Melihat Performa Komunikasi Politik Prabowo dari Guyonan "Tampang Boyolali"

Jumat, 4 Januari 2019 | 22:30 WIB
0
393
Melihat Performa Komunikasi Politik Prabowo dari Guyonan "Tampang Boyolali"
Demo tampang boyolali (Foto: IDN Times)

Sebelum ramai perbicangan "Tampang Boyolali" yang dianggap masyarakat menghina warga dan budaya Boyolali, ternyata sudah lebih dulu mencuat omongan Jokowi ketika memberikan pengarahan dalam Konsolidasi Tim Kampanye Daerah (TKD) Koalisi Indonesia Kerja Provinsi Banten di Gedung ICE BSD, Serpong, Tangerang, hari Minggu kemarin.

Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa kedua orangtuanya berasal dari Boyolali dengan maksur agar informasi tersebut digunakan untuk menjawab tudingan orang-orang di luar sana yang memfitnah beliau sebagai keturunan PKI dan Tingkok.

Tak lama berselang dari klarifikasi Jokowi, keesokan harinya ramai warga dikejutkan dengan pidato Prabowo di hadapan ratusan kader partai-partai pendukungnya dalam kontestasi Pilpres 2019 nanti terkait candaan "Tampang Boyolali" yang akhirnya viral.

Tentu saja, terjadi pro dan kontra dalam hal ini, mulai dari warga yang protes sebab frasa "Tampang Boyolali" dianggap menghina, sedangkan yang pro mengatakan bahwa pidato Prabowo harus dilihat secara jernih dari sisi konteksnya.

Sayangnya, meski Prabowo sendiri sudah menjelaskan pula maksud dia menyebut "Tampang Boyolali" karena berempati atas kondisi rakyat Indonesia yang dianggapnya mengalami ketimpangan ekonomi, namun interpretasi publik justru sebaliknya, yakni penghinaan.

Di sinilah dapat kita jabarkan bahwa berkomunikasi dengan publik, khususnya dalam konteks politik, memang tidak boleh serampangan sebab pesan-pesan politik haruslah disampaikan secara jernih dan mudah dipahami oleh masyarakat.

Kalau kita melihat dari gaya berpidato atau menyampaikan pesan kepada publik melalui mimbar atau panggung, kerap kali Prabowo melakukannya tanpa membawa catatan kecil atau naskah.

Ini menunjukkan bahwa Prabowo adalah orator bertipe ekstemporan yang memang lebih sedap berbicara di depan audiens tanpa ribetdirecoki naskah atau kertas catatan. Namun, kelemahannya adalah Prabowo malah terlihat seperti ngomong ngalor-ngidul tanpa konsep yang terarah.

Jika ia mengaku bahwa maksud dari frasa "Tampang Boyolali" adalah bagian dari keibaannya akan kondisi ekonomi Boyolali maupun masyarakat pada umumnya, maka dari sisi komunikasi politik, hal ini dianggap kurang pas. Seharusnya dia membahas data atau temuan apapun itu terkait Boyolali seperti stagnasi ekonomi, sedikitnya lapangan pekerjaan dll, ketimbang menggunakan bahasa perumpamaan yang menjadi blunder.

Harus diingat bahwa dalam komunikasi politik, semua pesan yang hendak disampaikan pada khalayak harusnya terstruktur, sistetmatis dan mudah dicerna dengan gaya bahasa yang juga tidak jelimet.

Prabowo kudunya menggunakan teknik penyampaian pesan yang lebih komunikatif dan persuasif sebab hal ini lebih mudah diterima khalayak, sekaligus mampu untuk mengontrol opini publik.

Kalau mau mengevaluasi diri, seharusnya Prabowo bisa meniru Jokowi dalam urusan komunikasi politik. Meskipun bukanlah seorang orator seperti Prabowo, tapi performa komunikasi politik Jokowi jauh lebih baik.

Oh iya, saya ingin membedakan antara orator politik dan komunikator politik agar kita tidak salah mendefinisikannya.

Pada umumnya, penyampaian pesan oleh seorang orator politik lebih ditekankan pada teknik oral atau berbicara. Sedangkan komunikator politik, bukan hanya lewat orasi atau oral, melainkan menggunakan juga teknik komunikasi simbolik.

Nah, lanjut...saya melihat, ada beberapa pola komunikasi politik persuasif yang digunakan Jokowi sehingga publik lebih mudah mencerna pesan komunikasinya:

Pertamaicing device. Lebih menitikberatkan pada sentuhan emosional, seperti melakukan kunjungan kerja ke daerah terkena dan terdampak bencana alam atau semisal menggendong anak kecil di Papua saat kunjungan kerja. Orang yang melihat aksi Jokowi seperti itu, akan lebih mudah bersimpati dan terenyuh, sehingga Jokowi dianggap mampu memberikan pesan komuniaksi sebagai seorang pengayom masyarakat.

Lain halnya dengan Prabowo, meski katanya beliau menyumbang uang untuk warga Donggala, Sigi, dan Palu, tapi ketidakhadirannya di lapangan jelas kurang memberikan impresi komunikasi yang kuat bagi publik. Sebab itu tak heran jika warga lebih mengelukan Jokowi sebagai sosok populis ketimbang Prabowo.

Keduapay off idea. Nah, ini sih biasanya dilakukan Jokowi dengan sering menyampaikan pesan-pesan berupa gagasan atau ide. Sebaliknya, dari Prabowo sendiri maupun timsesnya, malah terdengar lebih nyaring menghujat dan kadang ketahuan menebar hoaks, ketimbang bicara gagasan. 

Ketigafear mongering. Ini teknik menyampaikan suatu pesan dengan cara menakut-nakuti. Misalkan, kalau kita tidak sikat gigi dengan pasta A, maka gigi kita bisa berlubang akibat tak ada pelindung dari serangan kuman.

Dalam praktik komunikasi politiknya, kubu Prabowo justru paling sering menggunakan teknik ini, seperti mengatakan Indonesia bisa bubar jika mempertahankan rezim Jokowi lantaran harga sembako melambung, lapangan pekerjaan sedikit, impor melimpah, hutang membengkak dll.

Sebaliknya, dari kubu Jokowi nampak lebih sibuk mengkomunikasikan pesan-pesan optimisem lewat gagasan revolusi mental, bekerja dan bekerja, hutang Indonesia tidak lebih besar dari masa sebelumnya dan kemampuan membayar Indonesia lebih tinggi dari pemerintah sebelumnya dll.     

Lantas, apa hubungannya dengan "Tampang Boyolali", jelas ini berkaitan dengan kemampuan seorang pemimpin dalam mendistribusikan pesan-pesan politik kepada khalayak, terutama berkaitan dengan pengendalian opini publik. Bukankah pidato para pemimpin itu, bagian dari upaya mengendalikan opini publik?

Nah, opini publik sendiri sebenarnya terbentuk dari tiga komponen utama. Pertama,credulity. Komponen ini menyoal percaya atau tidaknya masyarakat akan pesan maupun aktor pembawa pesan. 

Dalam kasus ini, boleh jadi masyarakat menganggap bahwa ungkapan "Tampang Boyolali" itu bukan representasi bahasa keprihatinan akan nasib mereka melainkan suatu hinaan, sebab sosok yang membicarakan persoalan ini dianggap belum melakukan sesuatu yang berarti terkait kemajuan ekonomi rakyat maupun bangsa.

Kedua, reliance. Komponen ini terkait dengan sesuatu yang sudah dipercayai, belum tentu dianggap penting oleh publik. Artinya, kalaulah benar bahwa memang isu ketimpangan ekonomi itu benar adanya, belum tentu isu itu penting bagi masyarakat Boyolali.

Lebih fatal lagi, kalau ternyata isu ketimpangan ekonomi yang dibicarakan Prabowo itu dinilai keliru dan mengada-ada, maka sudah pasti tidak akan dianggap penting isu tersebut. Makanya, apa yang dibicarakan Prabowo dengan istilah "Tampang Boyolali" itu dianggap keliru dan tidak penting, sehingga yang muncul adalah respons merasa dihina.

Terakhirwelfare values alias nilai kesejahteraan. Kalau mau menarik seseorang dalam pembicaraan kita, atau menarik perhatian publik pada pidato kita, maka bicaralah tentang kesejahteraan mereka dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. Orang akan tertarik dengan pembicaraan kita, jika kita lebih banyak membahas orang tersebut ketimbang membahas diri kita sendiri.

Saya yakin, apa yang diungkapkan Prabowo sebenarnya tidak salah bahkan menarik sebab menyangkut ketimpangan ekonomi, tapi sayangnya pidato itu tidak komunikatif bahkan gagal menyita perhatian publik pada isu tersebut. Alhasil, yang muncul malah kontroversi yang dianggap jauh dari substansi pembicaraan Prabowo. Kalau begitu terus gaya komunikasi Prabowo, rasanya sulit menguber Jokowi dalam Pilpres kali ini.

***