Dampak Ekonomi terhadap Penundaan Pemilu

Cara terbaik membuat demokrasi tetap menjadi pilihan terbaik mayoritas rakyat adalah berjuang sekuat tenaga men-delivery prosperity kepada masyarakat Indonesia, bukan “in the way around”.

Selasa, 15 Maret 2022 | 08:11 WIB
0
148
Dampak Ekonomi terhadap Penundaan Pemilu
Pemungutan suara (Foto: pikiran-rakyat.com)

Saya melihat pola umum di dunia sebagaimana ditulis oleh ekonom Amerika Benjamin Morton Friedman beberapa tahun lalu dalam bukunya “The Moral Consequences of Economic Growth”. Jika perekonomian sebuah negara mengalami stagnasi, gerakan-gerakan kanan (kanan religius atau gerakan supernasionalis) akan bersemi. Tapi jika ekonominya tumbuh, justru gerakan liberal progresif yang akan berkembang pesat, seperti isu pemerataan ekonomi (inequality), feminisme, antidiskriminasi, antirasisme, gender, LGBT, dan sejenisnya, yang rerata berakar pada ideologi kiri.

Harus diakui bahwa memang banyak positifnya jika ekonomi tumbuh progresif ketimbang stagnan. Sebagaimana tendensi yang diamati Benjamin M. Friedman tersebut, demokrasi sejatinya memang harus ditopang oleh “prosperity” agar stabil dan semakin mapan. Bahkan William J. Bernstein dalam bukunya “The Birth of Plenty” tahun 2004 lalu menyimpulkan dengan tegas bahwa prosperity(kesejahteraan/kemakmuran) adalah “driver” krusial lahir dan bertahannya demokrasi, bukan sebaliknya. Memang ada satu dua pengecualian, seperti China misalnya, tapi pada umumnya “prosperity” menjadi bahan pelengkap utama lahir atau bertahannya demokrasi.

Selain Jepang dan Jerman Barat, yang memang menjadi pihak yang kalah pada perang dunia kedua, Korea Selatan dan Taiwan adalah contoh signifikan dan nyata dari teori William J. Bernstein. Korea Selatan setelah Presiden Park Chung-hee dan Taiwan pasca Presiden Chiang Kai-shek secara perlahan beralih kepada demokrasi, setelah mengalami rezim otoriter yang brutal atas nama “state developmentalism”.

Jerman Barat, Jepang, Korsel, dan Taiwan membantah pandangan neoliberalisme bahwa pertumbuhan cepat tidak selalu didapat dari mekanisme pasar murni, tapi juga dari intervensi pemerintah secara terukur. Pakar politik Amerika Serikat Chalmer Johnson menyebutnya dengan model “developmental state”, sementara professor ekonomi politik dari London School of Economics, Robert Wade menamainya dengan “Governed Market”.

Setelah 1978, Cina pun memodifikasi gaya pembangunan ekonomi keempat negara tersebut (Jerman Barat, Jepang, Korsel dan Taiwan) dengan cara "mengendalikan gerak langkah pasar" dan mengurangi peran pemerintah secara bertahap. Untuk penyesuaian harga, Cina memperkenalkan strategi “dual track pricing”. Sementara untuk Badan Usaha Milik Negara, Cina menerapkan pendekatan “merangkul yang besar dan melepaskan yang kecil” (kebijakan ini sepertinya yang ditiru oleh Erick Thohir terhadap BUMN RI).

Pada dasarnya, kedua pendekatan developmental ini setali tiga uang. Empat negara pertama(Jerman Barat, Jepang, Korsel dan Taiwan) menambahkan peran negara ke dalam gerak langkah ekonomi pasar, sementara Cina mengurangi peran negara hingga batas tertentu. Karena Cina berangkat dari titik yang berbeda demokrasi tidak lahir semudah yang diproyeksikan.

Cina mengendalikan pasar sesuai dengan pengaruhnya kepada partai. Jika liberalisasi ekonomi membahayakan eksistensi partai, maka Cina menekannya. “Membahayakan partai” bermakna (1) mengurangi legitimasi partai di mata rakyat Cina dan (2) mengurangi pengaruh partai dalam menentukan arah kebijakan politik dan ekonomi. Sebelum peristiwa Tiananmen Square pada 4 Juni 1989, dua kepemimpinan partai pengikut Deng Xiaoping, masing-masing Hu Yaobang dan Zhao Ziyang, telah berhasil meliberalisasi ekonomi Cina secara cepat sehingga menyebabkan euforia politik yang berlebihan sebagaimana asumsi Benjamin M. Friedman.

Demonstrasi besar-besaran (gerakan liberal progresif) terjadi di saat inflasi meninggi setelah meninggalnya Hu Yaobang yang dianggap proliberalisme politik. Dan Zhao Ziyang yang dipercaya Deng Xiaoping sebagai pengganti Hu Yaobang beberapa tahun sebelumnya ternyata memilih berpihak kepada para mahasiswa.

Deng memerintahkan Jiang Zemin, yang kala itu sebagai Walikota Shanghai, untuk menekan aksi demonstrasi dengan menerapkan pendekatan militeristik, yang berbuah pahit untuk pergerakan progresif tapi memberi pelajaran berharga bagi Deng dan PKT bahwa cara Soviet (liberlisasi politik) harus dikesampingkan dan liberalisasi ekonomi bertahap adalah opsi terbaik.

Atas perannya, Jiang Zemin akhirnya dipilih oleh Deng sebagai pengganti Zhao Ziyang, yakni menjadi Sekretaris Umum PKT(Partai Komunis Tiongkok), lalu kemudian menjadi presiden negeri Tirai Bambu. Dari tahun 1989 hingga awal 1992, reformasi Deng terhenti sejenak. Kekuatan kanan menguat di dalam partai, yang dinakhodai Chen Yun. Meskipun Deng yang revisionis (reformis) menjadi “paramount leader”, di dalam PKT sendiri ada oposisi konservatif yang “setengah Maois” tapi kurang reformis, yaitu Chen Yun (pendiri Central Planning Commision di era Mao) dan pengikutnya, yang menginginkan peran negara tetap dipertahankan secara signifikan.

Dialektika ide berlangsung selama dua tahun di mana Deng mendapat banyak kritikan dari kelompok konservatif, sampai awal tahun 1992, pada “Southern Tour” Deng yang terkenal itu, reformasi ekonomi digaungkan kembali, dengan peran politik partai tetap dipertahankan secara dominan. Sebagian pengamat mengenal gaya ini dengan “Birdcage Style (gaya sangkar burung)” yang diperkenalkan pengikut Chen Yun di mana kapitalisme dianggap sebagai "burung" dan sosialisme sebagai sangkarnya.

Bagi Deng, “birdcage” adalah “win-win solution” antara kelompok konservatif Chen Yun dan kelompok reformis Deng. Ide dasar “birdcage” inilah yang menjadi roh dari Kawasan Ekonomi Khusus di mana liberalisasi ekonomi dikerangkeng hanya di dalam kawasan semata.

Dan tak lupa, model “birdcage” pula yang membuat PKT berhasil mengendalikan liberalisasi ekonomi dengan tiga pendekatan utama (legitimation, cooptation, dan repression) sebagaimana dibahas secara apik oleh Bruce J Dickson dalam bukunya “The Dictator's Dilemma” beberapa tahun lalu. Intinya, PKT berhasil menjinakkan kapitalisme dan memangkas "ambisi demokratisasi" yang dibawanya. Walhasil, Cina menjadi anomali dalam teori pembangunan ekonomi di mana kesejahteraan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh kebijakan-kebijakan liberalisasi ekonomi ternyata gagal membawa angin demokrasi ke negeri Tirai Bambu itu.

Sementara itu, sebaliknya krisis finansial 2008 di Amerika Serikat dan 2011-an di Eropa, yang menyebabkan lahirnya “secular stagnation” pada ekonomi global, terutama ekonomi negara-negara demokrasi utama dunia, justru mulai menuai apa yang diteorikan Benjamin M. Friedman tadi, yakni mulai berseminya gerakan kanan. Dua pakar politik masing-masing Pippa Norris dan Ronald F. Inglehart dalam buku barunya tahun 2019 lalu, “Cultural Backlash”, menemukan kecenderungan demikian.

Donald Trump adalah puncaknya di Amerika Serikat sebagai simbol yang menguatkan kekuatan kanan. Pun ada Viktor Orbàn di Hungaria, Jair Bolsonaro di Brazil, dan Rodrigo Duterte di Filipina. Begitu pula dengan hampir seluruh negara di Eropa yang dianggap demokratis, juga ditemukan kekuatan atau partai baru yang beraliran kanan (neo nazisme dll.), walaupun sebagian belum mampu muncul ke dalam arena elektoral resmi.

Kekuatan kanan baru, yang kental dengan narasi antiimigrasi, adalah simbol menyempitnya lapangan pekerjaan di suatu negara (stagnasi ekonomi), yang menyebabkan persaingan semakin ketat karena kehadiran imigran-imigran dari luar. Donald Trump menuai banyak suara dari kalangan pekerja industri padat karya Amerika Serikat yang merasa terancam oleh kehadiran para pekerja imigran. Plus investasi padat karya Amerika menyusut karena pindah ke Cina, Meksiko, Kanada, dan India, sehingga terjadi pengurangan lapangan pekerjaan.

Sementara secara politik, Washington dipandang kian hari kian disfungsional, kian mirip dengan Republik Weimar Jerman( republik parlementer) di era Adolf Hitler yang bergelimang bencana ekonomi akibat Perjanjian Versailles (PD I). Donald Trump mengibaratkan Washington dengan “swamp” alias rawa (istilah dari Steve Bannon). Hal senada juga dipersepsi oleh Viktor Orbàn di Hungaria atau Jair Bolsonaro di Brazil. Dan tak lupa, Brexit yang heboh beberapa tahun lalu, juga dimotori spirit yang sama.

Di Indonesia, saya juga melihat terpaan hal yang sama. Suara anti TKA Cina, misalnya, atau narasi anarkis radikal para pemuka agama, atau “hot and sexy nationalism” ala Gatot Nurmantyo, termasuk gerakan yang ingin menunda Pilpres dan memperpanjang masa jabatan presiden (dengan alasan pemulihan ekonomi) adalah bagian dari stagnasi ekonomi nasional di mana lapangan pekerjaan kian menyempit, setidaknya demikian yang dirasakan masyarakat umum (pribumi) di satu sisi dan melemahnya peran negara dalam memperjuangkan perut rakyat di sisi lain.

Penipisan peran negara ini bisa bermakna bahwa dorongan fiskal dari pemerintah tetap besar tapi perannya atau daya ungkitnya pada ekonomi sangat kecil. Boleh jadi bepindah ke saku para oligar atau karena biaya ekonomi yang mahal, sepertinya diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hal itu.

Dengan kata lain, melalui pendekatan Friedman di atas, jika lapangan pekerjaan berlimpah, angkatan kerja (pribumi) mudah mendapatkan pekerjaan, maka suara-suara kanan sumbang itu akan hilang dengan sendirinya.

Tapi jika lapangan pekerjaan susah dan jutaan angkatan kerja berubah profesi menjadi tukang ojek online sementara tambang-tambang nikel makin bergeliat di Indonesia Timur sana atau proyek-proyek infrastruktur tetap berjalan masif , misalnya, yang tidak dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja dalam negeri secara maksimal, ditambah dengan asimetri informasi akibat gelora sosial media yang kredibilitas informasinya belum teruji, maka bisa dipahami sentimen dan narasi seperti itu akhirnya bermunculan.

Pemerintah perlu melihat persoalan penguatan suara-suara kanan religius dalam kacamata ini, selain kacamata radikalisme, antitoleransi, narasi kebencian, dan sejenisnya. Hal yang sama juga dialami oleh negara-negara lain. Joe Biden menjawabnya dengan “Renew New Deal” yang mencakup rencana penyerapan tenaga kerja besar-besaran dari proyek-proyek Green New Deal, infrastruktur, dan Research and Development. Tapi di sentral Asia seperti Tajikistan, Usbekistan, Kirgistan, dan lainnya, suara antiasing (baca: anti China) juga sangat lantang karena mengalami hal yang sama dengan Indonesia.

Mereka mengimpor hampir semua barang dari Cina dan hanya mengekpor minyak dan gas. Sebagaimana kita ketahui, impor (barang atau jasa) adalah bahasa lain dari “offshoring” lapangan pekerjaan.

Artinya, mengonsumsi barang dan jasa yang dikerjakan oleh pekerja di luar negara sendiri. Apalagi di Afrika yang konon katanya sudah menjadi wilayah ‘jajahan’ Cina hari ini, suara “sumbang” dan narasi kanan yang mewakili suara "keputusasaan ekonomi domestik" sudah menjadi bagian dari narasi politik sehari-hari, terlepas ditekan atau dibiarkan oleh penguasa setempat.

Pendek kata, tak ada cara lain bagi pemerintah untuk tetap tumbuh bersama demokrasi selain mempercepat “recovery” ekonomi, membenahi fundamental perekonomian nasional, memperbaiki kinerja kebijakan, membangun sektor-sektor dengan keunggulan komparatif dan kompetitif, dan lain lain, yang menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja domestik agar kue perekonomian nasional segera bisa dirasakan oleh sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia.

Artinya secara politik, jika banyak elemen masyarakat yang tak puas dengan kinerja ekonomi nasional, mereka akan mengekpresikannya dengan berbagai cara dan berbagai jenis suara. Pemerintah harus memaklumi itu.

Bukan berarti mereka membenci pemerintah, mereka hanya menyuarakan isi perut dan isi hatinya. Tapi jika sampai mereka membenci pemerintah, berarti pemerintah sudah seperti mantan pacar yang telah menyayat-nyayat hati pacarnya sendiri. Tidak ada yang berani menyalahkan seorang kekasih yang dendam kesumat pada mantan kekasihnya.

Dengan lain perkataan, pemerintah tidak bisa melulu berlindung di balik narasi demokrasi untuk tetap mempertahankan demokrasi, tapi juga tidak bisa ujuk-ujuk mengorbankan demokrasi atas nama ekonomi.

Cara terbaik untuk membuat demokrasi tetap menjadi pilihan terbaik bagi mayoritas rakyat di satu sisi adalah berjuang sekuat tenaga men-delivery prosperity kepada sebanyak-banyak masyarakat Indonesia, bukan “in the way around” (meminjam bahasa William J. Bernstein) atau hanya dengan ibukota baru, di sisi lain misalnya.

Semoga.

***

Catatan: artikel ini sudah termuat sebelumnya di Tempo.co.