Setelah sepuluh bulan berlalu, polisi memproses laporan hukum atas ucapan Rocky Gerung di ILC, kitab suci itu fiksi. Rocky dipanggil untuk dimintai keterangan. Banyak orang jengkel, termasuk para pendukung Joko Widodo dan orang-orang yang belum menentukan pilihan. Ada apa ini? Bagaimana bisa seseorang dipidana atas gagasan filsafat yang multitafsir?
Kubu Prabowo Subianto memanfaatkan dengan baik kesempatan ini, memimpin wacana yang menyerang komitmen demokratik pemerintahan Jokowi. Jokowi sedang menggunakan polisi untuk membungkam suara-suara kritis, kata mereka. Tidak salah. Siapapun yang bertarung dalam pemilu dan pilpres akan menggunakan kesempatan seperti ini sebaik-baiknya.
Kita tak perlu heran jika tiba-tiba muncul beragam bentuk aksi yang menarik pemberitaan terhadap dua kasus lain: vonis dan penahanan Ahmad Dhani, juga penahanan Buni Yani.
Penentang Ahok, Lieus Sungkharisma marah-marah di Lapas Cipinang karena tak diperbolehkan membesuk Ahmad Dhani. Patut diduga si pendukung Prabowo ini sengaja datang di hari Minggu yang menurut aturan Lapas Cipinang bukan hari membesuk. Video pun beredar luas dengan caption manipulatif: Ahmad Dhani tak boleh dibesuk, banyak yang tanpa penjelasan pihak Lapas.
Hari ini (Senin, 04/02) Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon menyatakan akan pergi ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk memeriksa keabsahan penahanan Ahmad Dhani. Fadli berpropaganda seolah-olah penahanan Ahmad Dhani adalah penculikan sebab vonis terhadap Ahmad Dhani belum inkrah.
Entah tak tahu, atau sengaja mengabaikan, Fadli mengabaikan tafsir lain atas pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu bahwa hakim boleh memutuskan penahanan terpidana setelah vonis dijatuhkan meski keputusan belum inkrah dengan pertimbangan kekhawatiran selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi tindak pidana lagi.
Naif menganggap peristiwa-peristiwa ini aksidental dan koinsidens. Patut disangka ini rangkaian mata rantai pembangun narasi bahwa Pemerintahan Joko Widodo telah beralih menjadi rejim polizeistaat alias police statealias negara polisionil.
Police state adalah label bagi pemerintahan semi-otoriter, yang menggunakan tangan polisi sebagai alat politik demi mempertahankan dan memastikan kepentingan-kepentingannya.
Propaganda ini sangat mungkin menyasar para pendukung Joko Widodo yang memang menjadikan prinsip-prinsip demokrasi landasan preferensi politiknya; juga kalangan---terutama kelas menengah--yang belum menentukan pilihan capres. Mereka yang tidak cukup memiliki pengetahuan, yang menilai sesuatu semata-mata berdasarkan peristiwa-peristiwa yang mengemuka boleh jadi akan terpengaruh.
Propaganda yang dilancarkan sepintas memang tampak benar dan kuat. Kita tahu, polisi dan kejaksaan sejatinya executive branch, bukan cabang dari yudikatif. Adalah lembaga peradilan yudikatif itu, yang berwenang meng-exercise kekuasaan negara untuk menilai produk hukum dan mengadili pelanggaran terhadapnya.
Kekuasaan itu merdeka dari dua delegasi lain fungsi kekuasaan negara: eksekutif dan legislatif. Sementara polisi dan jaksa, tindakan dan kebijakannya menunjukkan politik hukum pemerintah (bukan negara), mencerminkan format keadilan yang hendak dihadirkan ke hadirat rakyat.
Maka masuk akal menuduh tindakan polisi dan jaksa terhadap Rocky Gerung, Buni Yani, dan Ahmad Dhani sebagai perpanjangan kepentingan politik subjektif Pemerintahan Jokowi. Seolah-olah pemerintahan Jokowi adalah rejim negara polisionil.
Namun jika kita mempelajari teori kekuasaan negara, kita paham bahwa untuk menilai perubahan karakter negara dari demokratis menjadi otoriter --dalam konteks ini menjadi poliziestaat-- kita tak bisa hanya bersandar kepada peristiwa-peristiwa di permukaan. Kita harus pula memeriksa kondisi material yang menjadi prasyarat perubahan karakter itu.
Nah, apakah kegentingan yang bisa mengubah karakter pemerintahan Joko Widodo dari rejim demokratis menjadi negara polisionil yang semi-otoriter? Apakah syarat-syarat itu tersedia?
