Sejak dinyatakan sebagai Capres-Cawapres, Prabowo-Sandi kerap kepleset saat memainkan peran struktur wawanmuka (face to face informal) dengan publik.
Tercatat, Prabowo pernah secara gegabah yang juga didampingi para pembisiknya melakukan jumpa pers (press conference) terkait pengakuan bohong Ratna Sarumpaet yang katanya dianiaya.
Tak lama berselang, nama Prabowo kembali mencuat akibat protes warga atas pidato "tampang boyolali" yang dianggap menyakiti hati warga Boyolali. Bahkan sempat bersitegang akibat isunya yang menggelinding bak bola liar juga terjadi lapor-melapor ke pihak kepolisian.
Tak hanya itu, ternyata sang cawapres pun nampak latah dan melakukan sejumlah kesalahan "dihadapan" publik.
Kali ini, Sandi Uno melangkahi makam salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Bisri Syansuri saat melakukan ziarah ke makam para tokoh NU. Lawatan ke Jombang itu pun tak berakhir manis, lantaran viral protes di media sosial akibat ulah Sandi.
Malahan, jauh sebelumnya, Sandi pernah melontarkan pernyataan yang meminta para kepala daerah agar tidak ikut-ikutan mendukung salah satu capres-cawapres pada kontestasi pilpres 2019 mendatang. Rupanya, pernyatan itu disambut kritik pedas nan akurat dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Buntut dari segelintir kasus di atas, tentu saja sudah bisa ditebak yaitu permintaan maaf secara terbuka. Jika ditelisik lebih dalam, apa yang dilakukan keduanya, hanya persoalan sederhana namun dapat berdampak pada penggerusan acceptability and electability mereka di masyarakat.
Tak heran, usai diterpa protes publik yang viral di media sosial maupun lewat saluran komunikasi lainnya, Prabowo-Sandi langsung meminta maaf guna menetralisir keadaan.
Permintaan maaf Prabowo-Sandi, tidak bisa dibaca secara sederhana sebagai sebuah sikap kesatria nan gagah berani yang mengakui kesalahan dan siap meminta maaf saja. Lebih dari itu, semua peristiwa yang berbuntut permintaan maaf itu punya irisan politik yang menarik kalau ditelaah dari perpsektif komunikasi politik:
Pertama, permintaan maaf itu sendiri merupakan satu-satunya strategi mengikat kembali simpati publik. Kalau enggan meminta maaf, justru akan menyulitkan Prabowo-Sandi ke depannya dan kian terseok-seok di sisa perjuangan.
Namun, cara ini akan anti klimaks bahkan bakal dianggap basi jika keduanya terus melakukan "kesalahan" yang tak perlu.
Publik akan merasa, Prabowo-Sandi sangat buruk dalam manajemen kampanye karena keduanya terlihat seolah dibiarkan mengurus dirinya sendiri saat hadir di hadapan publik. Bagaimana bisa mengurus negara? Begitu tanya orang awam.
Kedua, aspek psikopolitik yang memengaruhi sikap masyarakat akibat harus menahan malu, bahkan matikutu lantaran bingung mau membela dengan cara apa.
Kesalahan keduanya kerap kali sepele namun tidak bisa dihindari hanya dengan bersilat lidah karena bukti yang dilihat publik amat terpampang nyata. Apalagi ditambah kasus hoax Ratna Sarumpaet yang mau tak mau Prabowo harus menanggung malu sekaligus kehilangan sedikit elektabilitas.
Ketiga, manajemen kesan yang kian sulit dikelola. Harus diakui, rasanya sulit menjual kesan super ketje Prabowo-Sandi karena mereka belum punya track record bagus dalam urusan pemerintahan sementereng lawannya Jokowi-Ma'ruf.
Terlebih lagi, Prabowo-Sandi nampak kurang cakap dalam urusan komunikasi politik. Kalau orasi, wah, memang jagonya Prabowo-Sandi, tapi tidak dengan komunikasi politiknya. Husnudzonnya, mungkin juga karena sang peracik komunikasi politik belum begitu jauh membisiki keduanya.
Sehingga, apabila Prabowo-Sandi tampil di hadapan publik, yang ikut was-was justru para pendukungnya. Bahkan kadang teman-teman saya gemes karena sering mendapati Prabowo-Sandi out of contextsaat berbincang dengan publik, salah satu contohnya, ya "tampang boyolali" itu.
Keempat, penafsiran publik yang cenderung peyoratif. Boleh jadi, Prabowo tidak sedang menyinggung warga Boyolali, tapi akibat perhitungan yang tidak matang saat berkomunikasi, alhasil apa yang dibincangkan menjadi backfire.
Makna dari kata-kata Prabowo maupun Sandi, lebih sering dimaknai polisemik atau berbeda dari maksud sang komunikator.
Artinya, Prabowo-Sandi belum sepenuhnya menyadari pentingnya mengelola "pesan komunikasi" agar langsung dipahami komunikan, sehingga dapat dihindari kesalahan-kesalahan komunikasi yang selama ini dilakukan. Kalau kesalahan ini tak dapat diperbaiki, maka lambat-laun publik bisa saja jemu.
Bahkan boleh jadi, lebih terpikat pesona komunikasi Jokowi-Ma'ruf yang equalitarian alias mudah dipahami karena diksi atau simbol yang dipakai tidak sulit dimengerti dan cenderung menggunakan kosa kata yang jamak dipakai publik. Kalau sudah begini, good byePrabowo-Sandi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews