PKS Makin Besar Kepala Saat (Makin) Tak Berkuasa

PKS adalah profiling residu dari bangsa ini. Ia menunggangi agama sebagai alat kekuasaannya. Namun perilakunya jauh dari cerminan kemualiaan akhlak yang disung oleh ajaran agama tersebut.

Senin, 12 September 2022 | 13:27 WIB
0
190
PKS Makin Besar Kepala Saat (Makin) Tak Berkuasa
Demo PKS (Foto: Facebook.com)

Secara pribadi, saya bisa memahami ketika Pemerintah menaikkan harga BBM. Walau tentu saja sangat berat, bukan saja karena gaya hidup masyarakat yang makin tergantung "kendaraan pribadi", sementara kendaraan umum hanya jadi pilihan penting di ibukota negara saja.

Di "kota-kota yang bukan ibukota", kendaraan umum hanya jadi pilihan turis. Itupun bagi mereka yang low-budget. Tapi, saya makin mendukung kebijakan pengurangan subsidi itu, saat melihat nyaris di sekujur kota tempat saya tinggal. Tersebar spanduk penolakan kenaikan BBM yang diinisiasi PKS.

Alasan mereka sederhana. "Jangan Tambah Rakyat Makin Sengsara". Atau dengan kalimat lain: "Jangan Bikin Rakyat Tambah Susah". 

Silogisme tersebut, sebagaimana umumnya dan khas logical fallacy (salah nalar) yang selalu mereka gaungkan. Seolah mendudukkan rakyat itu sebagaimana mereka, yang memiliki watak sebagai pedagang. Pedagang dalam arti yang paling rendah yaitu sebagai makelar atau pemburu rente. Diam jika untung, tapi berteriak keras sekali saat keuntungannya sedikit tergerus.

Jangankan sampai rugi, sedikit saja margin mereka terkurangi, mereka akan mengklaim rugi. Watak umum, yang intinya hanya pada masalah favoritisme, yaitu menolak apa pun kebijakannya, hanya karena berasal dari kelompok yang tidak mereka sukai.

Maka tidak mengherankan, bila tiba-tiba dunia sosial media dihebohkan dengan munculnya kelompok hacker, yang menyebut dirinya "Bjorka". Sebuah nama yang fatal, karena mengaku berasal dari Warsawa (Polandia). Padahal Bjorka sendiri berasal dari bahasa Skandinavia yang artinya "Pohon Birch" yang merupakan tanaman asli Eropa dan sangat langka ditemukan Asia.

Konon orang Rusia sangat tergila-gila pada pohon jenis ini, karenanya dianggap sebagai simbol nasional, bagian terpenting dari budaya, dan tanda patriotisme mereka.  

Nama Bjorka lebih sering digunakan pada perempuan dibandingkan laki-laki. Lucunya penyanyi eksentrik yang berasal dari Eslandia: Bjork, walau berkelamin perempuan ia bangga menggunakan nama laki-laki.

Dalam konteks inilah: saya bisa paham kenapa para hacker itu menamakan dirinya Bjorka, yang walau hampir pasti beridentitas laki, tapi memakai nama perempuan. Mereka tak lebih seorang pengecut! 

Sebagaimana banyak ancaman klasik khas "hacker amatiran" yang serba mengancam, tanpa bukti-bukti nyata. Mereka hanya meneruskan gaya lama, yang berkutat pada rumor dan manuver isu-isu, daripada bertindak sebagai ancaman nyata.

Tulisan ini berusaha sedikit banyak, mengumpulkan bukti-bukti "keabsurdan" eksistensi kelompok ini dengan realitas yang ternyata di media. 

Lalu apa hubungan Bjorka dan PKS? 

Bjorka secara terbuka menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok yang menentang kenaikan harga BBM. Padahal, hampir dapat dipastikan baik demo mahasiswa maupun buruh menolak terafiliasi dengan kelompok PKS. Sinyalemen tersebut sulit dibantah secara tekstual maupun kontekstual. Realitasnya Bjorka juga tidak sebagaimana "profesional hackers", ia terlalu ceriwis dan nylekuthis. Ia mengidentifikasi tujuannya sebagai solidaritas karena merasa memiliki "teman" di Indonesia, walau berdomisili di Warsawa. 

Lucu dan wagu saja pake luar biasa. Mosok, hacker kok memperkenalkan diri. 

Dan lebih lucu lagi, saat ia berkomunikasi terlalu wantah dan norak, dengan menggunakan bahasa Inggris yang mudah diidentifikasi sangat "google translate". Apalagi contoh hasil hacking-nya yang dia pamerkan. Lagi-lagi adalah data pribadi milik Denny Siregar. Bukan rahasia lagi, bahwa DS dianggap sebagai figur musuh nomer satu mereka. Seorang infleuncer yang mereka citrakan sebagai "buzzerRp" atau pasukan siber bayaran.

Tentu saja, ini lagi-lagi adalah character assination yang luar biasa terhadap pribadi DS, yang walau ia sangat hyper-aktif di sosial media. 

Ia sesungguhnya tak pernah secara langsung menikmati posisi "menak" apa pun di dalam pemerintahan yang didukungnya. 

Tapi persoalannya, tak berhenti sampai di sini. Walau dianggap tak lagi memiliki kekuatan di Parlemen (Baca: DPR) karena di luar tak ada yang mau berkoalisi dengannya. Juga kekuatannya tak lagi siginifikan sebagai kelompok penekan (pressure intersert), dan lebih sebagai kelompok berisik (noisy group). Namun manuver-manuver siluman yang dilakukan oleh para "aktivis bangkotannya", terus merajalela dengan cara-cara yang dapat dianggap tak etis dan nyaris tanpa kesantunan dalam berpolitik. 

Beberapa hari yang lalu, seorang kader PKS yang bernama Tansil Linrung tiba-tiba namanya menyeruak, karena ia diusulkan sebagai salah satu Ketua MPR dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sialnya ia "head to head" dengan menyingkirkan Fadel Muhammad yang lebih dulu dikenal sebagai politisi kawakan yang tumbuh besar di lingkungan Golkar. DPD sendiri saat ini diketuai oleh "manusia penuh kasus dan kontroversi" yaitu La Nyalla Mahmud Mattalitti. Sebagaimana kita tahu keduanya terikat dari daerah yang sama, berasal dari provinsi Sulawesi Selatan. 

Mudah diduga kemana afiliasi mereka saat ini: Jalan Keluar yang tidak jalan-jalan dan tidak keluar-keluar itu....

Tansil Linrung sendiri adalah "manusia bermasalah lainya" yang terus bercokol di lembaga-lembaga tinggi negara. Ia seolah tak jera dan kapok-kapok bermanuver secra curang, yang ujungnya berkonotasi manipulatif dan koruptif.

Saat menjadi Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, ia disebut menerima duit suap proyek kartu tanda penduduk eletronik atau e-KTP sebesar US$ 700 ribu. Namanya tercantum dalam berkas dakwaan perkara yang dibacakan di Tipikor Jakarta hari ini, Kamis, 9 Maret 2017. 

Reputasinya sebagai "mafia anggaran" telah tercium sejak lama. Mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, pernah menudingnya menyalahi wewenang dengan ikut ambil bagian menyalahgunakan uang dalam program Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPIP) pada APBN tahun 2011. Total proyek tersebut sekitar Rp 7,7 triliun. 

Ia dikaitkan dengan kasus dugaan penerimaan hadiah pelaksanaan proyek Duta Graha Indah dan tindak pidana pencucian uang dalam pembelian saham Garuda. Bekas Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis, menyatakan Tamsil menerima duit 11 Oktober 2010 dan 11 Januari 2011 masing-masing US$ 100 ribu. Pemberian duit itu ditulis untuk proyek "Depkes 2011".

Namanya nyaris ada pada kasus-kasus besar yang berhasil dibongkar. Ia adalah sejenis kucing dengan sembilan nyawa. Selalu tersangkut maut, tapi selalu berhasil lolos. Dan mengulanginya lagi dengan cara yang sama....

Ini hanyalah sebagian kecil manuver-manuver yang terus menerus dilakukan oleh para kader PKS, setelah merasa jadi "king maker" dengan succes story menjadikan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Rupanya mereka sadar bahwa dengan selesainya masa jabatan AB pada Oktober 2022 ini. Akan memberikan waktu kosong dua tahun hingga Pileg dan Pilpres serentak yang baru diadakan dua tahun kemudian di tahun 2024.  

Dua tahun menjadi terlalu lama, jeda yang terlalu penuh resiko. Mengingat dapat dipastikan dalam kurun waktu itu kucuran dana murah dari berbagai konsesi politik APBD maupun APBN. Atau payung kebijakan politk yang selama ini mereka peroleh akan berkurang, bahkan mungkin akan hilang mengingat yang akan menjadi Pjs berasal dari unsur birokrasi. Yang barangkali di luar sulit diduga "siapa"-nya, namun terutama apakah bersedia dijadikan "kaki tangan" mereka. 

PKS adalah profiling residu dari bangsa ini. Ia menunggangi agama sebagai alat kekuasaannya. Namun perilakunya jauh dari cerminan kemualiaan akhlak yang disung oleh ajaran agama tersebut. Ialah simulacra yang paling nyata dalam wajah perpolitikan Indonesia kontemporer pasca reformasi.

Ia menolak Pancasila, ia tanpa malu mengusung khilafah. Tapi dalam perilakunya tak lebih pencoleng uang negara tanpa rasa malu dan bersalah. Ia adalah simbolisasi kemunafikan berpolitik yang makin akut, ideologi yang tak berakar, dan musuh sesungguhnya peri kemuasiaan yang beradab...

Sekali lagi jargon abadi paling tepat untuknya: ke mana mereka berpaling, ke arah sebaliknya itulahnya jalan yang jadi pilihan terbaik! 

NB: Dalam ilmu politik terdapat istilah "swinger party" untuk menunjukkan partai yang jumlah pemilih maupun kursi-nya di parlemen secara kuantitatif maupun kualitatif sangat kecil. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam ilmu psikologi yang makna mulanya menggambarkan kehidupan hedonis di mana dalam sebuah pesta, orang dimungkinkan untuk saling bertukar pasangan.  

Dalam ilmu politik, swinger party memiliki nilai strategis dimana ia digunakan sebagai "partai pelengkap" dalam bahasa Jawa disebut "genep-genep". Ia akan ditarik ikut berkoalisi dalam partai yang lebih besar. Dalam konteks Pilpres yang menganut paham pencalonan (bisa juga dibaca sebagai percaloan) dengan sistem electoral treshold. Ia akan diajak masuk di dalamnya, sekedar menjadi "nilai tambah", agar terpenuhinya jumlah minimal. 

Sayang dalam dua kali Pilpres terakhir, secara faktual pemerintahan Jokowi maupun partai utama pendukungnya yaitu PDI-P bersikap "jual sangat mahal" dan ogah secara terbuka berkoalisi dengan PKS di tingkat nasional. Suatu kesadaran yang baik dan terbukti banyak nilai positifnya. Dalam konteks inilah, kita mustinya bisa paham bila dalam situasi muthakir ini kenapa PKS makin besar kepala, justru ketika ia makin dijauhi oleh kekuasaan yang riil.  

Kerendahan hati, kerja keras, dan kombinasi kredibilitas dan integritas bukanlah pilihan mereka. Bisa dipahami bila jalan terjal, muka badak, dan berhati batu menjadi pilihan terakhir mereka.