Jangan Terjadi "Politik LBGT"

Berkoalisi biasanya sebelum pertandingan dimulai, tetapi ini setelah pertandingan selesai. Mereka tidak ikut berkeringat,malah ingin menusuk atau menjungkalkan.Hanya tidak berhasil.

Jumat, 28 Juni 2019 | 11:16 WIB
0
461
Jangan Terjadi "Politik LBGT"
Ilustrasi LGBT (Foto: Muslimahnews)

Akhirnya Mahkamah Konstitusi atau MK menolak semua gugatan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diajukan oleh tim kuasa hukumnya. Dan hasil keputusan MK adalah bersifat final dan mengikat. Tidak bisa diganggu-gugat lagi. Suka tidak suka-semua harus tunduk pada putusan MK.

Dan Komisi Pemilihan Umum atau KPU bisa bersidang atau rapat untuk menetapkan secara hukum kepada pasangan Jokowi-Makruf Amin sebagai pemenang pilres 2019.Dan menunggu pelantikan Jokowi-Makruf Amin sebagai presiden dan cawapres pada bulan Oktober 2019.

Nah,sekarang masyarakat harus mengawal atau mengkritisi langkah politik presiden Jokowi dalam pemerintahan kedepan. Jangan sampai terjadi "Politik LBGT".

Apa itu Politik LBGT?

Seperti kita ketahui, dalam dunia LBGT --jenis kelamin nomor dua-- yang penting kasing sayang dan kesetiaan. Dan disimbolkan dalam bendera warna-warni atau pelangi.

Dalam dunia politik tanah air-hampir mirip-mirip  seperti dunia LBGT. Yang penting sepakat dan setia mendukung. Ideologi partai bukan jadi penghalang atau jurang pemisah. Asal ada deal-deal politik dan sepakat untuk hidup bersama dalam bentuk koalisi. Terkadang berganti peran,kadang ditunggangi dan kadang menunggangi.

Makanya ada istilah: dalam politik tidak ada lawan maupun kawan yang abadi,yang ada kepentingan yang abadi.

Awalnya menjadi lawan tanding dalam perebutan kekuasaan pilpres 2019,yang penuh dengan caci dan maki.Bahkan saling serang dan membuka kelemahan masing-masing lawan politiknya. Sampai-sampai menuduh, bahwa pemilu penuh kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif. Dan sampai titik darah penghabisan yaitu perjuangan yang berakhir di Mahkamah Konstitusi.

Tetapi caki-maki bisa berubah menjadi puja-puji dan peluk-cium saling berangkulan,manakala deal-deal politik atau pembagian kue kekusasan sudah ada kesepakatan.

Pembagaian kue kekuasaan adalah hal yang wajar, kalau kue itu dibagi kepada pendukung yang berkeringat dari awal. Tetapi kalau kue itu dibagi kepada lawan politik yang membuat suasana panas, bahkan nyaris membakar Ibu Pertiwi tentu itu tidak elok dan etis. Sekalipun dengan alasan "rekonsiliasi".

Kalau nanti benar terjadi pembagian kue kekuasaan kepada lawan tanding yang membuat pilpres terasa panas, maka inilah "politik LBGT". Terjadi anomali yang membuat organ-organ menjadi konslet.

Memang secara sistem politik.Indonesia menganut sistem presidensial. Tetapi  mempunyai cita-rasa parlementer atau oposisi.

Awalnya menjadi lawan tanding.Tetapi setelah tahu kalah,mereka masih bisa bergabung atau koalisi dengan pihak pemenang untuk merasakan manisnya kue kekuasaan. Tentu tidak ada yang geratis dalam memberikan dukungan politik.

Berkoalisi biasanya sebelum pertandingan dimulai, tetapi ini setelah pertandingan selesai. Mereka tidak ikut berkeringat,malah ingin menusuk atau menjungkalkan.Hanya tidak berhasil.

Awas "Politik LBGT"!

***