Kaesang dan Politik Kotor Indonesia

Mengecam Kaesang, atau anak muda masuk ke dunia politik (apalagi yang datang dari para senior politik), menunjukkan ketidakdewasaan kita membangun demokrasi.

Jumat, 29 September 2023 | 05:59 WIB
0
136
Kaesang dan Politik Kotor Indonesia
Kaesang Pangarep (Foto: radarbekasi.com)

Apakah politik itu suci? Politik yang dipraktikkan di Indonesia, adalah kotor. Saya ingin batasi politik Indonesia dari sejak Reformasi ’98, juga Pilpres 2014 dan 2019, wa bil khusus Pilpres 2024.  

Kita mulai dari Kaesang Pangarep. Jika kita tidak setuju, dan menganggap sebagai cacat, soal baru dua hari mendapat KTA kemudian langsung sebagai ketum, bagaimana kita bisa menyalahkan hal itu, jika di internal partai itu sendiri tidak menjadi persoalan? Soal kaderisasi politik, benarkah hanya PSI yang melakukan hal itu? Bagaimana kita melihat praktik kepolitikan partai-partai politik kita, terlebih ketika menghadapi Pemilu, dan apalagi Pilpres? Beda?

Lihat saja dalam kesulitan mereka berkoalisi, karena fragmentasi politik yang kuat. Sulitnya membangun koalisi partai, dan apalagi (justru) sulitnya mendapatkan pasangan cawapres bagi capres masing-masing? Tak sedikit partai politik kita memakai jurus naturalisasi untuk kepentingan politiknya. Itu tanda kaderisasi berjalan?

Mau menuding politik dinasti, keserakahan politik, politik tanpa etika? Itu semuanya tergantung pada centhelan, bagaimana sistem election-nya dilakukan. Karena demokrasi berbeda dengan sistem teokrasi atau monarki, yang memakai sistem selection, tapi tidak melibatkan partisipasi publik.

Demokrasi kita memastikan rakyat yang memilih. Meski warna politik masih didominasi paternalisme, kita bisa membuktikan bagaimana nasib Megawati dan Puan Maharani dalam pilpres? Bagaimana nelangsanya SBY untuk dagangan anaknya AHY, baik sebagai capres dan cawapres sekaligus. 

Kita juga sudah membuktikan munculnya Jokowi, sebagai anak bajang. Atau di sisi lain Gibran, sebagai anak Presiden aktif, muncul sebagai pemimpin daerah dengan prestasi baik. Itu karena Gibran anaknya Jokowi, atau karena Jokowi ayahnya Gibran?

Kasihan anak-anak muda yang dikutuk punya orangtua top-markotop. Kalau sukses dituding katrolan, kalau gagal digoblog-goblogin. Kalau orangtua miskin? Negara disalahkan.

Sementara sistem perekrutan kepemimpinan sipil, sebagai pejabat publik, dikangkangi para senior yang tak mudah berbagi, apalagi mengalah. Munculnya Kaesang dalam kancah politik, disemprot habis-habisan oleh para senior. Sekalian kesempatan baik untuk mencaci-maki Jokowi tanpa ampun. Bahkan ada pandangan oposan, saatnya untuk meminta Jokowi mundur sekarang juga. 

Pandangan negatif anak muda sebagai bocah ingusan, celakanya bukan hanya datang dari generasi para abdul (abang dulu begini, abang dulu begitu). Melainkan juga dari anak muda, yang sedikit senior, atau bahkan sepantaran. Termasuk generasi muda yang justeru sinis dan skeptis pada istilah bonus demografi. 

Biasanya hal itu muncul dari generasi penuntut, yang segala sesuatu dianggapnya tanggungjawab pemerintah, atau negara harus hadir. Padal, masalah terbesarnya, karena egosentrisme yang dependen. Antara lain karena bukan pembelajar dan bukan petarung kehidupan. Bahkan, melihat kehadiran Putri Ariani saja, susah untuk mengapresiasi.

Pada kenyataannya infrastruktur dan suprastruktur politik Indonesia, tidak menunjukkan progres perubahan ke arah lebih baik. Dari parlemen kita, bagaimana produk undang-undang, apalagi yang khusus mengenai sistem kepolitikan kita? Lebih menunjukkan kedaulatan elite daripada kedaulatan rakyat. Bahkan dari MPR muncul usulan pemilihan pimpinan eksekutif di kembalikan ke parlemen. 

Senyampang itu, parlemen yang menjadi bagian mutlak dari area partai politik, menjadi sumber masalah dalam praksis kekuasaannya. Salah satunya dalam penyalahgunaan kewenangan yang lebih banyak jatuh ke praktik korupsi. Hal itu tak terlepas dari sistem politik yang berbiaya tinggi, sebagai postulat koruptif dari kekuasaan, yang cenderung memperkuat kepentingan kelompoknya sendiri.

Politik yang asyik-masyuk pada kekuasaannya sendiri, secara derivatif melahirkan anak-anaknya tentang zona nyaman. Anti perubahan. Menolak kompetisi, dengan membuat sistem yang tak memberi ruang pada kemungkinan liyan. Yang dinamakan konsolidasi politik, lebih berkait kelompok kepentingan elite politik itu sendiri. Munculnya koalisi politik, menunjukkan hal itu. Jalan mudah namun secara paradoksal tidak gampang dilakukan. Ada banyak kepentingan tumpang-tindih dari para elite politik itu sendiri.

Politik kemudian jatuh pada pragmatisme. Mementingkan segala sesuatu yang (hanya) bermanfaat (bagi dirinya sendiri). Reformasi ’98 adalah transisi politik kekuasaan tanpa perubahan paradigma politik ideologi. Istilah konsolidasi politik, yang terjadi adalah konsolidasi elite dalam rangka mempertahankan posisi.

Pendatang baru yang ingin ikutan masuk dalam kompetisi, selalu dianggap ancaman dan dipandang negatif. Kasus terbaru dengan munculnya Kaesang Pangarep, sebagai ketua umum PSI, salah satu contoh bagaimana politikus mapan (dengan para pendukungnya) lebih banyak yang hanya memandangnya dari sisi negatif. 

Sebagai organisasi politik yang independen, masing-masing partai politik tentu mempunyai aturan dan sistem yang berdaulat. Seperti misal ketika PDIP menyebut semua kadernya adalah petugas partai. Hal itu adalah aturan mutlak internalnya. Jika kita tidak setuju, tinggal memilih tidak memilihnya, apalagi masuk menjadi kadernya. So, very simpel!

Tapi, politik kepentingan dalam berbagai ukuran, mempunyai kompleksitasnya tersendiri. Penilaian negatif pada Kaesang (sesungguhnya pada Jokowi), menjadi terlalu naif tanpa melihat konstelasi politik nasional secara menyeluruh. Kita terjebak dalam teks-teks teori politik yang normatif, yang dalam konteks politik hal itu menjadi anomali. Padal, secara hukum, Kaesang tentu objek-subjek hukum yang mandiri, demikian Jokowi objek-subjek hukum sendiri.

Anomali lainnya, mengecam Kaesang, atau anak muda masuk ke dunia politik (apalagi yang datang dari para senior politik), menunjukkan ketidakdewasaan kita membangun demokrasi. Berorientasi masuk parlemen, dikecam. Demo di jalanan, dikecam. Maunya apa sih, kalau beraninya Cuma cuap-cuap di medsos dengan fake-name? Atau mau mendirikan parlemen jalanan? Kalau murni sih, tak apa. Tapi kalau hanya jadi figuran dalam praktik proxy war, itu biadab.

Munculnya partai baru, dengan tata-cara baru, bukan tak mungkin karena macetnya sistem kepolitikan kita yang high-cost. Tanyakan pada para bacaleg muda, yang mau menjadi anggota parlemen partai-partai politik besar. Ada yang gratisan? Kalau sudah terpilih oleh rakyat, dan menang di dapilnya, sudah aman dan pasti duduk di parlemen? 

Kalau ada yang gratisan, biasanya privelege untuk kader naturalisasi. Pada sisi itu, apa yang dilakukan oleh PSI, dan Kaesang? Mengapa menjadi persoalan? Apakah tidak terjadi praktik sejenis pada partai lain? Apa sebenarnya yang menyebabkan? Kenapa tidak adil sejak dalam kecemasan dan kemarahan? Ngan-jangan karena Jokowi nggak ngajak pean? Takut Jokowi tidak mendukung Ganjar Pranowo? Soal ini, saya kasih bocorannya nanti, khusus bagi yang sok tahu tapi tidak tahu bahwa sesungguhnya tak tahu. Tempe pun bukan. Kedelaipun belum. Palingan thokolan.  

Saya tidak puas dengan kualitas demokrasi Indonesia. Tapi sebagai rakyat jelantah, yang tak bercita-cita menjadi komisaris BUMN, yang saya lakukan ialah mengulik informasi dari berbagai sumber, yang dengan mudah bisa saya akses. Untuk melihat track record atau jejak digital apapun dan siapapun, yang dipromosikan pada saya untuk dipilih. Apakah termasuk trah pki (politik kotor indonesia) atau bukan.

Saya harus mendidik diri saya menjadi pemilih yang tidak bodoh dan tidak mudah dikibuli. Apalagi hanya karena hoax, atau analisis partisan para tukang. Setidaknya, dengan mendidik diri-sendiri itulah, saya mencoba kembali mendengarkan penghiburan Nyai Ontosoroh pada Minke, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” 

Sunardian Wirodono