Lha, Indonesia, di mana? Gus Dur bilang tak ada dalam kriteria itu. Terus, gimdong? Kata Gus Dur, “Karena di Indonesia, antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan, berbeda!”
Meski tak sangat heroik, Reformasi 1998 bagaimana pun perlahan membuat perubahan-perubahan (politik) menjadi mungkin. Hingga manusia sepeti Jokowi, bisa terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, ketika negeri ini sudah berusia 69 tahun. Ketika Indonesia dalam posisi jungkir balik, 69 itu!
Ketika sebagian besar rakyat Indonesia menginginkan perubahan. Seiring jamannya. Ketika revolusi teknologi informasi dan komunikasi memporak-porandakan semuanya. Teknologi internet, era digital dan revolusi industry 4.0, memaksa segalanya berubah. Bukan hanya cara pandang, tetapi juga system dan mekanisme yang menyertai.
Sekali pun, dengan tingkat literasi masih rendah dan daya akselerasi yang kepontal-pontal. Maka ketika Jokowi menyebut membangun tol langit, orang sok pintar bertanya; “Gimana ngaspal jalan ke langit?” Persis ketika Jokowi bikin ‘tol laut’, Yusril Ihza Mahendra pun kebingungan. Bagaimana membangun infrastruktur jalan di atas laut kita? Tapi begitu Yusril ditarik jadi lawyer Jokowi-Ma’ruf Amien, kemudian anteng. Meski sekarang gelisah lagi, kok belum kecipratan kursi?
Dulu, untuk menjadi Presiden Indonesia, genealogi politik kita masih ribet. Mana yang keturunan Majapahit. Satria Piningit. Harus sesuai ‘hanacaraka’. Militer. Anak ningrat, atau Penggede. Kaya-raya. Tapi dengan munculnya Jokowi (sebagaimana Barrack Obama untuk AS), segala yang mistik dan misteri, bisa diurai dengan apa yang disebut track-record. Kinerja. Jejak digital, dan sebagainya. Butuh 10 tahun, untuk membuktikan bahwa Jenderal TNI sebongsor SBY tak bisa diharap banyak.
Sementara itu, sebagai pemain catur, bukan kali ini Jokowi memakai strategi bakar lumbung gebug tikusnya.
Jika Jokowi berjanji tanpa ampun dan kompromi, ia memang menantang perang. Untuk gebug-gebugan. Mirip Liu Bang, kaisar pertama Dinasti Han, yang menunjuk Panglima Xiao He dan Cao Shen. Dengan mudah Jokowi mendeteksi siapa kawan siapa lawan. Siapa mendukung disain perubahan dan yang maunya tetap dalam kubangan comfortable zone yang korup.
Maka tak heran ketika hari ini kita masih mendengar beberapa pihak kalang-kabut, gulung-koming, mendengar Ahok ditarik pemerintah menjadi orang penting di salah satu BUMN. Orang kayak Rizal Ramli, yang konon doktor ekonomi pinter, omongannya bisa lucu. Sementara kelompok PA-212, yang merasa lebih punya otoritas dalam etika, sopan-santun, agama, sorga, kafir, tak jauh beda dengan RR.
Dan seterusnya. Termasuk Arie Gumilar yang heroik dan agamis, tapi tiba-tiba mengalami Cilacap-13! Mereka ngomong apa, mengerjakan apa. Persis Anies Baswedan apa yang diomongkan beda yang dikerjakan. Sementara untuk mengapresiasi kinerja Jokowi, juga Ahok, yang bahkan secara internasional diakui, kita justeru memakai ukuran-ukuran yang abstrak. Dan hanya mereka yang boleh menafsir!
Dalam sebuah lelucon, Gus Dur mengatakan; Konon ada 4 sifat bangsa, (1) Sedikit bicara sedikit kerja, seperti Nigeria, Angola. (2) Sedikit bicara banyak kerja, Jepang dan Korsel. (3) Banyak bicara banyak kerja, Amerika Serikat, China. (4) Banyak bicara sedikit kerja, India, Pakistan.
Lha, Indonesia, di mana? Gus Dur bilang tak ada dalam kriteria itu. Terus, gimdong? Kata Gus Dur, “Karena di Indonesia, antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan, berbeda!”
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews