Energi itu bisa berupa dana, aksesibilitasa ekonomi-sosial kemasyarakatan, citra atau pengaruh publik, dan lain sebagainya melalui kalkulasi politik yang seringkali tidak dipahami publik awam.
Jadi elit politik harus punya banyak persediaan raut wajah yang berbeda. Kalau tidak, lebih baik jadi orang biasa saja.
Jelang pelantikan Joko Widodo/Ma'ruf Amin jadi Presiden dan Wakil Presiden suasana "gaul" ditingkat elit politik terlihat cerah. Ibarat sebuah penerbangan, cuaca cerah berawan biru, jarak pandang jauh dan jelas. Pilot bisa santai main game, atau tidur-tidur ayam di kokpit
Kalau beberapa hari ini anda rajin mengikuti berbagai siaran pemberitaan, dialog atau wawancara politik di televisi, akan tampak suasana santai, penuh canda, peluk sana-peluk sini antar elit politik yang berbeda partai.
Ada yang dulunya lawan politik dalam kontestasi Pilpres dan Pilkada. Ada juga yang rekan satu koalisi. Sesekali mereka saling bully. Tentunya bully keakraban. Bully ecek-ecek. Bully sayang. Bully nganu, heu heu heu.. !
Sejak Prabowo "reuni mesra kakak-adik" dengan Megawati, kemudian Prabowo ketemuan dengan Jokowi, dilanjutkan safari politik ke partai-partai koalisi Jokowi, seperti Nasdem, PKB, dan Golkar terlihat sebuah suasana baru politik elit lebih adem dibandingkan beberapa bulan lalu. Sudah bertobat kah mereka?
Kini diantara mereka tidak ada kata-kata saling cela, hujat, atau nyinyir. Wajah para elit politik itu "mendadak" cerah. Mereka saling baikan. Penuh senyum, seperti tak pernah ada masalah dimasa lalu.
Padahal kalau kita mengingat kembali beberapa waktu ke belakang, terutama masa jelang Pilpres dan pasca Pilpres, tiada hari tanpa pernyataan pedas saling serang antar kubu 01 dan kubu 02, baik terhadap partai atau tokoh/elit politik .
Masa saling serang jadi menu harian di ruang publik lewat pemberitaan media mainstream, sehingga dunia politik seolah identik dengan permusuhan antar kelompok yang berbeda preferensi politik. Media berpesta sensasi. Makin bombastis dan dramatis saling serang antar kubu, sensasinya makin tinggi sehingga ramai pembacanya.
Dua kubu, yakni kubu 01 dan kubu 02 bagai dua kutub tolak menolak yang abadi. Keduanya bagai musuh besar yang tak bisa berteman. Ibarat filem kartun, seperti Tom dan Jerry. Siapa yang diposisi Tom atau Jerry tergantung cara pandang masing-masing kubu.
Kalau saja sejak dulu dunia politik negeri ini damai, selalu terbangun kebersamaan di tingkat elit--tanpa meniadakan sikap kritis pada kawan atau lawan politik maka upaya pembangunan bangsa dan negara bisa lebih optimal. Energi rakyat bisa lebih hemat, efektif dan fokus mendukung percepatan pembangunan.
Rakyat tidak saling berkelahi memperebutkan pepesan kosong dari provokasi para elit politik, atau pernyataan saling serang antar para pendukung dan junjungan politik.
Kultur paternalistik yang dominan pada masyarakat kita secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi cara mereka melihat elit politik sebagai "patern". Mereka masih kuat mengikuti saja "apa kata" orang tua atau pemimpin formal dan nonformal. Masyarakat cenderung menjadikannya panutan atau junjungan tanpa syarat. Tanpa sikap kritis. Salah benar pemimpin harus dibela--dengan cara menyerang pihak lain--sehingga relasi sosial kemasyarakatan di dunia nyata dan maya jadi tidak harmonis.
Kini, Pilpres sudah selesai. Presiden terpilih tak lama lagi akan dilantik. Banyak bermunculan pernyataan elit politik kubu 01 dan 02 "mendukung kepemimpinan presiden Jokowi yang sudah terpilih". Kalau dikaitkan adigium "Politik itu cair", kenapa baru sekarang mereka "cair"? Kenapa cair setelah masyarakat terbelah? Apakah para elit politik sudah bertobat setelah melihat masyarakat terbelah?
Masih banyak pertanyaan bisa muncul terkait sikap "mendadak bersahabat" dan "wajah cerah" para elit politik tersebut. Banyak dugaan bisa diuraikan.
Cair diartikan terpenuhinya kepentingan politik praktis atau target pragmatis kelompok. Masing-masing memiliki agenda "tersembunyi" dibalik wajah cerah jelang pelantikan, serta pernyataan dukungan pada presiden terpilih. Terlebih, pasca pemerintahan Jokowi/Amin tahun 2024 nanti sangat krusial untuk meraih kekuasaan.
Mereka telah membaca psikologi masa bahwa membangun kedamaian dan pertemanan dengan lawan politik sehingga diharapkan bisa meraih simpati rakyat dan menaikkan pamor partai/kelompok. Mereka berharap bisa masuk dalam kabinet, atau pos-pos penting lain yang kiranya bisa memberikan energi besar untuk kontestasi Pilpres 2024.
Energi itu bisa berupa dana, aksesibilitasa ekonomi-sosial kemasyarakatan, citra atau pengaruh publik, dan lain sebagainya melalui kalkulasi politik yang seringkali tidak dipahami publik awam.
Apapun itu, realitas politik di tingkat elit memang demikian. Namun kita sebagai rakyat tetap menginginkan suasana kondusif ditingkat elit politik itu merupakan habitus baru pelaku politik negeri ini. Pertemanan dan wajah cerah mereka bisa terus berlanjut, sehingga mampu memberikan pengaruh terciptanya rasa damai dan mempekokoh persatuan dan kesatuan di tingkat akar rumput, yakni rakyat secara keseluruhan.
Kalau para elit politik itu bisa saling baikan kembali, kenapa kita tidak?
"Benarkah itu, Rhoma?"
"Benar, Ani! Jangan pernah ragu padaku"
"Aku sih rapopo, Rhoma.."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews