Saya suka mendongeng ketika kedua anak saya lagi susah untuk tidur cepat. Salah satu yang saya kuasai adalah cerita gembala domba yang suka bikin berita bohong dan akhirnya dombanya dimakan serigala.
Cerita ini hingga sekarang masih relevan untuk diceritakan. Saya saja suka diceritakan kakak-kakak saya watu kecil dulu. Apalagi cerita ini sarat dengan moral.
Bagaimana tidak, seseorang yang paham inti dari cerita ini tidak akan pernah mau menyebarkan berita bohong. Bayangkan sang gembala yang harus kehilangan semua dombanya dimakan serigala, gegara dia sebelumnya dua kali mengabarkan berita palsu meminta tolong kepada warga sekitar ada serigala yang akan memakan dombanya.
Satu kali masih dipercaya, dua kali masih ada yang percaya pas yang ketiga semua warga tak mengubrisnya. Masa bodoh, mau dimakan serigala kek mau enggak kek, emang guwe pikirin, paling paling bohong lagi (baca: hoaks).
Itulah gambaran betapa mengerikan kabar bohong itu. Selain merugikan orang lain, ujung - ujungnya yang rugi 1.000 persen adalah penyebarnya.
NB. Kisah ini saya ulang berkali - kali kepada kedua anak saya, karena kemungkinan mereka jadi orang hebat itu pasti ada. Bahkan bisa menjadi seorang pemimpin besar, jadi presiden/wakil presiden sekalipun.
Saya berkeyakinan seorang calon presiden yang karena ambisi kekuasaaannya kemudian melakukan cara seperti sang gembala tadi maka cara itu justru akan merugikannya di akhir nanti. Iya kalau dia terpilih, kalau tidak terpilih bagaimana?
Kalau terpilih, tentu sangat berbahaya, berita atau kabar bohong akan menjadi andalannya baik untuk memuluskan langkah kebijakan politiknya. Oh iya, sudah tahu belum apa itu keputusan dan apa itu kebijakan. Kalau keputusan itu artinya mengikat ke dalam sedangkan untuk kebijakan artinya selain mengikat ke dalam juga mengikat ke luar. Semisal menaikan harga bbm, tarif dasar listrik nah itu namanya kebijakan.
Sekali lagi, apakah suatu keputusan itu atau kebijakan yang diambilnya nanti adalah dari hal berupa data dan fakta bukan berdasar asumsi atau berita palsu.
Sebagai contoh, suatu ketika presiden Sukarno memerintahkan ganyang malaysia, bubarkan negara boneka dan lain sebagainya. Kebijakan itu bukan sekadar berita bohong, tapi rakyat paham dan tunduk mengikuti karena data yang disajikan adalah benar adanya.
Kembali ke masa kini, di mana kontestaso politik semakin memanas. Masing masing pendukungnya mendasin blue print dukungan yang secara massif akan dipakai mesin politik untuk dijalankan dan memenangkannya.
Ratna Sarumpaet jadi saksi sekaligus pelaku penyebaran berita bohong demi memuluskan siasat menyudutkan pemerintah . Akhirnya ketahuan beliau yang pernah dihotmati orang kini mendekam di penjara ,karena gak mau jujur saja sih, dia baru oplas alias operasi politik.
Seorang pemimpin itu pasti punya kelebihan dari yang dipimpinnya. Kalau yang dipimpinnya lebih cerdas, artinya dia bodoh dong. Apa lagi apa lagi kalau selalu dibohongi bawahannya. Masak sih bisa segitunya? Ya bisa lah, buktinya banyak.
Setelah RS ramai lalu ada berita lainnya 7 kontainer surat suara sudah tercoblos oleh pasangan no.1. Uniknya di kasus ini adalah, yang mempunyai frekuensi sama akan memaknai atau menganggap berita ini benar valid 100 persen. Bagi yang belum mendengar berita bohong sebelumnya ada yang meng iyakan dan meyakini kevalidannya.
Tapi, bagi yang paham bahwa ini berita bohong tentu meyakini ini adalah strategi murahan untuk memuluskan siasatnya. Efek domino, efek bola salju yang terkenal dalam dunia politik pasti terjadi.
Jika kebohongan dilakukan terus menerus oleh calon presiden dan ganks nya. Apa yang dialami oleh sang gembala domba dalam cerita awal di atas akan dialami oleh pelaku dalam kontestasi politik pilpres nanti.
Bagi capres akan menjadi hukuman sosial selamanya karena dianggap tukang pembuat hoaks. Bagi pelaku penyebarannya tidak akan masuk surga karena termasuk dosa jariyah sebelum diklarifikasi kebenarannya kepada yang disebarkannya.
Begitu kira kira.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews