Kivlan dan Eggy menyampaikan pendapat dengan argumen dan diksi permusuhan serta ujaran kebencian. Ahli bahasa, gesture, mimik wajah, bisa jadi saksi ahli.
Setelah ‘diurus’ Polisi, Kivlan Zein dan Eggy Sudjana ternyata sama-sama ati malem. Jiper. Dengan culun mereka bilang tak bermaksud makar. Kivlan bilang tak punya senjata dan anak buah. Eggy Sudjana berkilah people power dimaksud adalah unjuk rasa ke Bawaslu, soal kecurangan KPU.
Persis seperti lagu pop Indonesia. Mudah memelintir lidah, semudah Eggy mengatakan pemerintah memelintir fakta. Padahal, kita bisa melihat bagaimana Kivlan dan Eggy menyampaikan pendapat dengan argumen dan diksi permusuhan serta ujaran kebencian. Ahli bahasa, ahli gesture, ahli mimik wajah, mimik susu, sila jadi saksi ahli.
Kalau cuma berkilah, Andre Rosiadie, jubir BPN juga bisa. Termasuk pembelaannya pada HS, yang mau menggal kepala Jokowi. Kata Andre, apakah HS serius, atau hanya lucu-lucuan? Lhah, apakah Permadi, Rizal Ramli, Amien Rais, juga hanya lucu-lucuan dengan tuitan dan berbagai pernyataannya di media?
Bahasa menunjukkan bangsa, juga bangsat. Apalagi bahasa Indonesia yang sangat sederhana. Lebih dekat ke bahasa komunikasi daripada bahasa ilmu. Sehingga orang sekelas Kivlan, Eggy, Amien, Rizal, cum suis, termasuk Sarjana Sastra Rusia Fadli Zon dan Sarjana Ekonomi Fahri Hamzah, sering dalam berbagai pernyataannya sama sekali tak bermuatan gagasan apalagi wacana pencerahan.
Diksi-diksinya hanyalah untuk dikomunikasikan sebagai informasi. Mengenai pendapat mereka semata, tapi tanpa didukung komparasi dan koherensi. Ketika mereka ngomong ‘hukum hanya tajam ke bawah tumpul ke atas’, mereka sedang menegasi pemerintah, bukan membangun kesadaran apa itu hukum pada proporsinya.
Bahwa pikiran-pikiran, atau imajinasi mengenai people power, makar, dan sejenisnya itu, yang hanya keriuhan wacana, justeru contoh konyol betapa tak bergunanya orang-orangtua itu. Sekiranya mereka mengerti tak hidup di ruang hampa, pasti tahu arti vibrasi. Disitu kita bisa ukur moralitas dan integritas yang dianggap tokoh atau panutan.
Jika mengikuti logika Andre Rosiadie soal HS, yang mungkin lucu-lucuan, pasti HS juga tak sedang bermimpi di siang bolong. Demikian juga mak-emak yang berani telanjang di tengah massa. Atau berbagai ujaran kebencian tanpa batas, ketika menghina Presiden. Mereka hanyalah korban para pewacana (yang ketika berhadapan dengan hukum, ternyata mereka pun memelintir kata-katanya sendiri). Nasib follower mereka yang ikut-ikutan? Para ortu itu tak peduli.Baca Juga: Menelisik Bisnis Galang Massa Ala Kivlan Zen
Jika bangsa ini makin brengsek, hanya punya kesadaran akan hak, tak mau tahu urusan kewajiban, sembari bawa-bawa nama tuhan, ham dan demokrasi, para ortu itulah yang mesti dimintai pertanggungjawaban moral.
To educate a man in mind and not in morals is to educate a menace to society, tulis Theodore Roosevelt. Untuk mendidik seseorang dalam pikiran dan tidak dalam moral adalah mendidik bahaya bagi masyarakat. Dan melempar batu ke kolam dengan sembunyi tangan, adalah adab pecundang. Setokoh apapun dia. Mau makar, atau sekedar makan?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews