Ambiguitas Penerapan PSBB dan "Physical Distancing"

Situasi darurat menciptakan berbagai aturan yang tidak transparan, sistem yang dibuat pun atas nama darurat, sehingga semua bisa ditutupi oleh apa yang dinamakan keadaan darurat.

Senin, 13 April 2020 | 21:52 WIB
0
342
Ambiguitas Penerapan PSBB dan "Physical Distancing"
Physical distancing (Foto: Halodoc.com)

Di tengah situasi darurat covid-19, berbagai aturan pun dibuat dan berlaku bersifat darurat, sehingga akurasi ketegasan dalam penerapan pun bersifat mengambang penuh ketidak-pastian.

Keraguan menerapkan lockdown atas dasar berbagai konsekwensinya, berakhir dengan munculnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang tetap mengutamakan physical distancing.

Namun dalam aplikasinya tetap saja terkesan ambigu, secara tidak disadari tetap saja menciptakan keramaian, untuk kepentingan tertentu, yang pada akhirnya memberikan kesan ketidak-tegasan terhadap aturan yang dibuat sendiri.

Physical distancing, jauh hari sudah ramai digaungkan, ada yang dipatuhi, namun ada juga tetap dibiarkan terjadinya kerumunan, bahkan baik pemerintah pusat maupun daerah, tanpa sengaja tetap menciptakan kerumunan demi sebuh seremonial.

Kalau yang membuat aturan sendiri tidak bisa mematuhi aturan yang sudah dibuat, lantas pertanyaannya adalah, peraturan tersebut dibuat untuk siapa? Untuk dipatuhi atau untuk dilanggar sendiri?

Aturan Cucuk-cabut

Begitu mudahnya sebuah aturan dianulir oleh atas nama pemilik otoritas wewenang. Satu pejabat mengeluarkan aturan, dengan mudah dicabut aturannya oleh pejabat lain yang lebih memiliki wewenang.

Baru satu hari diterapkan, keesokan harinya aturan tersebut sudah berubah lagi. Memang sih dalam keadaan darurat apapun bisa terjadi, aturan yang dibuat dalam keadaan darurat pun bisa seenaknya berubah seketika.

Diadakannya Kementerian sosial, untuk mengurus berbagai hal yang menyangkut kesejahteraan rakyat, termasuk juga soal distribusi sembako dan bantuan sosial bagi masyarakat, di tengah bencana covid-19.

Namun dilapangan masih terlihat Presiden malah ikut bagi-bagi sembako, yang berakibat pada terjadinya kerumunan massa. Begitu juga kepala daerah, tanpa sengaja mengumpulkan jurnalis hanya untuk sebuah konfrensi Pers.

Di tengah anjuran physical distancing, terjadinya situasi seperti tersebut diatas, akan menimbulkan berbagai pertanyaan yang membuat masyarakat bingung. Pemimpin yang diharapkan menjadi role model penerapan kebijakan, malah memberikan contoh yang tidak baik.

Di kelas masyarakat menengah kebawah, berbagai aturan yang diterapkan pemerintah, baik pemerintah daerah atau pun pemerintah pusat, belum sepenuhnya dipatuhi.

Kerumunan massa masih terus terjadi, anjuran physical distancing tidaklah terlalu dimengerti. Memang PSBB tidak membatasi aktivitas masyarakat, namun tidak diaplikasikannya physical distancing, sangat kontradiktif dengan pemutusan penyebaran covid-19.

Ambiguitas semua regulasi yang dikeluarkan pemerintah, membuat semua aturan tersebut menjadi tidak efektif dalam penerapannya. Alhasil, semua yang dilakukan tidak lebih dari sebuah seremonial penggelontoran anggaran secara besar-besaran, namun hasilnya tidak tepat sasaran.

Dana Bansos untuk masyarakat sangat rawan untuk disunat, bahkan nilai sembako yang dibagikan tidak mudah dideteksi akurasi nilai yang sebenarnya, saat digelontorkan dari pemerintah pusat, sampai pada kecamatan.

Pesta pora anggaran di tengah darurat bencana selalu terjadi, tidak meratanya pembagian dana bansos dan sembako, bagi masyarakat yang membutuhkan, bisa memicu gejolak sosial di tengah bencana.

Mental aparatur pelaksana tanggap darurat dilapangan belumlah berubah. Mencari kesempatan di tengah kesempitan masyarakat masih terus terjadi.

Situasi darurat menciptakan berbagai aturan yang tidak transparan, sistem yang dibuat pun atas nama darurat, sehingga semua bisa ditutupi oleh apa yang dinamakan keadaan darurat.

Inilah yang pada akhirnya mengakibatkan, "anggaran habis, namun rakyat tetap binasa". Semoga saja ini tidak terjadi, semua aparat yang diterjunkan di tengah darurat bencana, masih memiliki naluri kemanusiaannya, yang menempatkan kemanusiaan diatas kepentingan pribadi.

***