kaitannya orang-orang yang merasa berjasa atau berkeringat tapi tidak terpilih menjadi pembantu atau menteri pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Presiden Jokowi sendiri sudah meminta maaf terkait pihak-pihak yang tidak puas karena tidak bisa mengakomodir putra dan putri terbaik.Kuota menteri hanya 34. Dan sudah ditambah jabatan 12 wakil menteri. Itu pun masih belum bisa mengakomodir pihak-pihak yang ingin menjadi menteri atau wakil menteri.

Bahkan nama yang diseleksi mencapai 300 lebih menjadi calon menteri. Dan menggunakan sistem gugur dalam tahap seleksi.

Dalam kabinet presiden Jokowi ada pihak yang kecewa karena merasa jatah yang berdasarkan "kebiasaan", sekarang jatah yang berdasarkan kebiasaan itu jatuh kepada orang yang dianggap tidak kredibel atau tidak sesuai bidangnya.

Warga Nahdliyin atau NU mungkin merasa kecewa karena jabatan menteri agama tidak jatuh kepadanya. Malah jatuh kepada pensiunan TNI. Bahkan pada hari santri di Surabaya, menteri agama tersebut tidak diundang karena dianggap bukan dari kalangan santri. Karena masih kecewa.

Tetapi bagi ormas Muhamadiyah jabatan menteri agama dijabat oleh pensiunan TNI atau bukan dari NU-tidak mempermasalahkan atau tidak kecewa dan bisa menerima.

Begitu juga sebaliknya, ormas Muhamadiyah merasa kecewa jabatan menteri Pedidikan tidak jatuh oleh kadernya. Padahal berdasarkan kebiasaan jabatan menteri Pendidikan adalah wakil dari Muhamadiyah.

Tapi bagi Nahdliyin atau NU mereka tidak kecewa dan bisa menerima jabatan menteri Pendidikan di luar dari Muhamadiyah.

Mengapa kedua ormas itu berbeda pandangan terkait jabatan menteri Pendidikan dan menteri Agama?

Karena kedua ormas tersebut mempunyai kepentingan masing-masing terkait keterwakilan kadernya dalam jabatan menteri,baik menteri Pendidikan atau menteri Agama.

Ternyata dalam politik tidak bisa berpatokan pada faktor kebiasaan. Karena dalam politik juga mengenal yang namanya "anomali atau diluar dari kebiasaan".

Tentu ormas-ormas keagamaan tersebut malu kalau dikatakan berebut atau meminta jabatan. Karena dalam etika agama meminta jabatan juga masuk hal yang tabu atau kurang etis kalau diucapkan.

Makanya dalam bahasa Jawa ada ungkapan: aku ora njaluk ning perasaan. Artinya mengandalkan kepekaan yang punya kekuasaan. Mulut tidak berucap hati penuh harap dapat jabatan.

Dalam balap motor GP di Sirkuit Philip Islang di Autralia,Vinalis yang awalnya memimpin di lap paling depan tapi pada tikungan dan lap terakhir-Vinales jatuh dan gagal naik podium.Marques yang berada dibelakangnya mengambil kesempatan atau momen itu dan berhasil naik podium dan menjadi juara.

Dalam dunia politik terkadang tikungan dan lap terakhir juga jadi penentu dan menggagalkan yang lain. Contoh: Mahfud MD yang awalnya menjadi  cawapres untuk mendampingi capres Jokowi dan sudah berkemeja putih dan sudah menunggu di restoran, akhirnya terjatuh karena disalip oleh Maruf Amin di tikungan atau lap terakhir.

Begitulah panggung politik tanah air,penuh kejutan dan tidak disangka-sangka. Banyak drama di belakang panggung yang tidak diketahui publik atau masyarakat. Biarlah itu menjadi bagian kenangan atau cerita elit politik tersebut.

***