Untuk memahami ini, baiknya kita pinjam studi Stuart Hall, pelopor cultural studies. Stuart dan kawan-kawannya mempelajari bagaimana pemerintahan Inggris era akhir 1960an hingga 1970an mengubah karakter kekuasaan menjadi semi-otoriter, police state. Padahal era 1960an-1970an sebagian besar adalah masa pemerintahan kaum demokratik (aliansi sosial demokrat dan liberal dalam periode 1974-1979).
Untuk memahami pandangan Hall, kita perlu menerima keyakinan-keyakinan kaum strukturalis. FYI, teori kekuasaan negara Marxisme berwajah ganda: satu sisi instrumentalis yang menekankan peran penting agency, memandang negara sebagai instrumen kepentingan kelas dominan; sisi lain strukturalis.
Kaum strukturalis memandang relasi basic-structure dan super-structure sebagai penentu karakter kekuasaan negara sebab negara adalah super-structure yang berfungsi mendamaikan krisis dalam sistem ekonomi-politik dominan. Krisis di basic structure (kapitalisme) pada dasarnya adalah penurunan laju akumulasi profit yang mendorong pecahnya konflik terbuka kelas-kelas sosial; selanjutnya bersama meningkatnya perjuangan kelas mengubah karakter kekuasaan negara (sebagai respon krisis dan perjuangan kelas).
Pandangan penting lain dalam strukturalisme yang perlu kita terima dalam konteks pembahasan ini --merupakan pokok perhatian Louis Althusser, Nico Poulantzas, hingga Gramsci --adalah bahwa dalam mendamaikan krisis atau menjaga keberlangsungan order, negara memiliki dua aparatus: repressive state apparatus dan hegemoni (ideological state apparatus).
Meski digunakan berbarengan, porsi mobilisasi aparatus represif dan ideologis dalam menjaga tertib sosial bersifat dinamis. Pada masa-masa ekonomi booming, aparatus ideologis (hegemoni) lebih banyak digunakan. Sebaliknya, ketika krisis di basic-structure meretakkan konsensus, aparatus represif yang lebih diandalkan.
Mari kita periksa apa yang terjadi di Inggris pada akhir 1960an hingga 1970an yang menyebakan perubahan karakter negara menjadi semi-otoriter police state.
Era akhir 1960an hingga 1970an merupakan salah satu masa terburuk dalam perekonomian Inggris, ditandai dengan stagflation, stagnasi dan inflasi sekaligus. Sebenarnya seluruh dunia mengalaminya sebab itu era berakhirnya booming pasca-Perang Dunia II. Inggris, Kanada, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat lebih buruk kondisinya karena menjadi target embargo minyak negara-negara Arab (Oktober 1973-Maret 1974). Ulah mereka sendiri penyebabnya, mendukung Israel dalam perang Yom Kippur.
Kemunduran ekonomi selalu pertama-tama mengorbankan para buruh dan rakyat miskin. Untuk meringankan beban hidup akibat lonjakan infllasi, kaum buruh melakukan begitu banyak pemogokan. Salah satu yang memperburuk keadaan adalah pemogokan buruh tambang batu bara.
Pemogokan mereka menyebabkan pembangkit listrik kekurangan pasokan energi primer sehingga pemerintah menerbitkan kebijakan pemadaman bergilir. Selain rumah sakit dan instalasi penting, listrik hanya menyala 3 hari dalam sepekan. Kondisi ini dikenal sebagai three-day week (1 Januari- 7 Maret 1974).
Perlawanan buruh dan grup sosial lain segera berubah menjadi gerakan politik, melahirkan sejumlah partai politik radikal yang menempuh metode perjuangan ekstra-parlementer melawan pemerintahan sosial-demokrat. Konsensus di ranah politik bubarlah, historic bloc tercerai-berai.
Di ranah sosial, pecahnya konsensus ditandai muncul dan masifnya aksi-aksi kejahatan disertai kekerasan. Media massa menyebutnya dengan istilah mugging, label yang digunakan baik untuk kejahatan individual (jambret, todong, rampok, jarah), pun militansi dan metode radika dalam perjuangan buruh, kaum muda, dan warga kulit hitam.
Stuart Hall menjelaskan hubungan kejahatan dan krisis ekonomi ini dengan konsep respectability (dapat ditemukan pula dalam karya-karya Althusser dan Gramsci). Respectability adalah kondisi mental kelas-kelas sosial yang menjaga ikatan mereka terhadap konsensus dalam masyarakat. Untuk proletariat, kerja adalah faktor utama pembentuk respectability. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan respectability, kehilangan rasa wajib menghormati nilai-nilai hidup bersama, termasuk norma yang mengharamkan tindak kejahatan.
Seperti biasa, bubarnya konsensus pertanda kondisi hegemonik sedang dalam situasi krisis. Sebagai salah satu instrumen hegemoni kelas dominan, media massa merekontruksi keadaan untuk menciptakan efek kegentingan yang menuntut negara (pemerintah) memobilisasi instrumen represif.
Oleh peran media massa, maraknya kejahatan; eksalasi aksi-aksi militan perjuangan kaum muda, kelas pekerja, dan warga kulit hitam menolak ekses krisis ekonomi; plus seruan kewaspadaan akan pengaruh perjuangan hak sipil Amerika Serikat ke Inggris ditampilkan sebagai kegentingan yang memicu moral panic.
Konsekuensinya negara didesak oleh opini publik untuk meningkatkan porsi penggunaan aparatus represif. Pemerintahan, baik pemerintahan konservatif (akhir 1960an-awal 1970an) dan sosial-demokrat (1974-1979) memenuhinya dengan mengerahkan polisi sebagai alat menegakkan kembali tertib sosial. Itulah sebabnya Stuart Hall menjuduli bukunya Policing the Crisis.
Pergeseran ke arah negara polisionil ditandai oleh lahirnya produk-produk hukum baru yang mengatur kejahatan-kejahatan tipikal rakyat miskin, terutama kaum muda, warga kulit hitam dan asia, serta imigran. Hukuman untuk kejahatan seperti perusakan properti, kepemilikan ganja dan obat terlarang, hingga pelanggaran imigrasi jadi jauh lebih keras.
Peran informal polisi (yang tidak tegas dinyatakan dalam undang-undang) diperluas, berupa patroli rutin dan ketat ke kawasan pemukiman rakyat miskin; wewenang menghentikan dan menggeledah pemuda, warga kulit hitam dan imigran asia berdasar prasangka; hingga penahanan panjang tanpa pengadilan.
Bahwa kejahatan-kejahatan yang disasar tipikal kelas buruh, pemuda, warga kulit hitam, dan imigran bertalian dengan krisis di basic-structure dan perlawanan kelas yang timbul darinya.
Berdasarkan studi Stuart Hall ini kita bisa petakan empat faktor sebagai prasyarat rejim demokratis berubah semi-otoriter, menjadi rejim poliziestaat. Prasyarat-prasyarat ini pula yang perlu diperiksa untuk membaca kemungkinan pemerintahan demokratis Joko Widodo sedang atau akan beralih menjadi rejim poliziestaat.
Dengan kata lain, kita perlu memastikan seburuk apa kemunduran ekonomi saat ini? Apakah ada keretakan konsensus antara kelas-kelas tertindas dengan kelas dominan yang tercermin dalam meningkatnya militansi dan radikalisme non-konstitusional dalam perjuangan politik? Adakah peningkatan aksi-aksi kejahatan yang dipengaruhi oleh jatuhnya tingkat kesejahteraan? Apakah media massa sedang merekonstruksi peristiwa-peristiwa sebagai kegentingan?
Sudah satu dekade sejak krisis 2008, perekonomian dunia belum pulih. Indonesia tidak bebas dari kelesuan global, sejak pemerintahan SBY hingga Joko Widodo. Dampaknya pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengimbangi pertambahan angkatan kerja. Demikian pula kenaikan tingkat upah ril tidak signifikan membaik, hanya pertambahan upah nominal untuk mengimbangi inflasi yang bagusnya terkendali.
Beruntunglah model bisnis atau relasi pengupahan baru, sektor informal berbasis crowdsourcing berteknologi tinggi (sektor transportasi seperti Gojek dan Grabb; perdagangan seperti reseller di Bukalapak dan Tokopedia; hingga bisnis pemberitaan seperti UCMedia) menjadi kanal pengempis ketegangan oleh kelangkaan kesempatan kerja. Memang, untuk menjadi lebih sejahtera, kini orang harus bekerja lebih keras. Tetapi setidaknya orang tetap memiliki pekerjaan, meski informal.
Di sisi lain, pertumbuhan sektor informal modern (crowdsourcing berbasis teknologi) menciptakan para pekerja lepas, para precariatyang lemah identifikasi dirinya dengan organisasi perlawanan kelas pekerja seperti serikat-serikat buruh. Batasan-batasan administratif dan ideologis terhadap pendirian partai buruh (yang sejati, bukan abal-abal) melengkapi lumpuhnya alat-alat politik kaum buruh.
Tanpa alat politik sendiri, perlawanan kelas pekerja terus berputar-putar dalam isu-isu ekonomi mempertahankan tingkat kesejahteraan. Tak tersedia kondisi bagi pecahnya konsensus di ranah politik.
Polarisasi tajam antara kubu Jokowi dan Prabowo sama sekali tak mencerminkan pecahnya konsensus sebab keduanya sama-sama mewakili kelas dominan (hanya berselisih komposisi pembentuk kekuatan saja, antara borjuasi lama yang hendak berkuasa kembali di kubu Prabowo dengan borjuasi baru di kubu Joko Widodo). Pertarungan keduanya pun berlangsung dalam ruang konsensus: pemilu dan pilpres.
Satu-satunya pertempuran ideologis yang cukup mengemuka dalam hajatan elektoral 2019 semata-mata antara kelompok Islam politik garis keras yang memboncengi Prabowo melawan kubu nasionalis dan Islam moderat di barisan Joko Widodo.
Pertarungan ini terbawa dalam ketegangan di media sosial dan dalam skala tertentu merembet ke dunia nyata. Kondisi diperparah ketika salah satu kubu borjuasi mengambil untung dari politisasi simbol agama, menjadikan itu komoditi dalam pilpres.
Eksploitasi simbol-simbol agama dalam politik elektoral, yang merembet kepada ujaran kebencian dalam ceramah-ceramah; tindakan pembubaran kegiatan keagamaan; pun larangan pembangunan rumah ibadah, tampaknya satu-satunya keretakan konsensus yang patut diperhitungkan. Kondisi ini diperparah peran media massa yang gemar memanfaatkan kabar sensasional berkonflik, termasuk konflik bersentimen agama.
Diduga, pasca-pilpres 2019 ketegangan berbasis sentimen agama ini akan mereda.
Dengan demikian secara umum belum tersedia cukup prasyarat bagi perubahan watak negara menjadi semi-otoriter police state.
Lalu bagaimana dengan proses hukum terhadap orang-orang seperti Ratna Sarumpaet, Bahar bin Smith, Buni Yani, Ahmad Dhani, hingga Rocky Gerung? Bukankah mereka orang-orang yang kritis terhadap pemerintah?
Pertama pisahkan dulu kasus-kasus yang terang-benderang pidananya seperti Ratna Sarumpaet (penyebaran kebohongan berbahaya) dan Bahar Smith (penganiayaan remaja). Lalu kita cek kasus-kasus yang agak kabur kejahatannya.
Untuk kasus Buni Yani, bukankah baru sekarang ia ditahan, setelah putusan pidana terhadapnya berkekuatan hukum tetap? Demikian pula bukankah Ahmad Dhani ditahan atas perintah pengadilan? Bukankah penahanan keduanya sudah masuk ranah wewenang yudikatif, bukan lagi polisi dan kejaksaan?
Lalu bagaimana dengan Rocky Gerung? Apakah Rocky Gerung ditahan polisi atau sekadar dipanggil untuk dimintai keterangan? Apakah polisi bertindak subjektif atau sekadar menjalankan prosedur merespon laporan warga negara? Bukankah masih terbuka lebar peluang kasus ini ditutup setelah Rocky Gerung memberikan keterangannya?
Bukankah justru Ahok--lawan politik kubu oposisi---yang mendekam dalam penjara oleh pasal penistaan agama dan baru saja bebas itu?
Nah, jadi baik ditinjau dari prasyarat-prasyaratnya, pun dari kasus per kasus, saya kira terlalu dini dan serampangan menuding pemerintahan Jokowi menunjukkan gejala kuat sedang atau akan berubah menjadi rejim negara polisionil. Hanya para pendukung Prabowo dan golongan bimbang plus reaksioner yang keukeuh menilai demikian.
Namun terlepas dari penjabaran ini, saya setuju jika Presiden Joko Widodo didesak untuk memperingatkan polisi agar tidak berlebihan merespon hal-hal seperti kasus Rocky Gerung yang wajar-wajar saja dalam negara demokrasi. Para pendukung Jokowi juga tak perlu lebai, jangan tak adil sejak dalam pikiran. Jangan hanya karena Rocky Gerung memihak Prabowo Subianto lantas kita bersorak mendukung proses pidana oleh pernyataannya soal kitab suci itu fiksi.
Ingat lho, jika Rocky dipidana hanya karena pernyataan kitab suci itu fiksi, maka seluruh rakyat Indonesia juga patut dipidana. Mengapa begitu? Sebab sebagai orang beragama kita tentu meyakini kitab suci agama kita yang benar dan kitab suci orang lain tak benar atau fiksi, bukan? Iya tidak? Nah!
***
Sumber:
Telah published juga di Kompasiana.com/tilariapadika
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews